Deteksi Dini Diabetes Diperluas ke Daerah Terpencil
Diabetes dapat dicegah dengan melakukan deteksi dini kesehatan secara rutin. Peningkatan kesadaran publik untuk melakukan deteksi dini pun diperluas hingga ke empat kabupaten di Jawa Barat, termasuk area terpencil.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Surabaya membawa poster saat berkampanye Stop Komsumsi Gula Berlebih di Jalan Tunjungan, Kota Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/11/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap deteksi dini penyakit tidak menular, utamanya diabetes, diperluas ke daerah-daerah terpencil. Deteksi dini penting untuk mencegah orang menjadi sakit dan mencegah perburukan penyakit. Upaya ini memerlukan kerja sama berbagai pihak, baik pemerintah, organisasi profesi, swasta, maupun masyarakat.
Peningkatan kesadaran akan deteksi dini dilakukan di 46 puskesmas di empat kabupaten Jawa Barat, yaitu Cianjur, Garut, Tasikmalaya, dan Kabupaten Bandung. Hal ini dilakukan melalui edukasi oleh tenaga kesehatan dan kader di desa. Sejak program dilakukan empat bulan lalu, sebanyak 102 tenaga kesehatan dan 920 kader telah dilatih.
Pelatihan mencakup cara mengedukasi pasien diabetes, pradiabetes, dan obesitas tentang pentingnya deteksi dini penyakit. Hingga kini, ada 30.791 orang yang telah melakukan skrining kesehatan. Tenaga kesehatan dan kader juga mengedukasi pentingnya pasien diabetes melakukan pengobatan rutin.
Deteksi dini penting untuk mencegah terjadinya komplikasi penyakit. Komplikasi penyakit dapat menurunkan kualitas hidup pasien.
”Diabetes adalah penyakit kronis yang memerlukan pengobatan jangka panjang dan komprehensif. Layanan kesehatan primer adalah gatekeeper yang sangat dekat dengan masyarakat,” kata Kepala Bidang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Dinas Kesehatan Jawa Barat Rochady Hendra Setya Wibawa, di Jakarta, Senin (20/3/2023).
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Kepala Bidang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Dinas Kesehatan Jawa Barat Rochady Hendra Setya Wibawa, di Jakarta, Senin (20/3/2023).
Peningkatan kesadaran akan deteksi dini dan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan di Jawa Barat adalah kelanjutan dari kerja sama Indonesia dan Denmark di bidang kesehatan. Perjanjian kerja sama itu ditandatangani pada Juni 2021. Ada lima fokus utama dalam perjanjian itu. Salah satu poinnya adalah pencegahan dan penanganan penyakit tidak menular.
Kerja sama ini lantas melibatkan Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Jawa Barat, Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, dan perusahaan perawatan kesehatan Novo Nordisk Indonesia. Adapun Yayasan Diabetes Dunia (World Diabetes Foundation/WDF) akan bergabung sebagai mitra baru. Mereka bekerja sama menyediakan akses perawatan diabetes di perdesaan.
Upaya pencegahan diabetes pun turut dilakukan di program percontohan ini. Jawa Barat dipilih sebagai lokasi pelaksanaan program karena merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Program ini diharapkan bisa direplikasi ke provinsi-provinsi lain ke depan.
Kepala Dewan Perdagangan Kedutaan Besar Denmark untuk Indonesia Jacob Kahl Jepsen mengatakan, ada banyak inisiatif baik yang telah dilakukan di program ini. Ia berharap inisiatif ini bisa terus dilakukan melalui kerja sama berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta.
Sulit mengakses layanan
Menurut Rochady, sebagian masyarakat di daerah terpencil sulit mengakses perawatan diabetes karena terkendala jarak. Masyarakat di Desa Tanjungmulya, misalnya, mesti menempuh perjalanan 28 kilometer selama 2,5 jam untuk tiba di Puskesmas Tegalgede. Dari puskesmas itu ke RSUD Garut, warga perlu menempuh 64 kilometer lagi selama 3 jam.
Padahal, deteksi dini penting untuk mencegah terjadinya komplikasi penyakit. Komplikasi penyakit dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Selain itu, semakin cepat penyakit dicegah, semakin besar pula peluang kesembuhannya atau opsi pengobatannya.
Deteksi dini juga penting karena prevalensi diabetes meningkat. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menyatakan, prevalensi diabetes di Indonesia pada penduduk berusia di atas 15 tahun adalah 2 persen. Angka ini naik jika dibandingkan Riskesdas 2013, yaitu 1,5 persen.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti mengatakan, tidak semua masyarakat mau melakukan skrining kesehatan. Ada yang lebih memilih menggarap kebun daripada menempuh jalan panjang dan waktu yang lama untuk ke puskesmas. Ada pula yang enggan periksa karena takut dinyatakan sakit.
Menurut data Kementerian Kesehatan, pada 2022, hanya 15 persen warga berusia 15-59 tahun yang mau melakukan skrining. Padahal, Kementerian Kesehatan menargetkan ada 35 persen warga yang melakukan skrining. Adapun target tahun ini 70 persen warga berusia 15-59 tahun melakukan skrining kesehatan.
”Tahun ini targetnya 70 persen. Siapa pun harus skrining minimal setahun sekali, tetapi lebih baik dua kali setahun. Ini gratis di puskesmas. Alatnya sudah disediakan,” kata Eva. ”Saat skrining akan dilihat tinggi badan, berat badan, lingkar perut, kadar gula darah, dan EKG. Yang laki-laki akan dilihat apa kena kanker paru atau tidak. Yang perempuan akan dilihat ada kanker payudara, leher rahim, dan sebagainya,” tambahnya.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti, di Jakarta, Senin (20/3/2023).
Adapun diabetes juga dapat terjadi ke anak-anak. Ketua Umum Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) Ketut Suastika mengatakan, diabetes pada anak bisa dicegah sejak dari kandungan. Ibu yang mengalami diabetes mesti melakukan pengobatan dengan baik dan menjalani pola hidup sehat. Anak-anak pun mesti menjalani pola hidup sehat untuk menghindari risiko diabetes.