Menemukan Kebahagiaan dalam Batin
Setiap orang punya cara yang berbeda untuk menemukan bahagia. Sebagian orang berhasil menemukan bahagia lewat meditasi. Lewat berdiam, mereka akhirnya menemukan bahagia yang ternyata lebih sederhana.
Harta yang cukup bahkan berlebih, banyak pujian dan apresiasi, serta ratusan eksemplar buku yang terjual nyatanya tetap membuat Agustinus Wibowo (41) merasa kesepian. Kesuksesannya sebagai penulis buku Titik Nol: Sebuah Makna Perjalanan justru membuat dirinya merasa semakin hampa.
Agustinus sempat merasa begitu depresi. Pada 2013, depresi yang dirasakannya semakin besar. Pikiran untuk mengakhiri hidup sering terlintas. Kesedihan akibat kehilangan kedua orangtuanya semakin menambah kekalutannya.
”Suatu saat, saya bertemu dengan sahabat saya. Mungkin saking terlihat suram, sahabat saya sampai mengatakan umur saya tidak lebih dari dua tahun lagi. Saat itu baru saya sadar, saya belum mau mati,” katanya, Sabtu (18/3/2023), di Jakarta.
Kebahagiaan yang dipenuhi lewat keinginan-keinginan itu sifatnya sementara.
Dari sahabatnya itu akhirnya Agustinus dikenalkan dengan meditasi Vipassana. Sebelumnya dia memang pernah mendengar bahwa meditasi bisa membawa kedamaian batin. Namun, ia belum pernah mencoba dengan serius. Pernah sekali mencoba tetapi itu tidak berhasil.
Meditasi Vipassana dipilihnya karena dari berbagai informasi yang ia dapat, meditasi ini dilakukan dengan mengamati diri tanpa tercampur unsur agama ataupun budaya. Dalam meditasi ini, pernapasan menjadi fokus. Kebetulan juga, pusat meditasi Vipassana ada di daerah Bogor sehingga tidak sulit untuk diakses dari Jakarta.
Baca juga: Liputan Tematik Kebahagiaan
Pusat meditasi tersebut menawarkan kelas gratis bagi pemula. Namun, proses meditasi yang dilakukan tidak mudah. Siswa baru harus mengikuti kelas selama sepuluh hari penuh dan setidaknya setiap hari akan melakukan meditasi 10 jam. Selama sepuluh hari itu juga semua siswa tidak boleh bicara sama sekali, tidak boleh kontak fisik, serta tidak boleh kontak mata yang disengaja. Telepon pun tidak diperkenankan untuk digunakan.
Awalnya, ia ragu apakah ia akan berhasil menuntaskan proses meditasinya selama sepuluh hari penuh. Namun, saat dijalankan, banyak hal yang ternyata bisa ia dapatkan. Agustinus bahkan saat ini secara rutin mengikuti kelas meditasi selama sepuluh hari penuh setiap tahunnya. Dari proses meditasi itu, ia semakin menyadari bahwa rasa bahagia dan ketidakbahagiaan yang dirasakannya sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal.
”Saya saat itu sadar, saya masih suka menunggu pujian dan pengakuan dari orang lain. Namun, secara bersamaan, saya juga khawatir akan persepsi orang lain. Saya merasa semua orang harus menaruh perhatian kepada saya sehingga saya harus bisa memuaskan tuntutan orang lain. Padahal, itu yang membuat hidup saya menjadi lelah,” kata Agustinus, yang juga menulis buku Jalan Panjang untuk Pulang.
Dari pengalamannya berdiam dalam meditasi, Agustinus pun semakin mengenal dirinya sendiri. Berbagai hal yang sebelumnya ia yakini akan membawa kebahagiaan ternyata tidak diperlukan. Pendapatan yang tinggi, jabatan, pujian, apresiasi, dan berbagai kesenangan yang sifatnya duniawi akhirnya bisa dilepaskan. Demikian juga ketakutan dan kesepian yang sebelumnya mengganggu Agustinus. Ketika ia bisa melepaskan itu semua, ia pun akhirnya bisa merasakan bahagia.
Yang jelas, Agustinus mengatakan, setelah bisa mengenal diri sendiri, dia juga tidak terlalu terpuruk ketika dihadapkan dengan kenyataan yang pahit. Itu terjadi ketika ia harus kehilangan sampai Rp 800 juta dari saham miliknya.
Baca juga: Membaca, Meditasi dan Terapi Diri di Tengah Pandemi
”Meski sempat tidak terima, saya akhirnya justru merasa bersyukur. Saya jadi tahu kalau ini bukan jalan hidup saya. Saya pun mencoba memfokuskan kembali untuk menjadi seorang penulis. Mungkin jika pengalaman ini terjadi sebelum mengenal meditasi, saya sudah sangat depresi,” katanya.
Pengalaman yang sama juga dikisahkan oleh Joe Hartanto. Pebisnis yang tinggal di Tangerang Selatan, Banten, tersebut pertama kali mulai mengikuti meditasi Vipassana pada 2003. Saat itu, ia masih tinggal di Amerika Serikat. Kekhawatiran akan masa depan membuat ia selalu takut akan hidup yang tidak berkecukupan. Kebahagiaan pun ditakarnya sebagai perolehan akan harta dan kepemilikan. Hal itu yang justru menjadi bumerang baginya ketika bisnisnya bangkrut.
Baca juga: Penerimaan Diri, Kunci Penting Kesehatan dan Ketahanan Mental
”Dari meditasi, pandangan saya menjadi berubah. Bahagia yang sebelumnya saya ukur dengan jumlah mobil yang banyak, rumah yang besar, penghasilan yang berlimpah, serta kesempatan mengelilingi dunia, berubah menjadi lebih sederhana. Dari meditasi saya akhirnya bisa mengenal kata cukup dan menikmati yang ada saat ini bukan yang belum ada. Bahagia justru ketika bisa berbagi dengan orang lain,” tuturnya di Dhamma Java Pusat Meditasi Vipassana, Sentul, Bogor, Jawa Barat, Jumat (17/3/2023).
Tasawuf
Cara berbeda dipraktikkan Subandi (63), Guru Besar Psikologi Universitas Gadjah Mada, yang menekuni tasawuf sejak 1980-an. Ilmu keagamaan tersebut dirasa mampu menghadirkan ketenangan jiwa. Lantas, segala aspek kehidupan seolah terasa lebih indah karena semua hal dianggap sebagai pemberian Sang Pencipta yang mesti disyukuri nikmatnya.
Dalam menjalani tasawuf, semula kelompok tarekat yang diikutinya ialah Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah yang berjejaring dengan Pondok Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Dalam perjalanan waktu, ia mampu mendirikan tempat praktik tasawuf sendiri yang bernama Madrasah Al Muhith, yang afiliasinya dengan Pondok Pesantren Sirnarasa, di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Bahkan, ia telah menjadi salah seorang talkin di madrasah tersebut.
”Tasawuf itu adalah salah satu ilmu dalam agama Islam. Itu mempelajari bagaimana ketika kita beribadah bisa benar-benar merasa berhadapan dengan Allah. Praktiknya melalui tarekat-tarekat yang ada,” kata Subandi saat ditemui di Madrasah Al Muhith, di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (14/3/2023) sore.
Subandi menjelaskan, tarekat itu semacam sistem pendidikan rohani. Untuk itu, terdapat pembimbing rohani yang dinamakan guru mursyid. Anggota tarekat disebut ikhwan. Biasanya, mereka adalah orang-orang yang sedang mengalami permasalahan hidup sehingga memerlukan bimbingan rohani dalam menuntaskan persoalan-persoalan yang dihadapi.
Baca juga: Ajaran Tasawuf Karjono
Metode bimbingan rohani yang dilakukan, jelas Subandi, sebenarnya sama saja menggunakan cara-cara beribadah dalam agama Islam seperti shalat dan zikir. Namun, cara melakukan zikir ditambahi dengan teknik tertentu, misalnya menggerakkan kepala ke sejumlah arah selama melantunkan zikir. Ada juga teknik lainnya, seperti membaca kalimat zikir dalam hati agar maknanya lebih meresap ke dalam jiwa.
Dalam ajaran tarekat yang diikutinya, ungkap Subandi, zikir dilakukan setiap shalat lima waktu paling sedikit sebanyak 165 kali. Pengucapan berulang-ulang itu membuat seseorang yang melakukannya menjadi fokus. Menurut dia, praktik tersebut mirip dengan meditasi yang mampu mengaktivasi hormon endorfin secara alami pada tubuh manusia. Hormon tersebut memunculkan perasaan-perasaan senang sehingga kegundahan yang melanda hati manusia perlahan sirna.
”Secara psikologis, dengan mengucapkan kalimat zikir, pikiran-pikiran yang mengganggu akan hilang. Tidak masuk ke dalam hati kita. Kita akan terfokus pada Allah. Masalah-masalah yang ada tidak akan sampai merusak atau mengganggu jiwa,” kata Subandi.
Subandi menyampaikan, jumlah ikhwan, atau anggota, yang tergabung dalam madrasahnya sekitar 30 orang. Mereka terentang dari usia 20-an tahun hingga lebih dari 50 tahun. Adapun kegiatan rutinnya ialah shalat dan zikir bersama setiap Kamis malam dan Minggu malam. Itu biasanya diikuti 5-10 orang setiap kegiatan. Kegiatan lainnya ialah pengajian manakib bulanan dengan peserta 30-an orang.
Dari meditasi, saya akhirnya bisa mengenal kata cukup dan menikmati yang ada saat ini, bukan yang belum ada.
Alasan keikutsertaan para anggota, jelas Subandi, cukup beragam, mulai dari masalah keluarga sampai persoalan ekonomi. Itu sesuai dengan karakter masyarakat perkotaan yang kerap kali masih merasa kosong meskipun memiliki ”modal” untuk mencari kebahagiaan secara material.
Menurut dia, hal tersebut berkaitan dengan dua konsep manusia dalam merasakan kebahagiaan, yakni hedonistik dan eudamonik. Dalam konsep hedonistik, kebahagiaan diperoleh karena terpuaskan oleh keinginan-keinginan, sedangkan konsep eudamonik mengutamakan aspek spiritual untuk mencapai kebahagiaan.
”Kebahagiaan yang dipenuhi lewat keinginan-keinginan itu sifatnya sementara. Eudamonik ini adalah kebahagiaan yang hakiki karena bersifat lebih langgeng. Orang menjadi merasakan hidup lebih bermakna dan memandang segala hal lebih positif,” kata Subandi.