Papua mempunyai berbagai keanekaragaman hayati yang amat kaya. Oleh sebab itu, kekayaan tersebut perlu dijaga dan dilestarikan, salah satunya, dengan menjaga kelestarian pangan lokal.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Diskusi mengenai pangan lokal dan kondisi hutan di Papua dalam acara bertajuk "Festival Suara Jernih Papua" di KALA di Kalijaga, Jakarta Selatan, Jumat (17/3/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Selama ini, berbagai stigma negatif berbau konflik dan kekerasan melekat pada Papua. Padahal, Papua menyimpan banyak keanekaragaman hayati dan kebudayaan masyarakat adat yang seharusnya dapat terus dilestarikan.
Miniatur rumah Honai, rumah adat Papua, terpampang di kawasan KALA di Kalijaga, Jakarta Selatan, Jumat (17/3/2023) sore. Tidak berhenti di situ, berbagai tanaman hijau yang disusun sebagai instalasi juga turut memberi kesan rindang nan sejuk khas suasana hutan.
Juru Kampanye Hutan Papua Greenpeace Nico Wamafma mengatakan, hutan-hutan di Papua memiliki peran penting sekaligus menjadi benteng terakhir bagi Indonesia. Selain itu, juga terdapat lebih dari 271 suku yang bergantung pada hutan-hutan tersebut.
”Banyak masyarakat yang hanya mengenal Papua sebagai daerah rawan konflik dan kekerasan. Padahal, tidak sesempit itu. Papua adalah surga kecil yang jatuh ke bumi,” katanya saat ditemui dalam acara bertajuk ”Festival Suara Jernih Papua”, Jumat.
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Juru Kampanye Hutan Papua Greenpeace Nico Wamafma dalam acara bertajuk "Festival Suara Jernih Papua" di KALA di Kalijaga, Jakarta Selatan, Jumat (17/3/2023).
Acara tersebut merupakan kolaborasi antara Greenpeace Indonesia dan Papua Itu Kita, forum solidaritas Papua. Dengan rangkaian acara diskusi publik, instalasi seni dan foto, tarian tradisional, MOP Papua, serta pertunjukan musik, masyarakat kota di DKI Jakarta dapat mengenal kekayaan alam serta kearifan lokal yang ada di Tanah Papua.
Dalam ”Suara Jernih”, lanjut Nico, frasa tersebut dimaknai sebagai rangkaian upaya untuk mengenalkan Papua secara lebih dalam dan jelas kepada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat diharapkan dapat mengenal Papua melalui pengalaman langsung.
”Biar masyarakat sendiri yang langsung merasakan dan menilai Papua itu seperti apa karena selama ini mereka hanya mendengar lewat berita-berita. Harapannya, masyarakat turut mendukung kampanye pelestarian hutan dan kebudayaan masyarakat adat,” ujarnya.
Biar masyarakat sendiri yang langsung merasakan dan menilai Papua itu seperti apa karena selama ini mereka hanya mendengar lewat berita-berita.
Greenpeace menyebut, lebih dari 20 persen daratan Papua telah dibebani perizinan industri ekstraktif berbasis lahan, seperti pertambangan, hutan tanaman industri (HTI), hak pengusahaan hutan (HPH), dan perkebunan kelapa sawit.
Menurut Nico, sedikitnya 2,7 juta hektar dari total 35 juta hektar tutupan hutan alam di Papua atau setara 41 kali luas DKI Jakarta terancam deforestasi lantaran konsesi kelapa sawit, hutan tanaman industri, ataupun pertambangan.
Pangan lokal
Dalam festival ini, Greenpeace bersama Pusat Studi Melanesia dari Universitas Cenderawasih turut merilis hasil riset mereka mengenai ancaman keberadaan industri pangan yang berpotensi menyingkirkan pangan lokal. Dari kajian tersebut, mereka menemukan tesis bahwa hilangnya pangan lokal turut berpengaruh pada budaya masyarakat adat.
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Seorang penari tengah bersiap untuk menarikan tarian tradisional dalam acara bertajuk "Festival Suara Jernih Papua", di KALA di Kalijaga, Jakarta Selatan, Jumat (17/3/2023).
Riset itu dilakukan di dua lokasi berbeda, yakni di Kampung Dabe II, Distrik Sarmi Timur Tengah, Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua dan di Kampung Asiki, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan. Di Kampung Dabe II, masyarakat adat cenderung lebih mengandalkan pangan lokal, sedangkan masyarakat adat di Kampung Asiki telah dipengaruhi pangan nonlokal.
Akibatnya, generasi muda masyarakat adat Mandobo yang tinggal di Kampung Asiki mulai kehilangan kefasihan berbahasa daerah. Mereka tidak tahu lagi menyebut sagu, nama dusun sagu leluhur, bagian-bagian dari struktur pohon sagu, dan lain-lain.
Hanro Y Lekitoo, salah seorang peneliti dari Universitas Cenderawasih, mengatakan, tanaman padi cenderung lebih banyak ketimbang sagu. Terdapat sekitar 55.125 hektar daratan Papua yang ditanami padi, sedangkan sagu hanya memenuhi 54.657 hektar.
”Kampanye yang masuk ke sana itu adalah beras atau padi ladang. Ruang di pangan lokal dipengaruhi secara eksternal. Masyarakat adat butuh proteksi dan penguatan. Maka, butuh moratorium padi di Papua dan kampanye untuk kembali ke pangan lokal,” ujar Hanro.
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Seseorang menabuh tifa, alat musik pukul tradisional Papua yang terbuat dari kulit biawak, dalam tarian tradisional menyambut kedatangan tamu, dalam acara bertajuk "Festival Suara Jernih Papua" di KALA di Kalijaga, Jakarta Selatan, Jumat (17/3/2023).
Menurut Hanro, kedaulatan pangan lokal harus dijaga karena akan berpengaruh pada kelestarian budaya. Jika pangan lokal hilang, masyarakat adat akan menjadi terasing di tanah mereka sendiri.
Rosita, masyarakat adat di Papua, mengatakan, hutan sangatlah penting bagi perempuan Papua karena erat hubungannya dengan makanan, minuman, dan obat-obatan. Mereka dapat mengambil apa yang mereka butuhkan di hutan tanpa perlu mengeluarkan uang sepeser pun.
Menurut Rosita, pendidikan diwariskan turun-temurun melalui peran seorang ibu. ”Jika hutan kami hilang, kami kehilangan budaya termasuk pendidikan karena hutan adalah tempat kami belajar, salah satunya, menanam sagu. Sawit dan padi bukan budaya kami. Kami berharap pada pemerintah untuk melihat pembangunan di Papua bukan secara emosional, tapi melihat dengan hati,” kata Rosita.
Kepala Subbidang Promosi Penganekaragaman Pangan Badan Ketahanan Pangan Tedy Dirhamsyah mengatakan, pangan lokal perlu didukung dengan diversifikasi. Dengan diversifikasi, masyarakat dapat bertahan hidup saat terjadi krisis.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Orang Papua memperagakan penggunaan senjata panah tradisional dalam Festival Ranipa-Suara Jernih Papua Kala di Kalijaga, kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Jumat (17/3/2023).
”Sagu adalah jawaban untuk ketergantungan pada pangan tertentu. Khusus di Papua, kita harus menghormati budaya lokal. Dari tesis saya di lima provinsi, justru wilayah yang dianggap terpencil atau pedesaan, seperti Pacitan, Jawa Timur, bisa bertahan karena punya sistem diversifikasi pangan,” tutur Tedy.