120 Juta Orang Indonesia Jadi Perokok Pasif karena Aturan Tidak Tegas
Penegakan hukum oleh pemerintah kepada para pelanggar aturan merokok masih lembek. Mereka masih bebas merokok, lalu menyebabkan ratusan juta orang lainnya menjadi perokok pasif.
Oleh
Stephanus Aranditio
·3 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Mural bertema kawasan bebas asap rokok menghiasi permukiman warga di lingkungan RW 006 Kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur, awal Oktober 2021.
DEPOK, KOMPAS — Pemerintah perlu memperkuat implementasi kebijakan larangan merokok sebagai salah satu kewajiban negara memenuhi hak warga negara untuk mendapatkan udara bersih. Peraturan yang ada selama ini dinilai hanya ”hitam di atas putih” tanpa tindakan tegas terhadap pelanggar di lapangan. Di sisi lain, masyarakat juga harus berani saling mengingatkan pelanggar aturan merokok.
Hasil survei global penggunaan tembakau pada usia dewasa (global adults tobacco survey/GATS) yang dilaksanakan pada 2021 dengan melibatkan 9.156 responden menunjukkan prevalensi perokok pasif tercatat 120 juta orang. Ratusan juta orang ini menjadi korban dari ketiadaan sanksi tegas terhadap para perokok yang melanggar aturan.
Aturan tentang rokok sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. PP ini menyebut kawasan tanpa rokok meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar-mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum atau tempat lain yang ditetapkan.
Kita membutuhkan upaya-upaya lebih serius untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa perokok pasif merupakan bencana tersembunyi karena ketidakberdayaannya.
Sementara itu, pada kenyataannya masih banyak orang yang merokok di tempat-tempat tersebut tanpa penerapan sanksi bagi pelanggar. Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menjelaskan, penerapan aturan yang longgar itu bukti peran negara yang lemah. Padahal, hak warga negara atas udara bersih dijamin dalam Pasal 28I Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 juncto pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
”Korban harus resisten, dia harus melawan pihak-pihak yang merugikannya, baik pihak yang diberikan amanah untuk memenuhi hak asasinya (pemerintah) atau mereka yang mengganggu pemenuhan hak asasi itu (perokok). Sekarang negara sudah memenuhi hak atas udara belum? Ingat, rokok satu dari beragam komponen polusi udara," kata Julius dalam diskusi dampak perokok pasif bagi kesehatan yang digelar Lentera Anak di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis (16/3/2023).
STEPHANUS ARANDITIO
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menjelaskan peran negara yang lembek menegakkan hukum pada perokok dalam diskusi dampak perokok pasif bagi kesehatan yang digelar Lentera Anak di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis (16/3/2023).
Julius menyebut perokok pasif juga bisa berperan aktif berani menegur orang-orang yang merokok tidak pada tempatnya. Namun, jika hanya saling mengingatkan bisa berpotensi menimbulkan konflik antarmasyarakat, sehingga perlu adanya penegakan aturan yang tegas dari negara.
Dia mencontohkan, sebanyak 32 orang telah berhasil memenangkan gugatan kepada negara karena hak mereka atas udara bersih tidak terpenuhi. Meskipun pemerintah pusat dan tiga pemerintah daerah; DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten sebagai tergugat masih mengajukan upaya banding, putusan tersebut tetap menunjukkan bahwa masyarakat bisa memperjuangkan haknya.
Survei Lentera Anak dan UNICEF pada 2022 menunjukkan 97 persen orang Indonesia menjadi perokok pasif. Namun mereka 84,7 di antara mereka belum berani menegur langsung perokok untuk berhenti merokok di dekat mereka. Mereka hanya menyikapi dengan menutup hidung, menjauh, atau diam saja.
“Kita membutuhkan upaya-upaya lebih serius untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa perokok pasif merupakan bencana tersembunyi karena ketidakberdayaannya,” kata Lisda Sundari, Ketua Lentera Anak.
Ketua Perkumpulan Promotor dan Pendidik Kesehatan Masyarakat Indonesia (PPPKMI) Rita Damayanti menilai rokok sudah menjadi hal yang membudaya, sehingga perlu dilawan dengan menjadikan merokok sebagai aktivitas yang tidak normal di tengah masyarakat. Perokok pasif, kata Rita, harus lebih berani bersuara dan menjadi penggerak budaya baru.
“Sudah waktunya untuk mengubah perilaku merokok dari yang tadinya dianggap sebagai perilaku sosial menjadi perilaku asosial,” tutur Rita.
Mural bertema kawasan bebas asap rokok menghiasi permukiman warga di lingkungan RW 006 Kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur, awal Oktober 2021.
Selain menguggat negara, Direktur Eksekutif Emancipate Indonesia, Margianta SJD menyebut warga bisa berinisiatif secara bersama-sama membangun lingkungan tanpa rokok. Mulai dari lingkungan terkecil seperti di rumah sendiri atau lingkungan RT/RW tanpa rokok.
Margianta juga berharap ada calon pasangan presiden dan wakil presiden dalam Pemilihan Presiden 2024 nanti yang memberikan solusi konkret atas permasalahan rokok di Tanah Air. Masyarakat juga harus memilih pemimpin yang berkomitmen untuk melindungi kesehatan masyarakat.
”Jangan memilih figur yang tidak peduli dan semakin membuat kita frustrasi,” ujar Margianta.