Perlindungan terhadap Tenaga Kesehatan Perlu Payung Hukum
Berkaca dari kasus kematian dokter Mawarti di Nabire, Papua, perlindungan tenaga kesehatan perlu payung hukum. Selain itu, kesejahteraan bagi tenaga kesehatan di daerah rawan ataupun terpencil mesti terjamin.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
TANGKAPAN LAYAR
Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia M Nasser yang tergabung dalam kelompok kerja hukum Forum Kajian Ketahanan Kesehatan Bangsa dalam diskusi daring pada Selasa (14/3/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah membuka partisipasi publik dalam menyusun Rancangan Undang-Undang Kesehatan atau RUU Kesehatan. Penyusunan RUU tersebut perlu memperhatikan jaminan keselamatan, keamanan, dan kesejahteraan tenaga kesehatan. Hal ini disebabkan tenaga medis tergolong kelompok rentan saat bertugas di wilayah rawan konflik.
Sejak Senin (13/3/2023), pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menerima sedikitnya 3.000 daftar isian masalah (DIM) dalam RUU Kesehatan. Pembahasan RUU yang memuat 400-an pasal tersebut turut menerapkan dengar pendapat (public hearing) secara terbuka bagi masyarakat. Selain itu, masyarakat dapat memberi masukan melalui laman resmi www.partisipasisehat.kemkes.go.id.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, dari 3.000 DIM yang diterima, baru sekitar 100 DIM yang dibahas. Di sisi lain, berbagai masukan dari publik, baik melalui forum diskusi maupun laman yang telah tersedia, akan dikelompokkan terlebih dahulu untuk dibahas lebih lanjut.
”Kami akan mengelompokkan berbagai masukan untuk melihat apa yang menjadi perhatian masyarakat. Tentang isu-isu yang kontroversial, masing-masing grup memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Oleh sebab itu, perlu ada penyelarasan topik sehingga kita dapat mendengar apa yang benar-benar menjadi perhatian masyarakat,” tutur Budi kepada wartawan di Balai Sudirman, Selasa (14/3).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin
Salah satu topik yang menjadi pembahasan publik adalah kasus meninggalnya dokter spesialis paru dari Rumah Sakit Umum Daerah Nabire, Papua, Mawarti Susanti, pekan lalu. Dalam diskusi yang dilakukan secara daring mengenai RUU Kesehatan oleh Forum Kajian Ketahanan Kesehatan Bangsa (FKKKB) pada Selasa malam, kasus meninggalnya Mawarti dapat menjadi pertimbangan mengenai pentingnya aspek jaminan keselamatan dan keamanan bagi tenaga medis.
Adapun FKKKB terdiri dari praktisi, dosen, pengamat, dan dokter yang memiliki kepedulian terhadap ketahanan kesehatan di Indonesia. Dokter spesialis bedah di Rumah Sakit Permata Depok Nazrial Nazar mengatakan, keselamatan serta keamanan dokter-dokter yang bertugas di daerah perbatasan, daerah pelosok, dan daerah konflik minim diperhatikan.
”Ratusan kasus seperti ini hanya berhenti pada keprihatinan tanpa ada adanya upaya konkret dari pemerintah. Kami menyebutnya circulus vitiosus atau hanya bergaung dalam kalangan kami sendiri. Paling-paling pemerintah setempat hanya menyampaikan keprihatinannya,” kata Nazrial yang pernah menjabat beberapa periode di Biro Hukum, Pembinaan, dan Pembelaan Ikatan Dokter Indonesia.
Sebelum Mawarti, terdapat beberapa kasus menyangkut keamanan dan keselamatan tenaga kesehatan saat bertugas, seperti dokter di Manado, Sulawesi Utara, yang mengalami kriminalisasi pada 2013. Selain itu, ada juga dokter Soeko yang meninggal dalam kerusuhan Wamena tahun 2019 (Kompas.id, 13/3/2023).
Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia M Nasser menambahkan, begitu lulus sebagai dokter spesialis paru, Mawarti bertugas di Nabire sebagai bentuk pengabdian yang didukung oleh Kemenkes. Pada tahun ini, ketentuan pengabdian Mawarti telah terpenuhi dan dia tengah menunggu calon penggantinya.
Meski telah berada di sana lebih dari waktu yang ditentukan, Mawarti merasa tidak enak jika harus meninggalkan pasien dan masyarakat. ”Diperkirakan awal April nanti pindah ke Tangerang. Akan tetapi, nasib berkata. Dari hasil pemeriksaan terakhir, dia meninggal akibat dicekik dan terdapat trauma-trauma lain. Sementara perlindungan terhadap tenaga kesehatan ini belum tampak pada RUU Kesehatan,” ujar Nasser yang menjadi bagian pokja hukum FKKKB.
Menurut Nazrial, jaminan keselamatan dan keamanan tenaga kesehatan belum termaktub dalam RUU Kesehatan, terutama mereka yang bertugas di daerah perbatasan, daerah terpencil, dan daerah konflik. Padahal, tenaga kesehatan di sana mengemban tanggung jawab besar dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Sebagai pemerataan pelayanan kesehatan, pemerintah sebaiknya turut menjamin keselamatan, termasuk kesejahteraan tenaga kesehatan yang bertugas di daerah pelosok.
Keberadaan tenaga kesehatan di tempat terpencil atau perbatasan merupakan upaya pemerintah dalam pemerataan pelayanan kesehatan. Namun, menurut Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Tengah Suyuti Syamsul, upaya pemerataan tersebut tidak lepas dari permasalahan, seperti jaminan keamanan dan keselamatan tenaga kesehatan yang tidak diperoleh Mawarti.
Kasus meninggalnya Mawarti, kata Suyuti, merupakan puncak dari akar permasalahan terkait pemerataan tenaga kesehatan. Jumlah tenaga kesehatan yang meninggal saat bertugas di wilayah terpencil marak terjadi sehingga negara perlu memberikan jaminan keamanan dan keselamatan.
”Sebagai pemerataan pelayanan kesehatan, pemerintah sebaiknya turut menjamin keselamatan termasuk kesejahteraan tenaga kesehatan yang bertugas di daerah pelosok,” ujar Suyuti yang bergabung dalam pokja pelayanan kesehatan FKKKB.
TANGKAPAN LAYAR
Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan Suyuti Syamsul yang tergabung dalam kelompok kerja pelayanan kesehatan Forum Kajian Ketahanan Kesehatan Bangsa dalam diskusi daring pada Selasa (14/3/2023).
Suyuti menambahkan, distribusi tenaga medis ke wilayah-wilayah terpencil perlu didorong dengan pemberian kompensasi yang jelas, seperti jenjang karier, kesempatan bekerja di kota besar, dan studi lanjut. Selain itu pemberian insentif dapat mendorong tenaga kesehatan memiliki keinginan bertugas ke daerah-daerah.