Proyek lumbung pangan atau ”food estate” dinilai berkaitan dengan bencana banjir yang dialami masyarakat. Ini karena tutupan hutan berkurang.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JURNASYANTO SUKARNO GREENPEACE
Seorang aktivis lingkungan menarik spanduk besar yang bertuliskan Food Estate Feeding Climate Crisis” di kawasan lumbung pangan (food estate) singkong di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, Kamis (10/11/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Program lumbung pangan atau food estate di Kalimantan Tengah diikuti dengan rencana membuka hutan seluas 31.000 hektar untuk ditanami singkong. Walau rencana itu belum direalisasikan secara tuntas, dampak hilangnya tutupan hutan, yakni banjir, telah dirasakan masyarakat.
Ini merupakan salah satu temuan pada laporan ”Jilid 2: Kabar Proyek Food Estate di Kalimantan Tengah Setelah 3 Tahun Berlalu” yang dipaparkan ke publik, Rabu (15/3/2023), di Jakarta. Laporan tersebut disusun oleh Pantau Gambut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah, dan kantor berita BBC Indonesia. Laporan ini merupakan lanjutan laporan jilid pertama yang rilis pada 2022.
Pada laporan jilid kedua, tim mengkaji kondisi enam lokasi program lumbung pangan melalui pencitraan satelit pada periode Januari-Oktober 2022. Temuan itu kemudian diverifikasi oleh tim mitra di lapangan. Ada enam lokasi yang dikaji, yaitu Desa Tewai Baru di Kabupaten Gunung Mas; Desa Lamunti, Desa Telekung Punei, dan Desa Mantangai Hulu di Kabupaten Kapuas; serta Desa Henda dan Desa Pilang di Kabupaten Pulang Pisau.
Sebelum ada program lumbung pangan, ketinggian banjir berkisar 10-40 cm. Namun, kini ketinggian banjir berkisar 1-1,5 meter.
SEKAR GANDHAWANGI
Suasana konferensi pers pemaparan laporan berjudul Jilid 2: Kabar Proyek Food Estate di Kalimantan Tengah Setelah 3 Tahun Berlalupada Rabu (15/3/2023), di Jakarta. Laporan tersebut disusun oleh Pantau Gambut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah, dan kantor berita BBC Indonesia. Laporan ini merupakan lanjutan laporan jilid pertama yang rilis pada 2022.
Manajer Riset Pantau Gambut Agiel mengatakan, pembukaan hutan terluas terjadi di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, yakni 700 hektar. Hal ini juga tampak dari pencitraan satelit periode November 2020 hingga Desember 2022. Sebelum program lumbung pangan diimplementasikan, daerah itu adalah hutan.
”Lokasi pembukaan lahan di Desa Tewai Baru memang tidak di lahan gambut dan kawasan no-go-zone (daerah yang dilindungi). Namun, Desa Tewai Baru adalah bagian dari daerah aliran Sungai Kahayan yang terhubung dengan Desa Henda dan Desa Pilang di bagian selatan,” ucap Agiel.
Hal ini dinilai berhubungan dengan banjir yang memburuk. Menurut Manajer Advokasi dan Kajian Walhi Kalimantan Tengah Janang Firman, banjir terjadi di Kabupaten Gunung Mas. Sebelum ada program lumbung pangan, ketinggian banjir berkisar 10-40 cm. Namun, kini ketinggian banjir berkisar 1-1,5 meter.
”Pemerintah membangun jembatan layang di sana. Tapi, saya rasa ini bukan solusi karena area itu (hutan) masih dibabat,” ucap Janang.
Banjir juga dialami masyarakat Kalteng pada 2022. Beberapa daerah bahkan menerapkan status tanggap darurat banjir.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Pengguna jalan Trans-Kalimantan yang menggunakan roda dua menyewa jasa perahu kayu bermotor untuk mengantarkan kendaraan roda dua mereka melewati banjir, di Bukit Rawi, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, MInggu (14/11/2021).
Menurut Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Kalteng, banjir merendam 56 desa dan kelurahan yang tersebar di 14 kecamatan. Ada lebih dari 2.000 orang yang mengungsi. BPBPK Kalteng mencatat, dari total 14 kabupaten dan kota, ada enam kabupaten yang terendam banjir. Keenamnya adalah Kabupaten Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, Sukamara, Katingan, Seruyan, dan Pulang Pisau (Kompas.id, 14/11/2022).
Jika program lumbung pangan dengan skema pembukaan hutan terus dilakukan, banjir yang meluas dan berkepanjangan dikhawatirkan terjadi. Hal ini sangat mungkin terjadi di wilayah yang masuk DAS dan kesatuan hidrologis gambut (KHG).
Direktur Walhi Kalteng Bayu Herinata sebelumnya mengatakan, pengembangan proyek pangan di wilayah tutupan hutan pasti berdampak. Itu sebabnya ia berharap proyek ini dihentikan.
”Itu (konversi hutan) menjadi salah satu pemicu yang paling berpengaruh selain perubahan iklim yang menyebabkan anomali cuaca dan hujan ekstrem,” katanya (Kompas.id, 14/11/2022).
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Panen perdana di lahan yang diproyeksikan untuk program Food Estate di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, Rabu (19/8/2020)
Kebun singkong gagal
Agiel mengatakan, timnya menemukan uji coba penanaman singkong di enam desa gagal. Di Desa Tewai Baru, misalnya, tanaman singkong berusia satu tahun telantar dengan kondisi batang yang kurus dan tingginya tak sampai satu meter.
Hanya ada dua hingga lima umbi singkong seukuran jari tangan saat tanaman ini dicabut. Selain berukuran kecil, umbi singkong yang dihasilkan pun berwarna kuning dan rasanya pahit. Beberapa penelitian menyebut, rasa pahit pada singkong mengindikasikan tingginya kandungan sianida. Selain itu, kebun singkong pun terbengkalai.
Ketua Komisi II DPRD Provinsi Kalteng Rasyid mengatakan, pihaknya melakukan kunjungan kerja ke beberapa lokasi lumbung pangan. Beberapa lokasi diakui terkesan terbengkalai karena terkendala anggaran yang belum diperoleh dari Kementerian Keuangan.
”Kami ke lokasi memang terlihat belum semua ditanami, ada yang sudah ditanami singkong, tetapi kecil-kecil. Setelah ditelusuri, proyek singkong ini memang bukan untuk dikonsumsi kita, melainkan hanya untuk diambil etanolnya saja,” kata Rasyid (Kompas.id, 15/2/2023).