Kekerasan Seksual di Kampus Sudah Darurat, Butuh Penanganan Satu Atap
Pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di perguruan tinggi masih butuh dukungan bersama. Satgas PPKS diharapkan mendapatkan kepercayaan sehingga semakin berperan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan seksual di perguruan tinggi benar-benar terjadi dan sayangnya korban masih belum berani melapor meskipun di kampus ada lembaga yang dapat membantu. Peristiwa kekerasan seksual yang melibatkan pelaku dari kalangan mahasiswa, mahasiswi, dosen, tenaga kependidikan, pimpinan dosen, dan lainnya dapat terjadi dalam proses belajar-mengajar, pengabdian masyarakat, bimbingan, kuliah kerja nyata, dan magang.
Sayangnya, pengetahuan mahasiswa terhadap kekerasan seksual masih terbatas. Bahkan, para korban masih minim melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpa dirinya. Pelaporan lebih banyak dilakukan oleh pihak lain, seperti rekan dan orangtua korban. Pelaporan ke lembaga kampus pun hanya 11 persen.
”Karena itulah, keberadaan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual atau Satgas PPKS harus benar-benar memberikan pelayanan yang berpusat kepada korban, bukan untuk melindungi nama baik kampus,” kata Ketua Asosiasi Pusat Studi Wanita dan Gender Indonesia Emy Susanti dalam acara Pembekalan Awal Training of Trainers: Penguatan Peran Dharma Wanita Persatuan dalam Menyukseskan Implementasi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2022 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi, Rabu (15/3/2022), di Jakarta.
Dari hasil kajian, lembaga kampus yang sebenarnya sudah ada dan bisa memberikan pelayanan kepada korban malah tidak dipercaya. ”Jadi, ujung tombak keberpihakan Satgas PPKS pada korban harus dipegang sejak awal untuk mewujudkan ekosistem kampus yang aman dari kekerasan seksual,” ucapnya dalam acara yang digelar DWP Kemendikbudristek itu.
Emy, yang juga Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga, mengatakan, dari kajian kebijakan strategis implementasi Permendikbudristek tentang PPKS tahun 2022, ada kajian aksi PPKS secara kelembagaan, sumber daya, nilai-nilai, dan infrastruktur.
Kajian melibatkan 5.366 responden usia 18-25 tahun di 36 perguruan tinggi negeri dan swasta, meliputi mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan. Responden perempuan sebanyak 63,87 persen dan laki-laki 34,76 persen, serta sisanya tidak menjawab.
”Kekerasan seksual benar-benar ada dan terjadi di semua kampus. Namun, pengetahuan mahasiswa terbatas dan korban tidak berani melapor,” ujar Emy.
Meskipun di kampus ada lembaga pusat krisis atau help center, masih sedikit korban yang melapor ke lembaga kampus karena merasa masih ada relasi kuasa. ”Takut tidak ada tindak lanjut yang diharapkan. Jadi, perlu mengembangkan dan menyosialisasikan supaya korban tidak takut melapor,” kata Emy.
Pemahaman tentang bentuk kekerasan seksual di kampus juga masih minim. Sebagai contoh, suit-suit (menggoda dengan bersiul) di antara mahasiswa dianggap sudah biasa sejak dari dulu sehingga dinilai berlebihan jika dimasukkan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual juga dianggap tabu diungkapkan karena memalukan nama keluarga dan kampus.
Perlu sinergitas untuk mendukung penanganan satu atap kekerasan seksual dengan pendekatan holistik integratif.
”Jadi, perlu mendekonstruksi dengan cara pelatihan dan menyadarkan bahwa kekerasan seksual adalah pelanggaran hak asasi manusia,” katanya.
Menurut Emy, berdasarkan kajian memang masih banyak pekerjaan rumah untuk menguatkan PPKS di kampus karena berbagai keterbatasan. Karena itu, perlu sinergitas untuk mendukung penanganan satu atap kekerasan seksual dengan pendekatan holistik integratif. Ekologi yang diwujudkan berbasis kepentingan korban dan ketidakberulangan kekerasan seksual.
Penanganan satu atap yang dimaksud melibatkan bantuan hukum, pemulihan medis, pemulihan psikososial, pendidikan, spiritual, dan ekonomi. Artinya, butuh multiaspek, interdisiplin, dan sistemik.
Darurat
Sementara itu, Inspektur Jenderal Kemendikbudristek Catharina M Girsang mengatakan, kondisi kekerasan seksual di perguruan tinggi sudah darurat. Pelaku ada yang berkategori profil tinggi dari pimpinan perguruan tinggi hingga guru besar.
Pada tahun 2022, ada 49 laporan kekerasan seksual di perguruan tinggi yang dilaporkan pada Kelompok Kerja PPKS Kemendikbudristek. Kekerasan seksual tersebut melibatkan dosen PTN ataupun PTS hingga mahasiswa.
Dari laporan kekerasan seksual yang ditangani dengan Permendikbudristek tentang PPKS, ada empat dosen PNS yang dikenai sanksi pidana dan dua dosen PNS dalam proses. Sanksi disiplin berat juga dikenakan kepada 13 dosen PNS dan satu dosen swasta, sedangkan disiplin sedang untuk empat dosen swasta.
Ada juga sanksi ringan kepada satu dosen swasta serta sanksi administratif kepada empat dosen swasta yang kontraknya diberhentikan dan dua mahasiswa dikeluarkan. Selain itu, ada pula satu mahasiswa yang diskorsing.
”Satgas PPKS ini, kan, memang masih baru. Nanti kami akan menginventarisasi mana yang memberikan dukungan anggaran dan memberikan sarana-prasarana karena kesadaran tiap pimpinan, kan, berbeda. Kita harus membuat Satgas PPKS maksimal menjalankan perannya,” kata Chatarina.
Menurut dia, saat ini Satgas PPKS di kampus masih fokus pada penanganan kasus karena mulai muncul keberanian korban untuk melapor. ”Padahal, untuk pencegahan juga tidak kalah penting guna memutus mata rantai kekerasan seksual. Peran DWP bisa mendukung dalam pencegahan,” tambahnya.
Ketua DWP Kemendikbudristek Teti Herawati Aminudin Aziz mengatakan, tiap warga negara harus bebas dari perlakuan diskriminatif dan kekerasan. Adanya kepastian hukum dengan PPKS membutuhkan komitmen bersama guna menumbuhkan lingkungan kampus yang aman dan nyaman sehingga tercipta hubungan yang kondusif.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam menambahkan, sebelum ada Permendikbudristek tentang PPKS, korban kekerasan seksual di perguruan tinggi masih sulit mencari solusi untuk masalahnya serta mengalami trauma psikologis berkepanjangan. Generasi muda harus diselamatkan dari berbagai bentuk kekerasan yang dapat mengganggu perkembangan mereka meraih masa depan yang diimpikan.
”Kami menyambut baik sukarelawan dari DWP untuk peduli pada PPKS di lingkungan perguruan tinggi. Para korban juga butuh pendekatan seorang ibu dengan segala empati sehingga dapat melewati masa-masa sulit dalam hidup,” kata Nizam.