Bahaya Tersembunyi Perubahan Iklim terhadap Penerbangan
Perjalanan udara dengan pesawat diprediksi bakal makin berbahaya. Hal ini disebabkan meningkatnya risiko turbulensi yang dipicu oleh kenaikan suhu di atmosfer.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Pesawat C-130 J-30 Suoer Hercules A-1339 TNI AU saat tiba di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin (6/3/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Dampak pemanasan global terhadap kehidupan di bumi semakin mengkhawatirkan dan bakal memburuk seiring dengan tren peningkatan gas rumah kaca. Kini, riset terbaru menunjukkan, perjalanan dengan pesawat udara ke depan bakal semakin berbahaya dengan meningkatnya risiko turbulensi yang dipicu oleh kenaikan suhu di atmosfer.
Turbulensi atmosfer telah menyumbang 71 persen dari cedera terkait cuaca dalam penerbangan dan turbulensi bakal memburuk dengan pemanasan global. Laporan penelitian dari ilmuwan di University of Reading, Inggris, tentang tren turbulensi udara terkait pemanasan global ini diterbitkan dalam jurnal internasional Climate Dynamics edisi Maret 2023. Isabel H. Smith dari Department of Meteorology menjadi penulis pertama paper ini.
Meskipun musim dingin atau musim hujan biasanya merupakan periode yang paling bergejolak bagi penerbangan, pemodelan yang dilakukan Smith dan tim menunjukkan bahwa pada tahun 2050, musim panas akan sama bergejolaknya dengan musim dingin di tahun 1950-an.
Turbulensi saat udara jernih (clear-air turbulence/CAT), menurut Smith, bakal lebih berbahaya bagi dunia penerbangan ke depan. Fenomena CAT ini biasanya berkembang di lingkungan bebas awan di atmosfer tingkat atas dan tidak memberikan petunjuk visual kepada pilot serta tidak terdeteksi oleh radar onboard.
Paparan turbulensi yang terlalu lama akan memperpendek waktu pesawat untuk dapat beroperasi. Perlengkapan pesawat dapat rusak dan kerusakan struktural yang parah dapat terjadi akibat turbulensi udara bersih yang lebih intens.
Dalam kasus yang langka, hal ini bahkan dapat menyebabkan pecahnya pesawat. Selama turbulensi sedang, barang kargo, barang bawaan penumpang, atau penumpang yang tidak terkendali dapat bertabrakan, menyebabkan kerusakan atau cedera.
BIDANG HUMAS POLRES INTAN JAYA
Pesawat dari maskapai PT SAS dengan nomor registrasi PK-FWS yang tergelincir di Bandara Bilorai, Kabupaten Intan Jaya, Senin (28/2/2022).
Pada bulan Desember 1997, sebuah pesawat Boeing 747, penerbangan UA826 yang dioperasikan oleh United Airlines, menghadapi peristiwa CAT dalam perjalanan dari Tokyo ke Hawaii.
Pesawat Boeing ini bergerak ke atas pada 1,8 g (g-force), menyamping pada 0,1 g, dan enam detik kemudian pesawat turun dengan cepat, menyebabkan g-force negatif -0,8g. Seorang penumpang tewas serta beberapa penumpang dan awak pesawat mengalami luka berat. Pesawat itu akhirnya dipensiunkan lebih awal satu tahun.
Intensitas aliran jet tergantung pada gradien suhu horizontal latitudinal. Karena curamnya gradien suhu kutub ke khatulistiwa di troposfer atas dan stratosfer bawah, aliran jet diperkirakan meningkat dalam pergeseran angin dengan perubahan iklim antropogenik.
Perjalanan udara transatlantik sering menghadapi CAT karena adanya aliran jet garis lintang tengah yang digerakkan Arus Eddy di atas Atlantik Utara. Menurut Smith dan tim, peristiwa CAT berkembang di daerah tidak stabil yang digerakkan oleh geseran. Mereka kerap ditemukan di aliran jet tingkat atas, aliran sempit angin kencang, yang memiliki ketergantungan musim yang kuat.
”Intensitas aliran jet tergantung pada gradien suhu horizontal latitudinal. Karena curamnya gradien suhu kutub ke khatulistiwa di troposfer atas dan stratosfer bawah, aliran jet diperkirakan meningkat dalam pergeseran angin dengan perubahan iklim antropogenik,” tulis Smith.
Studi ini menggunakan tiga simulator pemodelan iklim global yang mencakup periode 1950–2050 dalam analisis formasi, yaitu Model Lingkungan Global Hadley Center dalam konfigurasi Global Coupled 3.1, model Max-Plank Institute MPI-ESM1-2, dan EC-Earth-3 , model yang dibuat oleh 27 organisasi riset dan universitas Eropa. Menggabungkan model ini dengan 21 mekanisme untuk aliran udara turbulen, para peneliti menciptakan berbagai situasi yang dihasilkan CAT.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pesawat Garuda Indonesia GA258 yang menempuh penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, tergelincir saat mendarat di Bandara Adisutjipto, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (1/2) malam.
Peningkatan suhu
Berdasarkan pemodelan ini, para peneliti menemukan, untuk setiap 1 derajat celsius pemanasan global dekat permukaan, kejadian CAT sedang akan meningkat sebesar 14 persen pada musim panas dan musim gugur, serta sebesar 9 persen untuk musim dingin dan musim semi. Turbulensi sedang digambarkan sebagai menimbulkan percepatan vertikal hingga 0,5g.
Temuan ini juga sejalan dengan studi sebelumnya yang ditulis fisikawan Paul D. Williams, yang juga profesor ilmu atmosfer di Departemen Meteorologi di University of Reading di jurnal Advances in Atmospheric Sciences (2017). Dalam kajian ini disebutkan, fenomena CAT diproyeksikan meningkat 40 persen hingga 170 persen di atas Atlantik Utara dengan menggandakan konsentrasi CO2 atmosfer praindustri.
Dengan meningkatnya turbulensi di semua musim, perjalanan udara ke depan diproyeksi bakal lebih berisiko. Salah satu opsi untuk maskapai penerbangan adalah mencoba menghindari area di mana CAT terbentuk. Hal ini dapat menyebabkan waktu penerbangan yang lebih lama dan ribuan jam tambahan akumulasi biaya penerbangan dan bahan bakar.