Pemikiran kritis dibutuhkan siswa agar dapat menganalisis suatu isu secara menyeluruh. Hal ini agar ditumbuhkan di insitusi pendidikan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Anak-anak nelayan di Pantai Cilincing, Jakarta Utara, mengikuti kelas fotografi dan menulis foto berita yang diadakan oleh komunitas Kelas Jurnalis Cilik (KJC), Minggu (6/6/2021). KJC yang saat ini telah sampai angkatan keempat tersebut menghadirkan sukarelawan-sukarelawan mahasiswa, komunitas fotografi hingga guru untuk mengajar di tempat tersebut setiap Minggu sore.
JAKARTA, KOMPAS — Kemampuan berpikir kritis perlu ditumbuhkan pada diri peserta didik. Selain karena dibutuhkan di dunia kerja, kemampuan berpikir kritis penting agar peserta didik mampu merespons suatu isu secara menyeluruh. Untuk menumbuhkan pemikiran kritis, institusi pendidikan perlu menyediakan ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi diri, bertanya, dan membuat kesalahan.
“Menyediakan kesempatan bagi peserta didik untuk bereksplorasi itu penting,” kata Dekan Fakultas Humaniora dan Ilmu Sosial University of Queensland, Australia, Heather Zwicker, di Jakarta, Selasa (14/3/2023). ”Saya pikir, bentuk pendidikan yang sebenarnya adalah membiarkan peserta didik mengetes dan mencoba potensi mereka,” tambahnya.
Hal tersebut disampaikan Zwicker pada kuliah umum bertajuk ”Women in Leadership” di Universitas Paramadina, Jakarta. Dalam sesi ini, Zwicker juga memaparkan perspektifnya tentang pendidikan.
Suasana kuliah umum bertajuk Women in Leadership di Universitas Paramadina, Jakarta, Selasa (14/3/2022). Sesi kuliah ini menampilkan Dekan Fakultas Humaniora dan Ilmu Sosial University of Queensland, Australia, Heather Zwicker, sebagai pembicara.
Menurut dia, ruang belajar mesti didesain agar peserta didik tidak takut atau malu bertanya. Sebaliknya, siswa yang bertanya mesti didukung oleh pengajar dan teman belajar, serta diajak mencari jawaban, antara lain, dengan diskusi.
Ia juga mendorong agar siswa yang melakukan kesalahan selama proses belajar tidak dipermalukan, melainkan dibimbing agar dapat belajar dari kesalahan. Tanpa itu, siswa akan malu bertanya dan merasa kesalahan sebagai suatu kegagalan. Akibatnya, siswa tidak belajar secara optimal.
”Ketidaktahuan adalah prasyarat yang diperlukan untuk belajar. Suatu institusi akan lebih kuat jika warganya mengakui dengan berani bahwa mereka tidak selalu mengetahui jawaban (akan suatu isu),” kata Zwicker. ”Saya harap ada tempat di mana orang bisa belajar dari kesalahan. Dengan demikian, diharapkan tercipta masyarakat yang lebih baik, adil, dan ada dunia yang lebih kohesif,” tambahnya.
Menurut Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini, berpikir kritis wajib dilakukan warga universitasnya. Hal ini bisa ditanamkan ke mahasiswa, antara lain, melalui diskusi di ruang kelas. Pemikiran kritis menjadi penting agar mahasiswa dapat menelaah isu secara menyeluruh, mampu mengidentifikasi masalah, serta menentukan solusi dari masalah tersebut.
”Pemikiran kritis adalah DNA dari intelektual, dari scientist, mahasiswa, dan dosen. Ini karena pemikiran kritis (mendorong) dia mencari sedalam mungkin sehingga ketemu akar permasalahan (suatu isu),” ucap Didik.
ABDULLAH FIKRI ASHRI
Siswa kelas VI SDN 3 Karangwuni mengikuti kegiatan belajar mengajar di Desa Karangwuni, Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon, Jawa barat, Rabu (27/11/2019). Hanya terdapat enam siswa di kelas VI. Adapun Kelas I diisi 2 siswa, kelas II (9 siswa), kelas IV (6 siswa), dan kelas V (3 siswa).
Adapun pemikiran kritis menjadi salah satu keterampilan yang dibutuhkan dunia kerja di masa depan. Berdasarkan laporan The Future of Jobs Report 2020 oleh World Economic Forum, ada 15 keterampilan yang paling dicari pada 2025.
Sebanyak 13 keterampilan di antaranya bersifat nonteknis, yaitu berpikir kritis dan analitis, aktif belajar, mampu menyelesaikan masalah, inovatif, serta kreatif. Kemampuan nonteknis lain yang dibutuhkan adalah kepemimpinan, ketahanan, penalaran, kecerdasan emosi, serta kemampuan persuasi dan negosiasi.
Pemikiran kritis menjadi salah satu keterampilan yang dibutuhkan dunia kerja di masa depan.
Hanya dua keterampilan yang bersifat teknis. Pertama, keterampilan menggunakan, memantau, dan mengontrol teknologi. Kedua, keterampilan desain teknologi dan pemrograman.
Sebelumnya, Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim berpendapat, berpikir kritis dan kreatif belum jadi kebiasaan di ruang kelas. Capaian akademis masih menjadi standar umum di kelas. Hal tersebut tampak dari penetapan peringkat siswa.
”Bagi saya, PR (pekerjaan rumah) besar kita adalah mentransformasi cara pandang guru tentang untuk apa anak belajar, bagaimana cara anak belajar. Selama ini, mindset guru masih tentang bagaimana anak mencapai kompetensi tertentu,” kata Satriwan (Kompas, 7/10/2022).