Pemberitaan Ramah Anak agar Jadi Pedoman Dalam Kasus Mario Dandy
Dewan Pers menyerukan agar media massa memperhatikan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak. Salah satunya tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan atau disebut sebagai anak berkonflik dengan hukum.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus penganiayaan oleh tersangka Mario Dandy Satrio (20) alias MDS ramai diberitakan media massa dalam dua pekan terakhir. Kasus ini melibatkan dua anak, yaitu DO (17) yang menjadi korban dan AG (15) sebagai anak yang berkonflik dengan hukum. Dewan Pers meminta media memperhatikan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak dalam memberitakan kasus tersebut.
Penganiayaan terhadap DO terjadi di Jakarta Selatan, Senin (20/2/2023). Adapun AG merupakan mantan pacar DO. Saat ini, remaja perempuan itu dalam penanganan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).
Sejumlah pemberitaan media memuat profil dan foto-foto AG. Beberapa di antaranya bahkan membahas latar belakang keluarga dan menyebutkan alamat sekolah anak tersebut.
Dewan Pers mengingatkan beberapa hal yang perlu diperhatikan media dalam memberitakan kasus hukum terkait anak. Salah satunya tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan atau disebut sebagai anak berkonflik dengan hukum.
”Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak, khususnya yang diduga, disangka, dan didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya,” ujar Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu melalui keterangan pers, Sabtu (11/3/2023).
Dewan Pers juga mengingatkan wartawan untuk memberitakan secara faktual dengan kalimat, narasi, visual, audio yang bernuansa positif, empati, dan tidak membuat deskripsi atau rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis. Selain itu, tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya.
Ketentuan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak tersebut diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2019. ”Selain itu, berdasarkan Pasal 3 KEJ (Kode Etik Jurnalistik), dalam pemberitaan terkait tindak pidana, wartawan agar menerapkan asas praduga tidak bersalah, yaitu prinsip tidak menghakimi seseorang sebagai bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” tuturnya.
Dewan Pers mengingatkan beberapa hal yang perlu diperhatikan media dalam memberitakan kasus hukum terkait anak. Salah satunya tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan atau disebut sebagai anak berkonflik dengan hukum.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendesak media massa untuk mematuhi KEJ dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 5 KEJ berbunyi, wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan anak yang menjadi pelaku kejahatan.
”Anak-anak memiliki hak untuk dijaga privasinya, bahkan jika dia terduga pelaku dalam kasus hukum,” kata Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Nani Afrida dalam rilis AJI.
Identitas anak yang harus dilindungi adalah semua data informasi yang memudahkan orang lain untuk mengetahui anak tersebut, seperti nama, foto, gambar, nama kakak/adik, orangtua, paman/bibi, dan kakek/nenek. Selain itu, tidak menyebut keterangan pendukung, seperti alamat rumah, alamat desa, sekolah, perkumpulan, dan apa pun yang mencirikan anak itu.
Jurnalis seharusnya ekstrahati-hati saat memberitakan tentang anak agar tidak mengorbankan hak mereka. Mengedepankan KEJ sangat penting sebagai rambu-rambu dalam memenuhi tanggung jawab etis dan profesionalisme.
AJI menyayangkan sebagian pemberitaan media yang tidak berperspektif anak. ”Dampaknya berpotensi membuat anak menjadi korban kedua kalinya,” ujar Ketua Umum AJI Sasmito Madrim.