Meningkatkan Mutu dengan Biji Botani Bawang Merah
Penggunaan biji botani bawang merah yang dikembangkan Badan Riset dan Inovasi Nasional diharapkan dapat mengatasi persoalan produksi dan pembenihan bawang merah nasional. Mutu benih bawang merah pun bisa lebih baik.

Petani mengangkut bawang merah yang dipanen di Desa Gebang, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, akhir Agustus 2019.
Bawang merah yang memiliki nama latin Allium cepa L Aggregatum merupakan salah satu komoditas utama di Indonesia. Konsumsi bawang merah di masyarakat pun semakin meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk, konsumsi rumah tangga, industri makanan, dan hal lain yang menjadikan bawang merah sebagai bahan baku.
Kebutuhan akan bawang merah semakin tinggi karena komoditas tersebut tidak dapat digantikan dengan produk lain. Itu sebabnya, pemenuhan kebutuhan di masyarakat harus dilakukan dengan perluasan lahan, efisiensi produksi, dan peningkatan produksi bawang merah.
Umumnya, tanaman tersebut diperbanyak dengan menggunakan benih vegetatif atau umbi. Namun, ketersediaan benih yang bermutu sering menghadapi kendala. Benih umbi bawang merah tidak dapat disimpan lama hanya sekitar dua bulan. Ketersediaannya pun terbatas ketika akhir musim (off seasons) sehingga menyebabkan harga meningkat signifikan.
Biji botani bawang merah atau true shallot seed bisa menjadi alternatif teknologi yang potensial untuk memecahkan masalah perbenihan bawang merah.
Penggunaan benih umbi juga memiliki keterbatasan seperti tingginya penyakit degeneratif pada tanaman akibat benih yang digunakan dari generasi ke generasi. Biaya pengangkutan umbi pun mahal karena kebutuhan yang besar. Untuk luas sekitar 1 hektar lahan membutuhkan setidaknya 1,2 ton umbi benih. Dengan kebutuhan yang besar itu pula perlu gudang khusus untuk penyimpanan umbi.

Bawang merah yang telah dipanen diangin-anginkan sebelum dibersihkan di rumah salah satu petani holtikultura di daerah Kayu Jao, Solok, Sumatera Barat, Juli 2019.
Peneliti dari Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Paulina Evy Retnaning Prahardini mengatakan, benih merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan dalam peningkatan produktivitas tanaman bawang merah. Ketersediaan benih, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, harus dipastikan terjamin demi keberlanjutan usaha tani bawang merah di tingkat nasional.
Sayangnya, ketersediaan benih yang bermutu saat ini masih kurang. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022 menunjukkan, ketersediaan benih bermutu hanya 20 persen dari kebutuhan sekitar 80.000 ton. Untuk mengisi kebutuhan tersebut, pemenuhan kebutuhan benih pun terkadang menggunakan umbi konsumsi ataupun diperoleh secara impor. Padahal, penggunaan umbi konsumsi sebagai umbi benih seringkali tidak memenuhi standar mutu.
Baca juga : BRIN Fasilitasi Pengujian Produk Inovasi Pertanian
”Biji botani bawang merah atau true shallot seed bisa menjadi alternatif teknologi yang potensial untuk memecahkan masalah perbenihan bawang merah. Metode perbanyakan benih bisa dilakukan secara massal sehingga penyediaan benih bisa sepanjang tahun,” katanya dalam acara HortiEs Talk #1 bertajuk Teknologi TSS Menjawab Masalah Produksi dan Pembenihan Bawang Merah Nasional di Jakarta, Rabu (8/3/2023).

Ia menuturkan, penggunaan benih biji botani bawang merah atau TSS bisa meningkatkan nisbah perbanyakan benih menjadi 1 : 200-300, sementara pada benih umbi hanya 1 : 10. Akan tetapi, benih biji botani memiliki kelemahan dibandingkan benih umbi, yakni perlu penangkaran khusus yang memerlukan perubahan pola pikir dan kebiasaan dari petani dari yang sebelumnya menangkar benih dari umbi menjadi biji.
Perbandingan
Paulina mengatakan, benih biji bawang merah memiliki karakteristik yang lebih unggul dibandingkan dengan benih umbi. Itu antara lain, volume yang lebih kecil, yakni sekitar 3-5 kilogram (kg) benih biji untuk kebutuhan 1 hektar lahan, sedangkan pada benih umbi membutuhkan 1,2 ton benih umbi untuk kebutuhan 1 hektar lahan. Dengan volume yang lebih kecil tersebut, benih biji pun lebih mudah didistribusikan serta biayanya menjadi lebih murah.
Karakteristik lain dari benih biji adalah dapat disimpan dalam jangka waktu lebih dari satu tahun dan tidak ada masa dormansi (henti tumbuh). Dibandingkan dengan benih umbi, masa berlakunya lebih pendek sekitar dua bulan sehingga keberlanjutan pasokan antarmusim tidak bisa dijamin.
”Hanya saja, benih biji ini hanya dapat diproduksi dengan baik pada dataran tinggi dengan karakteristik lahan di dataran tinggi di atas 900 meter di atas permukaan laut dengan ketersediaan air yang mencukupi serta di lahan yang mendatar,” tutur Paulina.

Petani mengangkut bawang merah yang dipanen di Desa Gebang, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, akhir Agustus 2019.
Ia menambahkan, lahan juga harus dipastikan mengandung bahan organik yang cukup. Tingkat keasaman atau pH tanah sebaiknya 5,6-6,4. Hal lain yang perlu dipastikan adalah lahan yang digunakan bebas penyakit endemis.
Paulina menyebutkan, saat ini setidaknya pengembangan benih biji botani bawang merah telah dilakukan di Kota Batu dan Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Lahan di daerah tersebut telah memenuhi karakteristik yang dibutuhkan.
Baca juga : Bawang Merah, Inovasi Petani Tembus Pasar Luar Negeri
”Dari peragaan yang dilakukan menunjukkan dari luasan 1.500 meter persegi lahan kita bisa hasilkan benih berupa biji untuk kebutuhan 5 hektar, sedangkan umbi yang merupakan hasil panen sampingan ini bisa ditanam untuk luasan 1 hektar,” kata Paulina.
Tahap produksi
Tahapan produksi benih biji bawang merah dimulai dengan pemilihan varietas yang diinginkan. Varietas yang dipilih sebaiknya yang paling banyak disukai oleh konsumen dari sisi aroma, bentuk umbi, serta warna kulit umbi.
Selain itu, varietas yang dipilih harus yang mampu menghasilkan bunga yang banyak karena benih biji akan didapatkan dari bunga. Pastikan pula varietas yang dipilih sudah dilepas oleh pemerintah atau swasta agar sertifikasi pembenihannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Setelah varietas dipilih, tahap selanjutnya dilakukan proses vernalisasi. Pada tahap ini umbi disimpan pada suhu sekitar 10 derajat celsius selama empat minggu. Proses ini diperlukan untuk mengubah pertumbuhan tanaman dari sebelumnya vegetatif menjadi generatif. Tanaman bawang merah pun nantinya bisa cepat berbentuk bunga.
Setelah itu, tahapan yang dilakukan yakni perendaman BAP (benzyl amino purin) dengan konsentrasi 37,5 ppm selama satu jam. Perendaman ini berfungsi untuk memperbanyak jumlah bunga yang terbentuk serta memperbesar ukuran bunga payung (umbel). Apabila setelah proses perendaman terdapat tunas, umbi tetap bisa ditanam.
Tahapan berikutnya adalah proses penanaman. Ketika menanam perlu tambahan pupuk organik sebanyak 10 ton per hektar dengan pupuk SP36 sebanyak 350 kg per hektar. Umbi yang ditanam pun perlu dipilih yang memiliki bobot tujuh gram dengan jarak tanam antarumbi 20 x 20 sentimeter.

Bawang merah produksi petani bawang merah asal Desa Sumbersuko, Kecamatan Dringu, Kabupaten Probolinggo, awal Juni 2021.
Setelah itu, pemeliharaan tanaman. Pada usia tanam 2,5-3,5 minggu biasanya sudah akan tumbuh calon bunga. Jika tidak ada proses vernalisasi, calon bunga tidak akan muncul.
”Saat pemeliharaan tanaman ini penyiraman dilakukan dengan memberikan pupuk NPK dengan dosis 600 kg per hektar yang diberikan sebanyak 11 kali. Jadi per periode butuh enam kg per hektar. Pada usia tiga, lima, dan tujuh minggu berikan pula pupuk boron untuk meningkatkan viabilitas benih,” kata Paulina.
Langkah lain untuk pemeliharaan tanaman perlu dipasang naungan dengan plastik UV. Pemasangan ini bisa dilakukan pada usia tanaman sekitar 2-3 minggu. Setelah itu, pembungaan akan terjadi dengan bunga raya pada usia 7-8 minggu setelah tanam.
Kemudian, proses penyerbukan pun akan terjadi. Pemindahan serbuk sari dari antera ke permukaan putik akan dibantu oleh polinator, seperti lebah madu, tawon, lalat hijau, ataupun capung. Penyerbukan pada tanaman bawang merah ini tidak bisa dibantu oleh angin karena benang sari pada bunga yang sifatnya lengket. Jika jumlah polinator alami tidak cukup, perlu disediakan polinator tambahan.
Setelah terjadi penyerbukan, kata Paulina, barulah proses panen bisa dilakukan. Panen dilakukan ketika usia tanaman sekitar 105-110 hari setelah tanam. Biji yang diambil berwarna hitam. Waktu panen perlu dilakukan secara bertahap, yakni sebanyak 5-6 kali dengan interval 4-7 hari sekali.

Kepala Kebun Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Asep Permana meniti bunga-bunga bawang merah yang disiapkan menjadi benih di Kebun Balitsa di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
”Pastikan benih biji yang dipanen sudah siap panen. Panen biji yang masih muda dapat menghasilkan mutu biji dengan viabilitas rendah,” tuturnya.
Paulina menyampaikan, dari pengembangan yang telah dilakukan kendala produksi yang dihadapi saat ini, antara lain, adanya keterbatasan air saat pembentukan biji. Di dataran tinggi, banyak komoditas lain yang juga membutuhkan air. Selain itu, kendala lain jika ada serangan penyakit stemphylium pada tangkai bunga. Serangan ulat juga bisa terjadi saat penuaan biji. Pada kondisi tertentu, terutama ketika ada angin kencang, naungan bunga bisa rusak.
Peneliti PRHP BRIN Retno Pangestuti menambahkan, penggunaan benih biji bawang merah dengan umur panen yang lebih panjang bisa menyebabkan keenggana petani untuk menggunakannya. Untuk itu, teknik lain bisa digunakan untuk memperpendek masa panen, yakni melalui teknik transplanting atau pindah tanam.
Proses penyemaian bisa dilakukan terlebih dahulu. Setelah berusia 30-42 hari, semaian bisa dipindahkan ke lahan. Dengan teknik ini, petani bisa mendapatkan bahan tanam berkualitas dengan umur panen 55-60 hari di lahan. Itu tidak berbeda dengan umur panen dari benih umbi.
Baca juga : Inovasi Pertanian agar Tepat Guna bagi Petani
Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP) BRIN Puji Lestari menyampaikan, biji botani bawang merah (TSS) merupakan salah satu alternatif yang bisa membantu menyelesaikan kendala ketersediaan benih bermutu di masyarakat. Pengembangan benih biji ini pun dinilai penting mengingat bawang merah cukup banyak digunakan oleh masyarakat.
Menurut dia, budidaya bawang merah yang selama ini dilakukan secara intensif belum dapat menjamin kontinuitas produk. Itu mengakibatkan kurangnya pasokan pada akhir musim. ”Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, produktivitas bawang merah nasional berada pada kisaran 8,5-10,5 ton per hektar. Ini merupakan indikasi stagnasi produk komoditas,” ujarnya.