Virus yang Terperangkap Puluhan Ribu Tahun di ”Permafrost” Bisa Hidup Kembali
Virus kuno berusia puluhan ribu tahun yang dorman di tanah beku Siberia dapat dihidupkan kembali dan menginfeksi makhluk modern.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Saat dunia menghangat karena perubahan iklim, lapisan tanah beku atau permafrost di Siberia terus mencair dan melepaskan berbagai bahan organik yang sebelumnya membeku selama ribuan tahun, termasuk bakteri dan virus. Tim ilmuwan iklim dari Perancis, Rusia, dan Jerman baru-baru ini telah menguji bahwa virus kuno yang dorman ini dapat menginfeksi makhluk modern saat bangun kembali.
Laporan studi ini dilaporkan di jurnal akses terbuka Viruses dan bisa diakses Sabtu (11/3/2023). Jean-Marie Alempic dari Institut de Microbiologie de la Méditerranée, Perancis, menjadi penulis pertama paper ini.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa permafrost merupakan bahan pengawet yang sangat baik. Banyak bangkai hewan beku punah telah diekstraksi dari permafrost di Belahan Bumi Utara.
Sejumlah penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa benih tanaman yang terbengkalai di permafrost dapat tumbuh setelah dihidupkan kembali. Dan ada bukti menunjukkan virus dan bakteri yang terperangkap di permafrost dapat menginfeksi inang jika dihidupkan kembali. Dalam upaya baru ini, para peneliti menguji teori ini.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Peneliti melakukan riset di laboratorium Pusat Genom Nasional di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Kamis (26/4/2018). Pusat Genom Nasional dilengkapi alat-lat sequens genetika terbaru yang menjadikan Indonesia memiliki laboratorium bertaraf internasional. Pusat Genom ini berfokus pada penelitian identifikasi penyakit infeksi ataupun terkait genetik, pengembangan alat uji diagnostik dan vaksin, serta penemuan obat baru untuk penyakit infeksi.
Upaya tim peneliti menindaklanjuti pekerjaan mereka sebelumnya pada tahun 2014 yang menunjukkan virus kuno dari tanah beku ini dapat dihidupkan kembali dan dapat menulari Acanthamoeba spp.
Virus termuda yang telah dihidupkan kembali berumur 27.000 tahun. Adapun virus tertua disebut Pandoravirus, berusia sekitar 48.500 tahun, menjadi virus tertua yang pernah dihidupkan kembali.
”Mengingat keragaman virus ini, baik dalam struktur partikel maupun mode replikasinya, orang dapat menyimpulkan bahwa banyak virus eukariotik lain yang menginfeksi berbagai inang jauh di luar Acanthamoeba spp. mungkin juga tetap menular dalam kondisi serupa,” tulis Alempic dan tim.
Jejak genomik dari virus kuno juga telah terdeteksi dalam studi metagenomik skala besar baru-baru ini tentang permafrost kuno serta di sedimen danau Arktik. ”Mereka termasuk patogen manusia dan vertebrata yang terdokumentasi dengan baik, seperti poxvirus, herpesvirus, dan asfarvirus, meski dalam proporsi lebih rendah daripada virus yang menginfeksi protozoa,” katanya.
Mengingat keragaman virus ini, baik dalam struktur partikel maupun mode replikasinya, orang dapat menyimpulkan bahwa banyak virus eukariotik lain yang menginfeksi berbagai inang.
Tim menindaklanjuti upaya itu dengan menghidupkan kembali virus yang berbeda pada 2015 dan membiarkannya menginfeksi amuba. Dalam upaya baru ini, tim mengumpulkan beberapa spesimen virus dari berbagai situs permafrost di seluruh Siberia untuk pengujian laboratorium.
JURNAL VIRUSES (2023).
Fitur morfologi virus yang diisolasi dari lapisan tanah beku di Siberia (pewarnaan negatif, TEM). ( A ) Partikel ovoid besar (panjang 1.000 nm) dari Pandoravirus yedoma (strain Y2). (B) Campuran partikel oblate Pandoravirus mammoth (strain Yana14) dan megavirus mammoth (strain Yana14). (C) Partikel Cedratvirus lena yang memanjang (strain DY0) (panjangnya 1.500 nm) menunjukkan dua struktur seperti gabus apeks (panah putih). (D) Partikel memanjang dari mammoth Pithovirus (panjang 1.800 nm) menunjukkan struktur seperti gabus apeks tunggal (panah putih). (E) Partikel ikosahedral berbulu besar (berdiameter 770 nm) dari Megavirus mammoth (strain Yana14), menunjukkan karakteristik stargate (mata panah putih) dari subfamili Megavirinae. (F) Partikel icosahedral yang lebih kecil (berdiameter 200 nm) dari Pacmanvirus lupus (strain Tums2) tipikal dari asfarvirus/pacmanvirus. Kredit: Jurnal Viruses (2023).
Untuk alasan keamanan, tim peneliti hanya mengumpulkan apa yang disebut virus raksasa dan hanya yang dapat menginfeksi amuba, bukan manusia atau makhluk lain. Dalam menghidupkan kembali sampel virus, tim menemukan bahwa mereka masih mampu menginfeksi amuba.
Mereka juga menemukan, melalui penanggalan radiokarbon dari permafrost tempat mereka ditemukan, virus tersebut telah berada dalam keadaan tidak aktif antara 27.000 dan 48.500 tahun.
Alarm bahaya
Dalam kesimpulan, para peneliti menyatakan, temuan ini mengisyaratkan masalah jauh lebih besar saat planet menghangat dan permafrost mencair, ada kemungkinan munculnya virus yang mampu menginfeksi manusia.
”Ancaman itu bukanlah fiksi ilmiah, riset sebelumnya menemukan virus influenza dalam sampel paru-paru seorang perempuan yang meninggal di Alaska selama pandemi flu tahun 1918. Tim lain menemukan virus terkait cacar pada mumi wanita yang ditemukan di Siberia—dia berada di sana selama 300 tahun,” tulis Alempic.
Temuan Alempic dan tim ini bukan pertama kali memberi alarm bahaya dari mencairnya permafrost. Studi sebelumnya oleh Matthieu Legendre, juga dari Institut de Microbiologie de la Méditerranée, Perancis, di jurnal PNAS pada 2014 telah menemukan Pithovirus dan Mollivirus di lapisan tanah beku Siberia.
AFP/PATRICK T FALLON
Sekelompok pengunjung melintasi gletser dalam tur wisata di gletser Matanuska, sepanjang 43,4 kilometer yang mengalirkan air ke Sungai Matanuska pada 10 Juli 2022, sekitar 161 kilometer timur laut dekat Palmer, Alaska.
Dalam paper ini, Legendre telah memperingatkan bahwa kita harus mewaspadai risiko partikel virus purba tetap menular dan kembali ke sirkulasi dengan mencairnya lapisan permafrost kuno oleh pemanasan global ataupun eksploitasi industri di kawasan ini.
Beberapa kajian yang dilakukan para ilmuwan mengungkapkan, semua virus yang dibangunkan kembali dari sampel itu adalah virus DNA raksasa yang hanya menyerang amuba.
Mereka bukan dari kelompok virus yang menyerang mamalia, apalagi manusia dan amat tak mungkin menimbulkan bahaya bagi manusia. Namun, tidak mungkin suatu ketika muncul virus dari lapisan tanah beku ini yang bisa menginfeksi manusia.