Beragam risiko ditempuh para kurir untuk bisa memastikan paket milik pelanggan tiba tepat waktu. Hanya saja, perlindungan bagi mereka sangat kurang. Bahkan, pemberian upah pun sangat terbatas.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Aji Akbar (27) memberikan paket kepada salah satu pelanggan di Jalan Mayor Ruslan, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (7/3/2023). Aji merupakan salah satu pejuang paket di Palembang yang kerap membantu masyarakat mengantar paket.
Paket... paket! Suara nyaring keluar dari mulut Aji Akbar (26), kurir salah satu perusahaan pengiriman di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (7/3/2023). Tidak lama berselang, seorang penghuni rumah keluar dan berkata, ”Paket untuk siapa?”
”Veronika. Benar ini rumahnya?” tanya Aji. ”Ya, benar,” jawab penghuni rumah itu, singkat. Lalu, paket berbungkus plastik hitam pun diberikan. Setelah itu, Aji kembali memacu motornya untuk mengirimkan paket lainnya.
Pergerakannya sangat lincah menjelajahi gang-gang sempit. Dengan motor matiknya, ia meliuk-liuk seakan sudah terbiasa dengan medan laga. Hanya melihat alamat termasuk nomor rumah, Aji sudah tahu rumah yang dituju.
Apabila penerima paket sudah menjadi langganan dan kebetulan tidak ada orang di rumah itu, Aji tinggal meletakkan paket di tempat yang sudah disepakati. Setelah ia mengonfirmasi jika paket telah tiba. ”Jangan sampai ada pelanggan yang komplain,” kata bapak dua anak ini.
Dengan kemampuannya itu, tak heran, dalam waktu dua jam, Aji sudah mengirim sekitar 50 paket. Rute kerja Aji hanya berkutat di dua kawasan, yakni di Jalan Dempo dan Jalan Mayor Ruslan, Palembang. Jadi, terkait alamat dan nomor rumah, ia sudah hapal di luar kepala.
Ketika paket yang dikirimkan sudah habis, ia akan kembali ke gudang barang untuk mengambil lagi barang yang tersisa. ”Rata-rata, dalam satu hari, ada 60-80 paket yang saya antar. Namun, pada awal minggu di hari Senin biasanya jumlahnya akan meningkat hingga dua kali lipat,” ujar Aji menjelaskan.
Aji Akbar (27) sedang memilah paket yang dia kirim kepada salah satu pelanggan di Jalan Mayor Ruslan, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (7/3/2023). Aji merupakan salah satu pejuang paket di Palembang yang kerap membantu masyarakat untuk mengantar paket.
Sudah tiga tahun Aji melakoni pekerjaan ini. Walau berisiko karena harus memburu waktu, ia menilai pekerjaan ini merupakan yang paling cocok dengannya.
Untuk setiap paket yang ia kirim, Aji memperoleh upah Rp 1.500. ”Jadi, semakin banyak paket yang saya kirim, pendapatan saya semakin besar. Sebaliknya, jika paket yang saya kirim sedikit, pendapatan pun seadanya,” ujarnya.
Bayaran itu juga tidak memperhitungkan biaya perawatan kendaraan, termasuk bahan bakar. Tidak ada perlindungan yang diberikan perusahaan. ”Karena sistem kerja yang kami terima hanyalah kemitraan,” ujar Aji.
Hal serupa dialami oleh Solihan (27), ia juga hanya mendapatkan bayaran berdasarkan jumlah paket yang diantar. Bahkan, ketika ada barang yang hilang, ia yang diwajibkan untuk mengganti paket tersebut.
”Saya pernah mengalami kecelakaan motor dan ada paket hilang. Saya harus menanggung kehilangan tersebut. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula,” ungkapnya.
Meskipun begitu, jika giat bekerja, penghasilan yang ia terima pun lumayan. Dalam satu bulan, Solihan bisa memperoleh pendapatan bersih sekitar Rp 5 juta.
Menurut Solihan, ini adalah pekerjaan yang paling sesuai dengan pendidikan yang ia tempuh. ”Saya hanya mengikuti Kejar Paket C. Untuk saat ini, pekerjaan ini (kurir) mungkin yang paling cocok,” ucapnya.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Kondisi gudang barang di PT TIKI Cabang Palembang, Rabu (8/3/2023). Paket ini akan diantarkan ke pelanggan di berbagai daerah di Palembang. Paket ini sebagian besar datang dari beberapa kota besar, seperti Jakarta dan Bandung.
Agus Haryadi (30) mungkin lebih beruntung. Selama 10 tahun bekerja sebagai kurir di PT TIKI Palembang, ia mendapatkan berbagai fasilitas, mulai dari gaji tetap bulanan, insentif, uang operasional, hingga perlindungan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Hal ini membuatnya lebih aman dalam bekerja. Agus menuturkan, dirinya nyaman menjalani pekerjaan ini karena skema kerja yang diberikan perusahaan cukup baik. ”Kami memiliki jam kerja dan pembagian wilayah kerja yang jelas,” katanya.
Meskipun begitu, tantangan di lapangan tetap saja ada. Misalnya komplain dari pelanggan karena paket terlambat datang. Padahal, itu bisa terjadi karena alamat penerima paket yang tidak jelas ataupun pengirim yang terlambat mengirimkan paket. ”Namun, ini dinamika dalam pekerjaan,” ujar bapak dua anak ini.
M Nur Ihksan dari Human Resources PT TIKI Palembang menuturkan, pembagian kerja dan juga perlindungan kepada kurir menjadi prioritas karena tentu akan berpengaruh pada performa kurir itu sendiri. ”Ini berkaitan dengan pelayanan tentu harus memberikan yang terbaik,” ujarnya.
Menurut dia, pembagian kerja memang harus jelas agar proses pengantaran bisa lebih optimal. Dalam satu hari, Tiki Palembang bisa mengantar sekitar 1.200 paket. Ini tentu harus dikirim tepat waktu.
Karena itu, kesehatan karyawan pun perlu diperhatikan. ”Jika ada karyawan yang sakit akibat terlalu keras bekerja tentu akan berpengaruh pada alur kerja kurir yang lain,” tuturnya.
RHAMA PURNA JATI
Kiki Wulandari (32) sedang menawarkan jilbabnya melalui lokapasar di rumahnya yang ada Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Sabtu (27/11/2021). Sejak masa pandemi penggunaan platform digital meningkat.
Sangat membantuBagi pelanggan, keberadaan kurir sangat membantu. ”Kita tinggal bayar, paket bisa dikirim segera,” kata Agustina, warga Palembang yang kerap menggunakan jasa kurir. Beberapa tahun lalu, ketika masih berbisnis, ia kerap menggunakan jasa kurir untuk mengantarkan barang dagangannya kepada pelanggan.
Kurir tersebut adalah kurir lokal Palembang yang menetapkan tarif sekitar Rp 10.000 untuk setiap paket yang dikirim. ”Biasanya pengiriman paket memang hanya di sekitar kota Palembang,” ujar Agustina.
Untuk pembayaran kurir sendiri, ujar Agustina, semua ditanggung oleh pembeli barang. Menurut dia jasa ini sangat membantu di tengah pesatnya teknologi. ”Jika kita harus menggunakan ojek daring, tarifnya lebih mahal. Namun, dengan kurir lokal, harganya hanya Rp 10.000 untuk semua rute di seluruh Palembang,” ucapnya.
Ketua Asosiasi Perusahaan Nasional Pengiriman dan Pengantaran Barang Indonesia (Asperindo) Sumatera Selatan Hari Jumadi menuturkan, terkait kebijakan mengenai pemberian upah dan aturan kerja, setiap perusahaan memiliki metode yang berbeda. ”Ada yang ditangani oleh perusahaan sendiri atau bekerja sama dengan vendor,” ujarnya.
Untuk perusahaan milik sendiri, biasanya kurir memiliki dua status, yakni pegawai tetap dan pekerja waktu tertentu (kontrak). Adapun untuk pola vendor delivery, mereka melakukan kontrak mitra dengan perusahaan atau orang untuk melakukan pengantaran barang.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Tumpukan paket barang di sebuah perusahaan jasa pengiriman paket barang di Banda Aceh, Kamis (24/7/2014).
Namun, baik berstatus kontrak maupun pegawai tetap, Asperindo mendorong setiap perusahaan memberikan perlindungan kepada setiap kurirnya. Apalagi, perlindungan pekerja dalam sebuah badan hukum menjadi hal yang wajib dipenuhi. ”Setiap perusahaan pemberi kerja atau individu harus memastikan setiap kurir sudah terlindungi melalui BPJS,” tuturnya.
Apalagi, kewajiban tersebut sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Haris berharap semua warga negara, termasuk kurir, dapat terlindungi karena pekerjaan mereka cukup berisiko.