Profesi kedokteran mengharapkan anggotanya mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan sendiri, menjaga harkat profesi kedokteran, serta memegang teguh etika kedokteran.
Oleh
SAMSURDJAL DJAUZI
·5 menit baca
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA (ESA)
Muhammad Asroruddin, dokter spesialis mata di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura, Pontianak (baju batik) membimbing koassistensi (koass) sarjana kedokteran FK Untan, Senin (2/5/2015), di Pontianak. Koassistensi merupakan program pendidikan profesi yang harus ditempuh calon dokter setelah menyelesaikan program akademik.
Anak pertama saya, perempuan, lulus dokter lima tahun yang lalu. Dia menikah dengan kakak kelasnya juga seorang dokter. Mereka telah menyelesaikan tugas di daerah selama tiga tahun dan sekarang kembali ke Jakarta. Suami anak saya melanjutkan karier di bidang kesehatan masyarakat, sedangkan anak saya melanjutkan pendidikan menjadi dokter spesialis anak. Sejak mahasiswa dia ingin sekali menjadi spesialis anak. Sekarang dia baru pada tahun kedua pendidikan.
Keluarga saya hanya sedikit yang terjun di bidang kedokteran. Saya seorang insinyur dan kakak serta adik saya di perbankan dan bisnis. Ketika anak saya tinggal di rumah saya, kami banyak berbincang mengenai dunia profesi kedokteran. Saya merasa sebagai orang yang di luar profesi kedokteran, banyak hal yang saya tak tahu tentang profesi ini. Contohnya, seorang dokter menganggap sejawatnya sesama dokter sebagai saudara kandung. Dokter tidak boleh menarik honorarium jika pasiennya dokter atau keluarga inti dokter. Saya juga baru memahami bagaimana sikap seorang dokter terhadap gurunya. Ternyata profesi kedokteran mengharapkan para dokter menghargai para guru mereka.
Saya mengikuti berbagai berita mengenai dunia kedokteran kita. Baik berita yang menyenangkan maupun berita yang kurang menyenangkan. Saya merasa banyak kesalahpahaman di masyarakat terhadap profesi dokter. Apalagi media sosial lebih banyak mengungkapkan kekurangan dunia kedokteran kita. Padahal, menurut anak saya layanan kedokteran kita cukup maju dibandingkan dengan layanan kedokteran di negara-negara ASEAN. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjadi anggota Ikatan Dokter ASEAN dan beberapa kali menjadi ketua Ikatan Dokter ASEAN.
Secara berkala IDI menghadiri pertemuan organisasi profesi kedokteran ASEAN maupun dunia. Bahkan, Indonesia juga pernah menjadi ketua World Medical Association (Asosiasi Profesi Kedokteran Sedunia). Fakultas Kedokteran di Indonesia juga menjadi tempat belajar mahasiswa asing pada jalur pendidikan internasional baik di UI, UNPAD, UGM, dll.
Setiap tahun, banyak masyarakat Indonesia yang berobat keluar negeri. Bukan karena alasan layanan kedokteran di luar negeri lebih baik, itu dilakukan namun karena berbagai alasan lain, misalnya, biaya pengobatan yang lebih murah atau tidak ingin diketahui sedang berobat (menjaga kerahasiaan). Saya berharap para dokter atau organisasi kedokteran Indonesia lebih rajin mengenalkan kemajuan layanan kedokteran di Indonesia serta mengenalkan adat kebiasaan dokter sehingga lebih dapat dipahami oleh masyarakat. Kita harus menjaga bersama agar profesi kedokteran di Indonesia dapat terus maju agar bisa melayani masyarakat secara lebih baik. Para pejabat serta tokoh masyarakat hendaknya dapat terus mendukung kemajuan dunia kedokteran kita.
M di J
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Cendekiawan Berdedikasi Prof DR Dr Samsuridjal Djauzi, SpPD-KAI FACP Guru Besar FKUI
Wah, saya merasa senang sekali dengan pendapat Anda. Kita bersama harus menjaga agar dunia kedokteran kita maju serta memberikan kontribusi pada pembangunan bangsa. Kita baru saja melampaui pandemi Covid-19 yang juga dialami bangsa-bangsa lain. Alhamdulillah, kita dapat melampauinya secara cukup baik. Meski kita prihatin pandemi Covid-19 telah memakan korban yang tidak sedikit, kita dapat berbangga bahwa bangsa kita dapat menekan pandemi ini secara lebih baik dibandingkan negara-negara lain.
Jumlah penerima vaksin di Indonesia melebihi 200 juta orang. Ini merupakan kerja besar kita bersama. Kerja pemerintah, tidak hanya Kementerian Kesehatan, namun juga berbagai kementerian lain termasuk kepolisian dan tentara. Vaksin Covid-19 yang semula diragukan manfaatnya oleh masyarakat, berkat penyuluhan yang tak kenal lelah dapat diterima bahkan kemudian dicari masyarakat. Upaya kita menanggulangi Covid-19 merupakan cerminan kerja sama yang baik dari semua pihak.
Hubungan kelembagaan
Ketika saya diterima menjadi anggota IDI pada tahun 1970, Prof. Utoyo Sukaton, Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia waktu itu memberi ucapan selamat. Waktu itu saya belum mengerti bahwa menjadi anggota profesi kedokteran adalah suatu pengakuan bahwa kita telah memenuhi persyaratan diterima menjadi anggota perhimpunan profesi kedokteran. Profesi kedokteran mengharapkan anggotanya mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan sendiri (altruisme), menjaga harkat profesi kedokteran, serta memegang teguh etika kedokteran.
Saya telah 53 tahun menjadi anggota IDI, pernah juga menjadi ketua IDI Cabang Samarinda, anggota Pengurus Besar IDI dan menjadi Sekjen IDI ketika Ketua Umum Pengurus Besarnya Dr. Azrul Azwar. Saya masih ingat ketika PB IDI mengirimkan surat permohonan audiensi kepada Presiden Soeharto, surat tersebut dijawab dengan cepat dan kami mendapat kesempatan melaporkan hasil kongres, termasuk apa yang akan dilakukan pada kepengurusan yang akan datang. Presiden Soeharto menyediakan waktu hampir satu jam untuk mendengar laporan serta memberikan arahan. Harapan beliau waktu itu adalah agar dunia kedokteran kita dapat maju bersama dengan negara-negara tetangga kita.
Menjadi anggota profesi kedokteran adalah suatu pengakuan bahwa kita telah memenuhi persyaratan diterima menjadi anggota perhimpunan profesi kedokteran.
Prestasi kita waktu itu di bidang kesehatan dan kependudukan cukup menonjol. Pemerataan tenaga dokter berkat instruksi presiden termasuk merata di seluruh Indonesia. Angka pertumbuhan penduduk kita dapat dikendalikan dengan baik. Banyak negara yang belajar di BKKBN kita. Program Posyandu mendapat penghargaan dunia. Hubungan pemerintah dan IDI berjalan baik meski bisa saja berbeda pendapat. Waktu itu pemerintah mencanangkan zero growth pegawai negeri, pengangkatan pegawai negeri untuk dokter akan dihentikan. IDI tidak setuju dan memperjuangkan agar tenaga dokter tetap mendapat kesempatan menjadi pegawai negeri. Meski berbeda pendapat, hubungan Menteri Kesehatan (dr. Adhyatma) dan Ketua IDI (Dr. Azrul Azwar) amat baik.
Ke depan, kita akan menghadapi banyak persoalan di bidang kesehatan. Anda benar, IDI harus lebih banyak memberikan informasi ke luar, ke masyarakat maupun ke pemerintah. Sebaliknya, masyarakat dan pemerintah harus lebih banyak berkomunikasi dengan IDI.
Kita pernah juga memperoleh prestasi yang membanggakan. Guru saya Prof. Padmosantjojo, pakar bedah syaraf kita yang berhasil memisahkan bayi kembar yang kepalanya bersatu, menjadi sorotan dunia termasuk para seniornya di Groningen, negeri Belanda. Groningen mengirim suatu tim untuk meninjau apa yang dikerjakan oleh Prof. Padmo. Ternyata beliau telah berhasil melakukan operasi yang amat rumit dan berisiko dengan amat baik. Prof. Padmo mendapat pujian dari guru-gurunya di Groningen. Ketika mereka mengetahui bahwa Prof. Padmo belum diangkat menjadi profesor, tim dari Groningen menghadap menteri pendidikan dan menanyakan hal tersebut.
Jumlah dokter di Indonesia sudah mencapai 150 ribu orang. IDI sudah semakin kuat, namun tanggung jawabnya juga semakin besar. Dengan dukungan masyarakat dan pemerintah kita berharap IDI akan dapat menjalankan tugas mulianya sebagai organisasi profesi kedokteran di Indonesia.