Edelweis Rawa, Tanaman Langka yang Kini Tak Bernyawa
Edelweis rawa merupakan tanaman langka yang hanya bisa tumbuh di daerah-daerah tertentu, seperti di Ranca Upas. Namun, ketidaktahuan serta kecerobohan sekelompok pihak membuat tanaman ini tergilas dan tak bernyawa.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Edelweis rawa merupakan tanaman langka yang hanya bisa tumbuh di daerah-daerah tertentu, seperti di Ranca Upas, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Namun, ketidaktahuan serta kecerobohan sekelompok pihak membuat tanaman ini tergilas dan menjadi tak bernyawa.
Akhir pekan lalu, beredar video di media sosial seorang petani di Ranca Upas, Kabupaten Bandung, meluapkan kemarahannya seusai hamparan ilalang yang juga ditumbuhi bunga edelweis rawa rusak tak bersisa. Hamparan ilalang dan edelweis rawa tampak berlumpur tergilas oleh ratusan orang dari komunitas motor trail yang melewati area tersebut.
Dalam video tersebut, seorang petani yang diketahui bernama Supriatna juga menyalahkan penyelenggara dan Perum Perhutani yang memberikan izin acara itu tanpa mengindahkan aspek lingkungan. Kegeraman Supriatna semakin menjadi karena selama dua tahun terakhir, ia telah bersusah payah menanam edelweis rawa tersebut.
Melalui keterangan resmi di Instagram, Perum Perhutani berterima kasih kepada masyarakat dan pemerhati lingkungan dalam menyikapi kejadian tersebut.Sebagai tindak lanjut, Perum Perhutani telah menghentikan pemberian izin aktivitas offroad kendaraan motor dan mobil di kawasan hutan yang tidak sesuai prosedur.
Meski memiliki karakteristik yang hampir serupa, edelweis rawa tidak sama dengan edelweis yang tumbuh di pegunungan.
Selain itu, rehabilitasi lahan berupa penanaman kembali sebagai upaya pemulihan ekosistem di Ranca Upas yang terdampak kegiatantersebut juga dilakukan.Rehabilitasi ini melibatkan berbagai pihak, mulai dari Econique (Perhutani Alam Wisata) sebagai pengelola Wisata Ranca Upas, pemerhati lingkungan, dan pihak-pihak terkait lainnya.
Kegiatan yang pada akhirnya merusak bentang alam dan edelweis rawa sebagai tanaman langka tersebut memang patut disorot. Sebab, habitat edelweis rawa yang memiliki nama latin Syngonanthus flavidulus ini sangat terbatas, antara lain beberapa daerah di Amerika Serikat dan sebagian di Indonesia.
Populasi tanaman ini di Amerika masih tergolong banyak dan mudah dijumpai di bagian tenggara Carolina Utara hingga Mississippi. Namun, tanaman ini juga cukup langka di wilayah Amerika lain, seperti Florida Selatan. Sementara di Indonesia, tanaman ini tumbuh di dua tempat, yakni di Ranca Upas dan di tepian Danau Ciharus, Cagar Alam Kamojang.
Melansir situs resmi dokumentasi flora dan fauna Wild South Florida, Syngonanthus flavidulus juga dikenal dengan sebutan Yellow Hatpins atau penjepit topi kuning. Sebutan tersebut disematkan karena kepala bunga tanaman ini yang berwarna kuning mirip dengan penjepit atau hiasan topi yang sering digunakan oleh masyarakat lokal.
Tanaman ini Indonesia, khususnya di Danau Ciharus, sebenarnya lebih dikenal dengan sebutan bunga rawa. Akan tetapi, sebagian masyarakat melihat tanaman ini memiliki keunikan yang sama dengan bunga edelweis. Warga lokal yang tinggal di sekitar danau kemudian menamainya bunga abadi edelweis rawa karena bunga ini tak pernah layu.
Anatomi dan taksonomi
Edelweis rawa memiliki kepala bunga seperti kancing dengan batang panjang seperti pipa atau dalam istilah botani dinamakan scape. Tanaman dengan kepala bunga berwarna campuran kuning pucat dan putih ini diketahui dapat bernapas melalui akar.
Wild South Florida juga menyebut bahwa edelweis rawa bukan tanaman yang memiliki banyak manfaat bagi manusia. Dari catatan Institute for Regional Conservation, edelweis rawa juga tidak dibudidayakan sama sekalimeski tampak menarik untuk dijadikan tanaman hiasan kolam.
Meski memiliki karakteristik yang hampir serupa, edelweis rawa tidak sama dengan edelweis yang tumbuh di pegunungan. Bahkan, kedua tanaman ini memiliki taksonomi yang berbeda. Edelweis gunung termasuk dalam suku Asteraceae marga Anaphalis. Sementara edelweis rawa termasuk dalam suku Eriocaulaceae dan marga Syngonanthus.
Sesuai namanya, habitat kedua tanaman ini juga berbeda. Edelweis gunung tumbuh di daerah dataran tinggi. Sementara edelweis rawa tumbuh di tempat dengan suhu lembab dan memiliki banyak kandungan air di sekitar lokasi tersebut. Inilah yang membuat edelweis rawa lebih mudah dijumpai di tepi danau, hutan pinus, atau padang rumput.
Dari status perlindungannya di Indonesia, Syngonanthus flavidulus atau edelweis rawa tidak masuk dalam salah satu jenis tumbuhan yang dilindungi sesuai dengan daftar yang tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 92 Tahun 2018. Ini berbeda dengan edelweis gunung (Anaphalis javanica) yang tercatat sebagai salah satu dari 914 flora dan fauna dilindungi di Indonesia sesuai peraturan tersebut.
Minim kajian
Selain itu, meski diketahui cukup langka, hasil penelusuran menunjukkan bahwa sampai sekarang masih sedikit para peneliti maupun ahli botani yang mengkaji tanaman ini. Bahkan, di Indonesia juga belum ada satu peneliti, termasuk di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang secara khusus mengkaji edelweis rawa.
Salah satu kajian tentang edelweis rawa pernah dilakukan hampir satu abad yang lalu oleh ahli botani Johannes Cornelis Theodorus Uphof. Pada 1927, Uphof melakukan kajian untuk membandingkan sistem penyerbukan antara edelweis rawa dan bunga kerucut Asteraceae yang masih satu familidengan bunga matahari.
Dalam kajian yang dipublikasikan di American Journal of Botany tersebut, Uphof menyebut, edelweis rawa memiliki sistem penyerbukan tanpa perantara hewan atau serangga. ”Bunga-bunga kecil yang menyatu menjadi kepala yang lebat di tanaman ini tidak menarik dan jarang dikunjungi serangga untuk penyerbukan,” tulisnya.
Dari kajian ini, disimpulkan bahwa edelweis rawa melakukan penyerbukan dengan kemampuan sendiri atau melalui perantara angin untuk menyebarkan materi genetiknya.Penyerbukan dengan perantara angin ini juga dikenal dengan istilahanemofili.
Namun, kajian lainnya yang lebih baru dari para peneliti di Sao Paulo State University, Brasil, menemukan bahwa serangga juga berperan penting dalam penyerbukan bunga rawa jenis lain, yakni Syngonanthus elegans. Kajian yang terbit di Australian Journal of Botany pada 2009 tersebut juga mencatat hasil dari anemofili di tanaman tersebut kurang layak dibandingkan penyerbukan dengan perantara serangga.
Terlepas dari minimnya perhatian terhadap tanaman ini, kajian terhadap edelweis rawa tetap perlu ditingkatkan untuk mengetahui status dan potensinya di Indonesia. Penyebarluasan informasi tentang edelweis rawa diharapkan dapat mencegah seluruh pihak untuk melakukan kerusakan, baik secara langsung maupun habitatnya.