UU Cipta Kerja Dapat Mengancam Sekaligus Memperbaiki Tata Kelola Hutan
Ketentuan dalam UU ataupun Perppu Cipta Kerja memiliki dampak negatif sekaligus positif pada aspek tata kelola hutan. Ketentuan ini juga dinilai dapat memperkuat posisi perhutanan sosial ke depan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
KOMPAS/PRADIPTA PANDU MUSTIKA
Daniel Laure (kiri) dan istrinya tengah memanen buah kenari yang jatuh dari pohonnya di kawasan hutan Desa Nailang, Alor Timur Laut, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, Jumat (11/3/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai kebijakan di sektor kehutanan yang diubah dalam Undang-Undang ataupun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja memiliki dampak negatif dan positif dalam aspek tata kelola hutan. Namun, implementasi aturan ini juga bisa berbeda tergantung dari kesiapan, perangkat, hingga sumber daya manusia di setiap daerah.
Hal tersebut mengemuka dalam diseminasi hasil studi bertajuk ”Tata Kelola Hutan Kontemporer Pasca UU Cipta Kerja/Perppu Cipta Kerja” secara daring, Kamis (9/3/2023). Studi ini dilakukan Pusat Kajian Sejarah dan Kebijakan Kehutanan (Sebijak Institute) Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan European Forest Institute (EFI).
Studi tersebut menganalisis potensi dan dampak dari berbagai perubahan kebijakan tata kelola hutan setelah ditetapkannya UU ataupun Perppu Cipta Kerja secara komprehensif. Studi ini juga menyediakan rekomendasi kebijakan, khususnya di sektor kehutanan dan lahan dari potensi dan dampak yang diidentifikasi.
Terdapat sejumlah isu pokok atau ketentuan UU Cipta Kerja yang dianalisis dalam studi ini. Ketentuan tersebut di antaranya batas minimal luas kawasan hutan, pengukuhan kawasan hutan, peran kesatuan pengelolaan hutan (KPH), perizinan sektor kehutanan, kawasan hutan dengan tujuan tertentu, pemanfaatan kawasan hutan untuk pembangunan, perlindungan lingkungan dan hak masyarakat adat, serta resolusi konflik.
Dalam aspek pengukuhan kawasan hutan, UU atau Perppu Cipta Kerja mengintroduksi adanya pengukuhan hutan untuk kawasan strategis. Hal ini akan menghilangkan tahapan-tahapan penting dalam penetapan batas kawasan seperti inventarisasi dan penyelesaian hak ketiga atas tanah.
Pengajar hukum lingkungan Fakultas Hukum UGM, Totok Dwi Diantoro, mengemukakan, perubahan batas minimal luas kawasan hutan dalam UU Cipta Kerja menimbulkan konsekuensi. Salah satunya, beban Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menetapkan kecukupan kawasan dan tutupan hutan dalam waktu singkat meningkat.
RONY ARIYANTO NUGROHO
Ipang (30) melepaskan buah kolang kaling dari pokoknya sesaat setelah memetik di tengah hutan perbukitan Gunung Harenos, Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (5/4/2022). Meski harus menembus hutan gunung untuk menemukan buah yang layak panen, usaha ini menjadi penopang ekonomi utama keluarga Ipang sehari-hari.
Sebelum UU Cipta Kerja ditetapkan, ketentuan dalam sejumlah UU menyebut, ambang batas minimum kawasan hutan sebesar 30 persen dari luasan administratif. Namun, setelah UU Cipta Kerja ditetapkan, ambang batas minimum kawasan hutan sebesar 30 persen dihapus dan diganti dengan kecukupan kawasan serta tutupan hutan.
”Dalam aspek pengukuhan kawasan hutan, UU atau Perppu Cipta Kerja mengintroduksi adanya pengukuhan hutan untuk kawasan strategis. Hal ini akan menghilangkan tahapan-tahapan penting dalam penetapan batas kawasan seperti inventarisasi dan penyelesaian hak ketiga atas tanah,” ujar Totok yang juga terlibat dalam studi ini.
Kemudian peran KPH dalam UU Cipta Kerja juga berpotensi mengancam kelestarian hutan dan menghilangkan kemandirian finansial sehingga meningkatkan beban keuangan pemerintah. Sebab, dalam UU Cipta Kerja, peran KPH diubah, yakni menjalankan fungsi fasilitasi dan koordinasi atas implementasi kebijakan pemerintah.
Meski mayoritas ketentuan dapat berdampak buruk terhadap sektor lingkungan dan sosial, studi ini juga mencatat adanya potensi perbaikan dalam UU atau Perppu Cipta Kerja. Potensi tersebut ditunjukkan dengan adanya pengaturan perhutanan sosial hingga ke tingkat UU. Ketentuan ini dinilai dapat memperkuat posisi perhutanan sosial ke depan.
Selain itu, ketentuan lainnya yang dipandang dapat berdampak positif dalam UU Cipta Kerja ialah dituangkannya terminologi kawasan indikatif hutan adat. Ketentuan ini dapat melindungi hak-hak masyarakat lokal atau adat karena bisa mempermudah prosedur administrasi dalam proses pengakuan hutan adat.
Totok menegaskan, UU Cipta Kerja harus dilihat sebagai suatu kebijakan yang perlu dicerna ulang setelah ditetapkan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada 2021. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pemerintah memperbaiki proses pembuatan UU ini dibandingkan mengeluarkan Perppu Cipta Kerja dengan substansi hampir sama.
Implementasi berbeda
Peneliti senior Lembaga Kajian Hukum Lingkungan (ICEL), Henry Subagiyo, memandang, UU Cipta Kerja dapat berjalan secara asimetris. Artinya, implementasi UU Cipta Kerja bisa berbeda tergantung dari kesiapan, perangkat, hingga sumber daya manusia (SDM) di setiap daerah. Hal inilah yang harus diantisipasi pemerintah.
Dari sisi historis, kata Henry, beberapa ketentuan dalam UU Cipta Kerja memang sudah berlaku sejak lama seperti mempertahankan minimal 30 persen kawasan hutan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan melihat kondisi saat ini, para peneliti dan akademisi di sektor kehutanan juga dinilai perlu mengkaji kembali relevansi ketentuan tersebut terhadap wilayah-wilayah di Indonesia.
Melalui kajian yang dilakukan, ketentuan dalam mempertahankan kawasan hutan di sejumlah daerah bisa jadi lebih besar dari 30 persen. Oleh karena itu, persentase minimal dalam mempertahankan kawasan hutan harus ditetapkan sesuai dengan dasar ilmiah.
Henry melihat, sekarang terdapat beberapa perangkat yang berpotensi untuk dioptimalkan dan menjadi pelengkap dalam memperkuat sektor kehutanan. Perangkat tersebut di antaranya kajian lingkungan hidup strategis, indeks tutupan lahan, dan kajian daya dukung serta daya tampung lingkungan.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Batas tebangan hutan di Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua, Jumat (11/11/2022).
”Ini dapat menjadi tantangan bagi para saintis kehutanan untuk mengkaji perangkat tersebut. Perangkat-perangkat ini merupakan potensi yang bisa dikembangkan dan diperkuat untuk memitigasi dampak yang ditimbulkan dari izin usaha kehutanan,” katanya.
Selain itu, Henry menyebut perlu pendalaman untuk melihat efektivitas sejumlah ketentuan positif dalam UU Cipta Kerja yang bisa memperbaiki tata kelola hutan. Pendalaman ini sekaligus untuk mengetahui seberapa besar kontribusi ketentuan ini untuk meningkatkan aspek kelembagaan maupun SDM.
Direktur Pengendalian Usaha Pemanfaatan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Khairi Wenda dalam diskusi pojok iklim beberapa waktu lalu mengatakan, pola pengelolaan hutan sebelum adanya UU Cipta Kerja masih difokuskan pada produk kayu. Namun, setelah adanya UU Cipta Kerja, terdapat perubahan yang mendasar, yakni perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) wajib memiliki multi-usaha kehutanan.
”Sebelum adanya UU Cipta Kerja, konsesi yang diberikan pemerintah seluas 100.000 hektar hanya akan dimanfaatkan untuk usaha kayu. Dengan adanya UU Cipta Kerja, perizinan tidak hanya kayu, tetapi juga potensi multi-usaha yang ada di kawasan tersebut,” ucapnya.