”Mimpi” Baru Perempuan Lulusan Pelatihan Keterampilan
Perempuan menghadapi berbagai hambatan untuk berpartisipasi di dunia kerja, baik sebagai pekerja maupun wirausaha. Dukungan dari berbagai pihak dapat membantu perempuan keluar dari hambatan itu.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
ESTER LINCE NAPITUPULU
Perempuan kepala keluarga dan perempuan muda dari kalangan tak mampu mendapat pelatihan tata rambut dan tata rias lewat program LOreal Beauty for a Better Life sejak tahun 2014. Perempuan perlu didukung untuk mandiri dan berdaya.
Tidak semua perempuan mendapat ”kemewahan” masuk dunia kerja atau sekadar mengejar mimpi. Sebagian perempuan terhambat karena minim keterampilan, tingkat pendidikan rendah, dan terbebani pekerjaan rumah tangga. Dukungan afirmatif bagi perempuan, seperti pelatihan, pun dibutuhkan.
Martiana (29) dulu tidak berani bermimpi tinggi-tinggi. Setelah menikah di usia 14 tahun, kesempatannya untuk mengenyam pendidikan hilang. Tingkat pendidikan yang rendah membuat ia sulit mendapat pekerjaan. Membangun usaha sendiri pun sulit karena minim keterampilan.
Beberapa tahun lalu, Martiana ikut pelatihan tata rias rambut gratis selama empat bulan. Ia diajari teori dan praktik tata rambut, diberi kesempatan magang di salon, serta memperoleh sertifikat setelah menyelesaikan pelatihan. Program pelatihan ini diadakan L’Oreal Indonesia melalui program Beauty for a Better Life (BFBL).
Suasana konferensi pers program pemberdayaan perempuan oleh LOreal Indonesia di Jakarta, Kamis (9/3/2023). Program Beauty for a Better Life (BFBL) difokuskan ke perempuan prasejahtera. Mereka diberi pelatihan tata rias wajah dan rambut selama empat bulan secara gratis. Selama 10 tahun terakhir, ada 3.749 penerima manfaat dari berbagai daerah di Indonesia. Sebagian di antaranya berhasil membangun usaha sendiri.
Keterampilan menata rambut menjadi bekal perempuan asal Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, ini untuk mengubah nasib. Ia berhasil membangun salon dan mempekerjakan tiga karyawan. Ia juga membangun lembaga kursus dan pelatihan kecantikan untuk membantu anak-anak putus sekolah dan orang tak mampu. Ada 30 orang yang saat ini belajar di lembaganya.
Ibu rumah tangga menghabiskan 13,5 jam per hari untuk mengerjakan pekerjaan domestik.
Hal ini membuat Martiana jadi berani bermimpi tinggi. Ia berencana mengambil pendidikan vokasi di bidang kecantikan kulit, lalu membuat jenama produk kecantikan miliknya sendiri.
”Sekarang saya punya mimpi yang besar. (Saya yang) dulu putus sekolah, kini ada di posisi yang dulu pun enggak kepikiran,” kata Martina di Jakarta, Kamis (9/3/2023).
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Rita Sari, insan tunarungu, sedang menyemir rambut pelanggannya di Salon Mute.Area, Wonosobo, Jawa Tengah, Rabu (29/5/2019). Mute.Area atau kawasan hening merupakan tempat berkarya bagi para penyandang tunarungu. Selain salon di lantai dua, ada pula usaha kafe di lantai satu.
Fitri Wahyuni (24), perempuan asal Tanjung Balai, Sumatera Utara, juga salah satu peserta pelatihan tata rias rambut. Setelah menyelesaikan pelatihan pada 2022, Fitri memberanikan diri membuka salon rumahan. Ia juga menerima permintaan layanan salon di rumah klien (home service).
Keterampilan ini tidak hanya berdampak positif ke kondisi ekonomi keluarga. Kepercayaan diri Fitri pun ikut tumbuh. Sebelumnya, ia kerap dipandang sebelah mata oleh orang lain karena disabilitas tulang punggung yang ia miliki.
”Katanya (orang lain), (saya) enggak bisa bergerak, enggak bisa melangkah lebih maju,” kata Fitri. ”Tetapi, sekarang saya tidak lagi dipandang sebelah mata,” ujarnya.
Pelatihan keterampilan tata rias wajah juga mengubah nasib Amsyiah (33), perempuan asal Tangerang, Banten, yang dulu pekerja pabrik. Ia sulit mendapat pekerjaan setelah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) di usia 30-an tahun.
Amsyiah kini menjadi perias wajah setelah lulus pelatihan. Pendapatannya ditabung lalu dijadikan modal membangun usaha penyewaan gaun pengantin dan salon kecantikan. Pendapatannya kini mencapai Rp 15-20 juta per bulan.
Tantangan
Menurut Co-Director Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) Romlawati, perempuan sulit masuk dunia kerja atau memiliki usaha sendiri karena tingkat pendidikan yang cenderung lebih rendah dari laki-laki. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2019 mencatat, perempuan berusia 15 tahun ke atas yang tamat SMA atau sederajat sebesar 24,89 persen, sementara laki-laki (30,53 persen).
Budaya patriarki juga jadi tantangan. Budaya ini berhubungan dengan pandangan bahwa pekerjaan rumah tangga adalah urusan perempuan. Adapun pekerjaan domestik memakan waktu lama dan termasuk jenis pekerjaan yang tidak dibayar. Riset Jurnal Perempuan pada 2018 menyebut bahwa ibu rumah tangga menghabiskan 13,5 jam per hari untuk mengerjakan pekerjaan domestik.
”Masyarakat perlu diberi penyadaran bahwa pekerjaan rumah tangga hingga mendidik anak itu bukan beban perempuan, melainkan tugas bersama keluarga. Perempuan juga perlu disadarkan soal ini. Kadang, perempuan merasa bersalah jika tidak melakukan pekerjaan domestik atau menemani anak belajar,” tutur Romlawati.
SEKAR GANDHAWANGI
Suasana Salon Sang Ratu di kawasan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Jumat (14/2/2020). Salon ini merupakan wadah berkarya bagi enam wanita pria di bawah binaan Pusat Penelitian HIV/AIDS (PPH) Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya bersama tiga komunitas lain.
Menurut Pelaksana Tugas Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Ekonomi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Eko Novi Ariyanti, pemberdayaan ekonomi perempuan penting. Ini tidak hanya dapat mendorong kesejahteraan keluarga, tetapi juga perbaikan kualitas hidup perempuan dan anak. Hal ini juga mendorong kesetaraan jender di masyarakat. Ia berharap perempuan dapat memberdayakan dirinya dengan pelatihan keterampilan.
Chief of Corporate Affairs, Engagement, and Sustainability L’Oreal Indonesia Melanie Masriel mengatakan, program BFBL yang dilakukan sejak 2014 telah mencakup 10 lokasi, antara lain, Bantul (DI Yogyakarta), Bone (Sulawesi Selatan), Karawang (Jawa Barat), Surabaya (Jawa Timur), dan Bali. Ia berharap program bisa diperluas hingga ke Indonesia bagian timur.
Adapun peserta program selama 10 tahun terakhir sebanyak 3.749 orang. Program pelatihan menyasar perempuan prasejahtera.