Kala Hanoman Berkenalan dengan Gen Z
Hanoman mencoba masuk ke pergaulan generasi Z yang lebih mengenal aktor-aktor Korea. Dia beradaptasi menjadi lebih gaul dengan tetap berupaya mengembalikan anak muda ke akar budaya mereka.
Ribuan anak belasan tahun dari sejumlah sekolah menengah memenuhi teater Ciputra Artpreneur, Jakarta, yang berkapasitas 1.157 tempat duduk, Selasa (7/3/2023) siang. Mereka sengaja meninggalkan ruang kelas untuk menyaksikan pertunjukan drama wayang orang, seni tradisional yang jauh dari tren remaja masa kini.
Pertunjukan wayang orang berbalut drama musikal ini bertajuk Hanoman: Ada Apa dengan Shinta yang dimainkan oleh 100 anak dari enam sanggar seni di Jakarta, Yogyakarta, Blitar, dan Bali berkolaborasi dengan grup tari Ksatria dan penari Sandrina Azzahra. Mereka bersatu dalam skenario dalang Irwan Riyadi dari Yayasan Swargaloka.
Walau anak seumuran mereka sedang menikmati tren drama Korea, keluar meninggalkan kelas tetaplah lebih menyenangkan bagi anak sekolahan. Senyum semringah tampak dari raut wajah mereka. Namun, beberapa di antaranya juga sibuk bermain handphone.
Irwan berupaya menarik perhatian generasi Z yang mungkin tidak tahu wayang ini. Maka, sebelum pentas dimulai, grup musik gamelan Halo BCA memanaskan teater dengan lagu ”Can’t Help Falling in Love” karya Elvis Presley yang tak habis dimakan zaman. Semua anak spontan bernyanyi bersama sembari kompak mengayunkan tangan mereka ke kiri dan kanan.
Keenam sanggar itu memainkan masing-masing satu dari lima adegan pertunjukan. Pertunjukan dimulai dengan video animasi oleh Wayang Studio dari Yogyakarta yang menceritakan Dewi Anjani teringat masa lalu saat ayahnya, Resi Gotama, marah kepada ibunya, Dewi Windradi, karena tidak menjawab asal muasal Cupu Manik Astagina. Dewi pun dikutuk menjadi batu, Cupu Manik dibuang jauh ke dasar Telaga Madirda.
Setelah itu, Irwan menampilkan film pendek yang menunjukkan wayang golek berbentuk anak-anak Gotama, yakni Raden Guarsa, Guarsi, dan Dewi Anjani, mencari Cupu Manik itu sampai ke telaga. Nasib sial kemudian datang, kulit mereka menjadi berbulu seperti kera.
Dewi Anjani yang meratapi nasib mencari pencerahan kepada Bhatara Guru. Ternyata, bulu itu tidak berarti jelek. Anjani akan melahirkan seorang kesatria yang gagah perkasa, Hanoman. Dengan permainan layar panggung dan bola lampu, Hanoman kecil yang diperankan oleh Cahya (7) menggenggam matahari karena dianggap panas telah menyakiti ibunya. Adegan kedua ini dimainkan oleh Sanggar Pendopo dari Blitar.
Lampu panggung mati, kru sibuk mengatur latar Hutan Mangleawan, saatnya penari Sanggar Paripurna dari Bali masuk. Mereka menampilkan adegan ketiga saat Hanoman sudah dewasa diperankan oleh Herlambang Dinar Warih Santosa. Hanoman mengabdi pada Ramawijaya dan didapuk mencari Dewi Shinta yang hilang diculik Rahwana ke Alengka.
Baca juga : Wayang Orang Bharata yang Melintasi Zaman
Di tengah perjalanan, Hanoman tersesat di Taman Sayempraba. Dia bertemu dengan perempuan cantik, Sayempraba, bersama teman-temannya yang menggoda. Dalang Irwan memasukkan dialog godaan seperti gombalan pantun masa kini agar relevan dengan penonton.
Penari Sandrina yang memerankan Sayempraba kemudian menari menggoda Hanoman. Penonton dibuat terkesima dengan tari Sandrina dengan kombinasi modern lampu laser panggung.
Godaan itu ternyata perangkap, Hanoman diikat dengan rantai. Dia terbang di tengah panggung menggunakan tali sling dengan kondisi terikat dan efek musik penuh kemarahan. Rantai itu dihancurkan, serpihan rantai dari plastik itu dilempar ke arah penonton yang menimbulkan interaksi.
Sementara itu, di Taman Sola di Alengka, adik Rahwana, Trijhata Putra Wibisono, menjaga Dewi Shinta di tengah kesedihannya. Rahwana terus menggoda Shinta, tetapi Shinta meminta kejantanan untuk menghadapi langsung Ramawijaya. Adegan ini dimainkan oleh Sanggar Swargantara dari Blitar.
Baca juga : Foto Pagelaran Wayang Orang "Hanoman: Ada Apa dengan Shinta"
Hanoman pun terus berjalan menuju Kerajaan Alengka. Dia muncul secara mengejutkan di tengah kursi penonton, berjalan seolah melalui perjalanan panjang menuju tengah panggung di mana sudah berdiri set Kerajaan Alengka.
Rahwana menunggu di panggung bersama Sanggar Ksatria dari Jakarta dan Sanggar Paripurna dari Bali. Mereka berkelahi untuk menyelamatkan Dewi Shinta. Permainan layar serba merah menunjukkan pertempuran mengakibatkan Kerajaan Alengka terbakar hebat dan Shinta pun berhasil diselamatkan.
Dalang Irwan merasa puas dengan penampilan anak-anaknya. Dia bahagia melihat pementasan yang dipersiapkannya selama satu bulan ini bisa memberikan kesan bagi generasi Z.
”Saya terharu, mereka mampu menangkap dan menikmati. Saya berharap ketika mereka pulang dan di meja makan bersama keluarga membicarakan soal Hanoman. Kalau seperti ini, wayang akan terus hidup,” kata Irwan.
Beberapa budaya populer, seperti musik rap di tengah pementasan, seni pertunjukan lampu yang ciamik, dan dialog remaja masa kini, sengaja diselipkan untuk membuat wayang menjadi relevan. Bagi Irwan, tidak ada batasan dalam pertunjukan wayang, justru wayang juga harus beradaptasi dengan kondisi.
”Kita tidak bisa hanya bernostalgia dengan masa lalu untuk menyenangkan generasi saya, padahal kita punya generasi yang terputus. Tradisi tidak berhenti, tradisi berkembang sesuai perkembangan zaman. Wayang tetap dicintai anak muda kalau kita mau bergerak,” ucap dalang asal Yogyakarta tersebut.
Tradisi tidak berhenti, tradisi berkembang sesuai perkembangan zaman. Wayang tetap dicintai anak muda kalau kita mau bergerak.
Naura Renanda datang ke teater dengan ekspektasi bahwa wayang itu pertunjukan yang membosankan. Ekspektasi itu buyar, penampilan dalang Irwan bersama 100 anak asuhnya berhasil membawa Naura menikmati pertunjukan dari awal sampai akhir. Perempuan kelahiran 2002 itu berharap seni wayang semakin beradaptasi agar bisa relevan dengan anak muda.
“Jujur, mereka keren banget, melihat mereka yang effort banget, tokoh-tokohnya menjiwai banget, dari lighting-nya sama musiknya juga bagus. Kalau lebih banyak lagi pertunjukan wayang, bisa ditampilkan dengan lebih modern agar gen Z lebih paham,” kata Naura.
Ginanti Cahya Ghaniy (10) dari sanggar Swargaloka mengaku senang terlibat dalam pertunjukan wayang orang ini. Pemeran kera kecil pada adegan ketiga ini ingin melestarikan budaya wayang dengan cara generasi Z.
“Aku suka banget menari dan akting jadi tokoh, dulu suka diceritain sama kakak tentang wayang dan jadi tertarik dengan cerita Ramayana dan lain-lain. Saya mau sampai tua melestarikan budaya kita dan ingin orang tahu kalau wayang itu keren banget,” kata Ginanti.
Baca juga : Wayang-wayang Menembus Pagebluk
Pertunjukan yang diinisiasi Bakti BCA dan didukung Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ini disiapkan secara hibrida. Irwan mengirimkan naskah dan konsep pertunjukan kepada keenam sanggar, kemudian sanggar mengirimkan video proses latihan. Hal ini dilakukan agar setiap sanggar tetap mempertahankan warnanya. Mereka baru bertemu tiga hari sebelum pertunjukan di Jakarta untuk menjahit satu per satu adegan.
Koreografer Bathara Saverigadi dari grup tari Ksatria mengatakan, proses kreatif hibrida ini adalah hal baru baginya. Sejumlah kendala ditemui karena komunikasi yang terbatas, sampai beberapa jam sebelum pertunjukan pun masih ada perdebatan antarsanggar.
”Semua jahitannya itu baru terlihat di latihan bersama pertama. Di sana kami baru bisa melihat stamina Hanoman seberapa, negosiasi merapatkan adegan juga agak rumit karena terbentur jadwal masing-masing sanggar, sementara musiknya juga mengejar,” kata Bathara.
Baca juga : Bandung Bondowoso Menuntut Kesetaraan Jender lewat Wayang Suket
Seusai pertunjukan, penonton bersorak merayakan kemenangan Hanoman yang terus berakrobat di panggung. Mereka puas dengan penampilan enam sanggar seni tersebut. Sampai di luar teater pun mereka masih antusias membicarakan aksi 100 anak memainkan drama Hanoman. Irwan berharap pertunjukan wayang orang skala kecil juga terus bertumbuh di akar rumput masyarakat Indonesia.