Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk Pekerja Film Penting Diadakan
Belum semua pekerja film memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan. Para pelaku industri perfilman kini menilai, asuransi dan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan perlu diadakan,
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pelaku industri perfilman mulai membicarakan secara serius pentingnya mengadakan jaminan sosial ketenagakerjaan, seperti asuransi kesehatan atau kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Hal ini untuk membenahi sistem kerja perfilman agar keamanan dan kenyamanan pekerja terjamin.
Isu tersebut mengemuka pada rangkaian konferensi Hari Film Nasional (HFN) 2023 yang diadakan Badan Perfilman Indonesia (BPI) di Jakarta, Rabu (8/3/2023). Ada 13 sesi konferensi yang melibatkan, antara lain, pelaku perfilman, pemerintah, dan akademisi untuk memperingati HFN 2023.
Konferensi berlangsung pada 6-11 Maret 2023. Dari konferensi ini, penyelenggara akan menyusun dokumen rekomendasi untuk menguatkan dan mengembangkan industri film nasional. Dokumen bakal diserahkan ke pemerintah dan pemangku kepentingan terkait.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Linda Gozali pada sesi konferensi, Selasa (7/3/2023), mengatakan, asuransi kesehatan menjadi salah satu poin yang mesti diperhatikan di industri film. Umumnya, isu asuransi hanya jadi pertimbangan di suatu produksi film dan tidak benar-benar direalisasikan. Asuransi juga umumnya masuk ke anggaran cadangan untuk kejadian tak terduga. Wacana untuk mengadakan asuransi kesehatan secara serius akhirnya muncul sejak pandemi Covid-19.
”Kami mengajak semua pelaku industri film untuk membiasakan diri mengadakan asuransi kesehatan bagi pekerja film,” kata Linda. ”Kami berharap agar ini bisa dipenuhi. Ada yang sudah melakukan ini dan harapannya tetap dilanjutkan setelah pandemi,” tambahnya.
Asisten Deputi Bidang Komunikasi Internal BPJS Ketenagakerjaan Bimo Prasetyo mengatakan, hak normatif setiap tenaga kerja adalah memperoleh jaminan sosial ketenagakerjaan. Ini agar tenaga kerja terlindungi dari risiko yang merugikan mereka, misalnya kecelakaan kerja. Walakin, belum semua pekerja film memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan.
”Menurut data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, industri film di Indonesia menciptakan 0,45 lapangan kerja nasional atau 491.800 tenaga kerja,” ujar Bimo, Rabu. ”Masih banyak yang belum punya jaminan perlindungan sosial ketenagakerjaan,” tambahnya.
Pekerjaan berisiko
Jaminan sosial ketenagakerjaan penting karena sebagian pekerjaan perfilman berisiko. Pada konferensi sebelumnya, disebut ada kru film yang jatuh saat bekerja dan meninggal.
Risiko kecelakaan juga ada karena tidak semua pekerja film menerima pelatihan tentang keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Hal ini sesuai survei Indonesian Cinematographers Society (ICS) pada 2023 terhadap 226 responden. Salah satu fokus survei adalah keamanan kerja di ketinggian.
Sebanyak 81 persen responden mengaku tidak pernah mengikuti pelatihan K3 yang berhubungan dengan ketinggian. Pengetahuan mereka untuk bekerja secara aman di ketinggian umumnya diperoleh secara turun-temurun dari kerabat atau rekan kerja. Ada pula yang belajar secara mandiri dari internet.
Risiko kecelakaan juga ada karena tidak semua pekerja film menerima pelatihan tentang keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Untuk melindungi pekerja film, mereka dianjurkan untuk didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Ada lima program untuk peserta penerima upah BPJS Ketenagakerjaan, yaitu program jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kehilangan pekerjaan.
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Film Indonesia (APFI) Celerina Tjandra Judisari, belum semua insan film memperoleh informasi soal jaminan sosial ketenagakerjaan. Padahal, perlindungan ketenagakerjaan penting.
Produser film Nia Dinata menambahkan, kontrak kerja perfilman juga mesti diperhatikan. Ini untuk memastikan agar kontrak kerja menguntungkan pekerja dan pemberi kerja. Ini juga agar pekerja film memperoleh hak yang proporsional, misalnya hak atas tunjangan hari raya, pembayaran upah, kesehatan, dan keselamatan kerja.
Menurut dia, produksi film. kerap melibatkan banyak pekerja lepas sehingga belum ada kekuatan kontrak kerja antara mereka dengan perusahaan film. Posisi mereka rentan jika terjadi konflik kerja.
”Di industri mana pun mesti ada kontrak (kerja) yang jelas, yang disetujui bersama, dan ditandatangani kedua belah pihak sebelum pekerjaan dilaksanakan. Ada kasus di mana pekerjaan sudah mulai, padahal kontrak belum ditandatangani. Saya mendorong semua kru untuk membaca kontrak dengan cermat. Kalian juga punya hak untuk mencoret, bertanya, dan negosiasi,” ucap Nia.