Ragam Diet untuk Menurunkan Berat Badan
Ada banyak jenis diet untuk menurunkan berat badan. Itu seperti diet rendah lemak, diet rendah karbohidrat, diet dengan batasan waktu makan, serta diet nutrisi seimbang. Lantas diet apa yang paling efektif?
Berbagai upaya dilakukan oleh sebagian orang untuk bisa menurunkan berat badan agar mencapai ukuran yang ideal. Memiliki bentuk tubuh yang apik menjadi impian banyak orang. Itu tidak hanya pada perempuan, tetapi juga laki-laki. Tidak juga hanya pada usia tua dan dewasa tetapi juga pada usia remaja.
Berat badan yang berlebihan hingga obesitas memang menjadi momok. Selain bisa membuat percaya diri berkurang akan penampilan, kekhawatiran yang lebih besar dengan berat badan berlebihan yakni pada risiko penyakit tidak menular.
Obesitas bisa menjadi pangkal dari berbagai macam penyakit, seperti hipertensi dan diabetes yang akhirnya bisa berlanjut menjadi penyakit jantung, stroke, gagal ginjal, dan kanker. Berbagai penyakit tersebut menjadi penyumbang kematian terbesar di masyarakat. Setidaknya ada 41 juta orang di seluruh dunia yang meninggal setiap tahun karena penyakit tidak menular.
Tidak ada satu jenis diet yang cocok untuk semua orang. Itu sebabnya pola diet yang dijalankan harus disesuaikan dengan kondisi yang mendasari orang tersebut.
Masalah berat badan berlebih telah menjadi persoalan global. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, ada lebih dari 1,9 miliar orang usia lebih dari 18 tahun yang memiliki berat badan berlebihan. Dari jumlah itu, sebanyak 650 juta orang di antaranya mengalami obesitas.
Beban tersebut juga dialami oleh Indonesia. Obesitas menambah beban gizi di masyarakat yang saat ini juga banyak mengalami kekurangan gizi dan tengkes (stunting). Riset Kesehatan Dasar pada 2018 menunjukkan, prevalensi obesitas pada usia lebih dari 18 tahun mencapai 21,8 persen. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 11,7 persen pada 2010 dan 15,4 persen pada 2013.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti dalam peringatan Hari Obesitas Sedunia di Jakarta, Senin (6/3/2023), menyampaikan, pengendalian obesitas memerlukan dukungan lintas sektor karena keberhasilan dalam pengendalian tersebut tidak hanya ditentukan satu pihak saja. Langkah pengendaliannya harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari upaya promosi, pencegahan, hingga penanganan kasus.
Obesitas merupakan kondisi yang kompleks dan progresif ditandai dengan abnormalitas atau kadar lemak yang berlebihan. Kondisi tersebut bisa berdampak negatif terhadap kesehatan. Obesitas bisa terjadi karena energi yang masuk lebih besar daripada energi yang dikeluarkan dari tubuh.
Baca juga: Obesitas, Pangkal dari Segala Penyakit
Ketua Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo Nurul Ratna Mutu Manikam dalam peringatan Hari Obesitas Sedunia di Jakarta, Senin, mengatakan, kasus obesitas semakin meningkat selama masa pandemi. Itu terjadi karena pada saat pandemi banyak orang yang menjalankan hidup sedentari atau minim aktivitas fisik.
Selain itu, masyarakat semakin banyak mengonsumsi makanan dan minuman yang manis. Kebiasaan mengonsumsi makanan yang tidak sehat juga semakin besar, seperti makanan siap saji dan makanan tinggi garam. Pola makan masyarakat di Indonesia pun cenderung lebih banyak yang berminyak, tinggi gula, dan garam. Padahal, jenis makanan tersebut mengandung kalori yang tinggi.
Nurul mencontohkan, martabak telur setiap 95 gram atau satu potong memiliki kalori 196 kalori. Selain itu, ada pula combro dengan berat 75 gram yang mengandung 201 kalori. Untuk minuman manis, setiap satu gelas es kopi susu mengandung 190 kilokalori.
Diet
Nurul mengatakan, gaya hidup serta kebiasaan masyarakat yang mengonsumsi makanan dan minuman tinggi kalori harus diubah. Cara itu juga yang bisa dilakukan untuk mengatasi obesitas dan menurunkan berat badan seseorang.
”Selain obat-obatan, beberapa pola diet juga bisa dilakukan individu dengan obesitas dengan tujuan menurunkan berat badan, mengontrol metabolisme glukosa, dan mencegah penyakit kardiovaskuler,” katanya.
Baca juga: Obesitas Perlu Ditangani sebagai Penyakit
Terdapat berbagai macam pengaturan pola diet yang bisa dilakukan masyarakat. Pola pertama yakni diet dengan porsi makan yang terkontrol (portion-controlled diet). Cara ini sederhana dengan membatasi asupan makan 1.000-1.500 kilokalori per hari dengan pengaturan makan rendah gula, garam, dan lemak. Penurunan rata-rata berat badan dengan pola diet ini bisa mencapai 2,5-3 kilogram selama 3-6 bulan. Penurunan berat badan bisa berlanjut selama 12-18 bulan berikutnya.
Beberapa pola diet juga bisa dilakukan individu dengan obesitas dengan tujuan menurunkan berat badan, mengontrol metabolisme glukosa, dan mencegah penyakit kardiovaskuler.
Caranya dengan menggunakan piring ukuran kecil sebagai wadah untuk mengontrol porsi makan. Setiap kali makan, setengah dari piring berisi sayuran, seperempatnya lauk, dan seperempat lagi berisi karbohidrat kompleks. Karbohidrat berupa mi yang terbuat dari tepung-tepungan sebaiknya dihindari. Selain itu dianjurkan untuk mengonsumsi setidaknya 500 mililiter air putih sebelum makan.
Pola diet berikutnya dengan diet rendah lemak (low-fat diet). Diet ini mirip dengan diet rendah kalori tetapi lebih banyak menghindari asupan makanan tinggi lemak. Proporsi makanan yang dikonsumsi lebih banyak pada karbohidrat dan protein karena kedua kandungan tersebut lebih mengenyangkan.
Pada diet ini, penggunaan lemak untuk mengolah makanan hanya 3-4 sendok teh per hari. Makanan pun hanya diolah dengan cara ditumis, bukan digoreng dengan minyak yang banyak (deep fry). Dalam sehari, konsumsi sayur sekitar 3-5 porsi dan buah 2-3 porsi. Sementara untuk lauk 2-3 porsi dengan daging tanpa lemak dan sumber nabati. Untuk karbohidrat bisa menggunakan roti, sereal, pasta, ataupun nasi sebanyak 6 porsi sehari.
Pola diet lainnya dengan diet rendah karbohidrat (low-carbohydrate diet). Diet ini cukup populer karena banyak orang berpikir karbohidrat, terutama nasi, membuat berat badan meningkat. Penurunan berat badan pun bisa dicapai secara signifikan dan tidak perlu repot menghitung kalori. Makanan yang tidak mengandung karbohidrat bisa dikonsumsi secara bebas.
Baca juga: Obesitas, Wabah Kontemporer
Selanjutnya, ada pula diet tinggi protein (high-protein diet). Pada pola diet ini, asupan karbohidrat dan lemak cukup rendah. Protein yang dikonsumsi bisa lebih dari 1,6 gram per kilogram berat badan atau lebih dari 25 persen dari energi total harian. Penurunan berat badan pada orang yang menjalankan pola diet ini terjadi karena asupan rendah energi.
Pada orang yang akan melakukan diet ini sebaiknya menambah porsi lauk sebanyak 2-3 porsi dalam satu kali makan. Pilihlah lauk yang rendah lemak seperti unggas tanpa kulit atau ikan serta protein nabati.
Pola diet lain yang juga bisa dipilih yakni dengan diet mediterania (mediterranean diet). Diet ini mirip dengan konsep tumpeng makan dari Kementerian Kesehatan. Porsi makan serupa dengan bentuk piramida. Pada puncak piramida diisi oleh karbohidrat kompleks seperti gandum dan serealia yang jumlahnya sedikit.
Kemudian jumlah semakin banyak untuk protein hewani rendah lemak seperti ayam tanpa kulit dan ikan. Jumlah yang lebih besar pada protein nabati seperti kacang-kacangan serta sayur dan buah sebanyak lima porsi. Pada diet ini ditambah pula dengan konsumsi minyak kanola ataupun minyak zaitun.
”Dari berbagai studi yang dilakukan, diet mediterania ini juga bermanfaat untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Manfaat itu didapatkan dari konsumsi minyak kanola dan minyak zaitun,” tutur Nurul.
Baca juga: Salah Kaprah Diet Menurunkan Berat Badan
Pola diet lain yang kini cukup banyak dilakukan masyarakat, yakni diet dengan waktu makan terbatas (intermittent energy restriction atau intermittent fasting). Waktu makan dibatasi hanya delapan jam dalam sehari dan 16 jam kemudian puasa. Pola lainnya dari diet ini juga bisa dilakukan dengan lima hari makan biasa dan dua hari puasa atau disebut alternate day fasting. Pola ini mirip dengan puasa Senin dan Kamis.
Penurunan berat badan dengan diet alternate day fasting bisa mencapai 6 persen dari berat badan sebelumnya, sementara dengan diet daily energy restricted mencapai 5,3 persen. Untuk melakukan diet ini harus dipastikan untuk menjaga hidrasi. Kalori pada jendela makan pun tetap dihitung sehingga ketika makan tetap tidak boleh berlebihan.
Nurul menyampaikan, diet dengan waktu makan terbatas ini juga dapat menurunkan risiko obesitas dan diabetes melitus. Dari berbagai pengujian yang dilakukan, diet ini dapat menurunkan berat badan, menurunkan lingkar pinggang, menurunkan tekanan darah, dan memperbaiki respons insulin.
Baca juga: Diet Tepat Atasi Obesitas
Jenis diet lainnya dengan diet rendah energi atau diet nutrisi seimbang. Diet ini merupakan diet klasik dengan cara membatasi konsumsi energi 1.200-1.500 kilokalori per hari. Defisit energi sebanyak 500-750 kilokalori per hari dengan porsi makan 45-65 persen karbohidrat, 20-35 persen lemak yang diutamakan lemak tak jenuh, serta 10-30 persen protein. Konsep ini sama dengan ”isi piringku” dari Kementerian Kesehatan.
Ada pula diet sangat rendah energi (very-low energy diet). Diet ini sering dijalankan oleh figur publik yang harus menurunkan berat badan secara drastis dalam waktu singkat. Konsumsi kalori per hari bisa hanya 800 kilokalori per hari atau bahkan kurang.
”Pola diet ini tidak bisa sembarangan. Harus ada supervisi dari dokter dan tidak bisa dilakukan dalam jangka waktu panjang karena bisa berisiko menyebabkan dehidrasi, batu empedu, dan gangguan elektrolit,” kata Nurul.
Dari berbagai tipe diet, Nurul menyampaikan, tidak ada satu jenis diet yang cocok untuk semua orang. Itu sebabnya pola diet yang dijalankan harus disesuaikan dengan kondisi yang mendasari orang tersebut. Konsultasi dengan dokter amat diperlukan. Selain itu, terapi holistik sangat disarankan untuk mencapai penurunan berat badan yang sesuai. Itu artinya, pola diet juga disertai dengan aktivitas fisik yang cukup, istirahat yang cukup, dan menghindari stres.