Ada beberapa penyebab lulusan pendidikan perfilman sulit diserap industri. Selain kurangnya kompetensi pengajar, lembaga pendidikan tidak memiliki teknologi perfilman mutakhir dan sertifikasi kompetensi pekerja kurang.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterampilan lulusan pendidikan tinggi ataupun menengah perfilman dinilai belum sesuai dengan kebutuhan industri. Hal ini membuat mereka sulit terserap di pasar kerja perfilman.
”Salah satu kondisi yang menunjukkan gapini adalah perekrutan tenaga kerja di industri film umumnya bersifat tertutup dan hanya merekrut tenaga kerja yang sudah dikenal,” kata Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI) Gunawan Paggaru pada rangkaian peringatan Hari Film Nasional (HFN) 2023 di Jakarta, Senin (6/3/2023). HFN diperingati setiap 30 Maret.
Hingga kini, Indonesia memiliki 21 perguruan tinggi dan 64 sekolah menengah kejuruan (SMK) perfilman. Setidaknya ada lebih dari 1.000 lulusan perfilman setiap tahun. Namun, tidak semuanya terserap di industri film.
Ada beberapa faktor penyebab hal itu. Pertama, kurikulum lembaga pendidikan belum sesuai dengan kebutuhan industri film. Kedua, pengajar yang memiliki kompetensi perfilman masih kurang. Pengajar umumnya mendapat pelatihan, tetapi tidak pernah menjadi praktisi.
Menurut Gunawan, hampir 80 persen penyelenggara pendidikan perfilman bukan praktisi film. Sementara berdasarkan data Perkumpulan Program Studi Film dan Televisi Indonesia (Prosfisi), saat ini ada 454 pengajar aktif di kampus perfilman Indonesia.
Sebanyak 45 persen di antaranya memiliki latar belakang pendidikan film dan televisi. Sementara itu, ada 55 persen pengajar yang memiliki pengalaman profesional di industri ini.
Latar belakang dan pengalaman pengajar akan memengaruhi materi yang diajarkan kepada peserta didik. Jika pengajar tidak berkecimpung di industri, sulit untuk menjamin bahwa materi yang diajarkan relevan dengan dinamika perkembangan industri.
Ketua Prosfisi Gerzon R Ayawaila menambahkan, dari 21 perguruan tinggi perfilman di Indonesia, hanya satu institusi yang memiliki fakultas perfilman, yakni Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Program studi perfilman di institusi lain berada di bawah beragam fakultas, seperti komunikasi dan seni.
”Ini berpengaruh ke RPS (rencana pembelajaran semester). Kalau ada di bawah fakultas film, kampus bisa mengembangkan mata kuliah yang fokus di perfilman. Kalau misalnya program studi film ada di bawah fakultas komunikasi, pasti kuliahnya ada muatan komunikasi, tidak fokus ke film,” kata Gerzon.
Faktor lain
Faktor ketiga yang menghambat penyerapan lulusan perfilman ke industri adalah teknologi. Lembaga pendidikan umumnya tidak memiliki teknologi perfilman mutakhir, sementara industri film responsif terhadap teknologi baru. Hal ini memperlebar ketimpangan antara lembaga pendidikan dan industri.
”Teknologi mahal, sementara anggaran kampus terbatas,” ucap Gerzon.
Faktor keempat ialah kurangnya sertifikasi kompetensi pekerja film sehingga pekerja film baru yang tidak memiliki koneksi sulit diserap industri. Para pekerja baru pun didorong untuk mengikuti sertifikasi melalui Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Selain untuk menjamin kompetensi, sertifikasi juga untuk menyiapkan pekerja film masuk ke pasar global.
SKKNI perlu untuk menjembatani (ketimpangan lulusan dengan kebutuhan industri).
Gunawan mengatakan, hingga kini ada lebih dari 1.000 pekerja film yang telah disertifikasi. Adapun SKKNI perfilman berjalan sejak 2020.
”SKKNI perlu untuk menjembatani (ketimpangan lulusan dengan kebutuhan industri),” ujar Gunawan. ”SKKNI harusnya diterjemahkan menjadi kurikulum agar terjadi link and match.”
Sementara itu, Direktur Akademik Pendidikan Tinggi Vokasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Beny Bandanajaya mengatakan, lembaga pendidikan bisa mengacu pada SKKNI untuk menentukan capaian belajar. Ia juga mendorong agar perguruan tinggi, dosen, mahasiswa, dan industri film bekerja sama meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kerja sama bisa dalam bentuk magang, kuliah tamu dengan ahli perfilman, atau teaching factory.
Gandeng komunitas
Di sisi lain, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mendorong agar pengembangan industri film melibatkan komunitas film karena komunitas kerap menyediakan akses film ke daerah-daerah yang belum memiliki bioskop. Kegiatan komunitas juga mendorong minat dan apresiasi publik terhadap film.
”Yang bisa dibilang saat ini menemani masyarakat di berbagai tempat adalah komunitas film. Mereka rajin membuat pemutaran film dan kegiatan yang sifatnya meningkatkan apresiasi. Mereka juga bekerja sama dengan sekolah dan pihak lain,” kata Hilmar.
Pemerintah pun memfasilitasi pemutaran film oleh komunitas melalui program Sinema Mikro. Program ini didanai oleh dana abadi kebudayaan, Dana Indonesiana.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media Kemendikbudristek Ahmad Mahendra menambahkan, pemerintah memberi sejumlah fasilitas untuk mendorong pertumbuhan industri film. Misalnya, dengan mengadakan lomba produksi film pendek disertai program inkubasi skenario film.
Pemerintah juga akan memfasilitasi insan film yang akan pergi ke festival film luar negeri melalui travel grant. Beberapa judul film yang pernah menerima travel grant dari pemerintah adalah Autobiography; Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas; Yuni; serta Before, Now & Then (Nana).