Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian IPB University mengembangkan kertas dari selulosa mikrobial yang lebih ramah lingkungan. Kertas ini berbahan baku air kelapa serta tidak melalui proses delignifikasi dan pemutihan.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·5 menit baca
PETRUS RADITYA MAHENDRA YASA
Mesin yang dioperasikan untuk mencetak lembaran kertas karton di Bedono, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2020).
Sampai saat ini, mayoritas bahan baku pembuatan kertas masih berasal dari selulosa yang terdapat pada kayu. Masifnya penggunaan kayu sebagai bahan baku kertas ini telah menimbulkan masalah lingkungan. Bahkan, pembuatan kertas dari kayu dengan proses pembuatan yang tidak berkelanjutan dapat meningkatkan angka deforestasi.
Pembuatan kertas umumnya mencakup berbagai proses seperti delignifikasi atau penghilangan lignin (zat kayu) dan proses bleaching atau pemucatan dengan menggunakan klorin. Kedua proses ini nantinya juga akan menghasilkan limbah yang membahayakan dan dapat merusak lingkungan bila tidak dikelola dengan benar.
Adanya proses yang tidak ramah lingkungan dalam pembuatan kertas ini mendasari Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian IPB University Khaswar Syamsu untuk mengembangkan kertas dari selulosa mikrobial. Inovasi yang telah dikembangkan sejak 2010 ini memiliki aspek yang lebih ramah lingkungan karena berbahan baku utama air kelapa atau nata.
Pengembangan kertas selulosa mikrobial dalam skala besar diharapkan mampu mengurangi penggunaan kayu untuk produksi kertas konvensional sehingga dapat menyelamatkan hutan-hutan yang tersisa.
“Pabrik kertas mungkin punya area hutan yang berizin untuk suplai kertas. Namun, bila pembuatan kertas tidak berasal dari kayu tentunya akan semakin menjaga luas area hutan kita. Inilah yang menjadi fokus kami untuk mencari sumber alternatif bahan baku utama kertas selain dari kayu,” ujarnya ketika dihubungi, Jumat (3/3/2023).
Menurut Khaswar, sampai sekarang memang sudah terdapat beberapa bahan baku alternatif kertas selain kayu seperti tandon kosong kelapa sawit. Akan tetapi, bahan baku ini memiliki serat yang pendek sehingga membuat kualitas kertas kurang optimal.
IPB UNIVERSITY
Kertas ramah lingkungan dari selulosa mikrobial air kelapa yang dikembangkan peneliti di IPB University.
Khaswar kemudian mulai mengembangkan bahan alternatif pembuatan kertas yang berasal dari selulosa mikrobial. Selain air kelapa atau nata de coco, selulosa mikrobial juga bisa dibuat dari limbah tapioka (nata de casava), tahu (nata de soya), dan nanas (nata de pina). Semua limbah ini bisa dimanfaatkan sebagai media untuk pertumbuhan mikroba yakni Acetobacter xylinum.
Berbeda dengan kayu, pemanfaatan limbah dari air kelapa, tapioka, tahu, maupun nanas ini dapat menghasilkan 100 persen selulosa. Sementara selulosa yang dihasilkan dari kayu yakni sebesar 70 persen dan 30 persen lainnya masih memiliki kandungan lignin. Kandungan lignin inilah yang perlu dihilangkan saat membuat kertas melalui proses delignifikasi.
Selain itu, selulosa dari kayu umumnya juga masih berwarna coklat. Oleh karena itu, pembuatan kertas konvensional masih perlu melakukan proses pemutihan atau pemucatan yang menggunakan bahan kimia untuk mencapai tingkat warna yang diharapkan.
“Pembuatan kertas dengan menggunakan nata de coco tidak ada proses delignifikasi karena tidak mengandung lignin. Tidak perlu juga proses pemucatan karena warnanya cenderung sudah putih sehingga lebih ramah lingkungan,” kata Khaswar.
Produktivitas
Pembuatan kertas dengan selulosa mikrobial air kelapa juga lebih tinggi dari aspek produktivitas. Sebab, bahan baku ini sudah bisa dihasilkan dalam waktu delapan hari mulai dari proses inokulasi bakteri (pemindahan mikroorganisme) sampai masa pemanenan.
Bila dibandingkan dengan kertas konvensional, pemenuhan bahan baku kayu memiliki jangka waku lebih panjang. Sebagai contoh, penanaman pohon jenis Acacia mangium paling cepat baru bisa dipanen dalam waktu empat tahun. Akan tetapi, rata-rata pemanenan kayu dari industri kertas dilakukan saat pohon sudah berumur lima sampai enam tahun.
FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pekerja membuat tahu di industri yang air limbahnya dimanfaatkan untuk gas di Dusun Gilingan, Desa Urutsewu, Ampel, Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu (20/6/2020). Limbah tahu juga bisa digunakan untuk pembuatan kertas.
Sementara dari aspek pembuatan, bahan dan formulasi kertas selulosa mikrobial ini hampir sama dengan kertas konvensional. Pembuatan kertas selulosa mikrobial juga ditambahkan dengan bahan aditif lain seperti tepung kanji dan kaolin. Perbedaan paling mendasar antara kertas selulosa mikrobial dan kertas konvensional hanya pada bahan baku utama.
Proses pembuatan kertas ramah lingkungan ini juga melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama yang dilakukan yaitu penguraian serat kemudian pengenceran dan homogenisasi atau pencampuran bahan. Setelah itu, tahapan berikutnya yakni pencetakan dengan mesin untuk membuat menjadi lembaran kertas dan dilakukan pengeringan.
Khaswar juga melakukan pencampuran bahan baku dari selulosa mikrobial dan kayu. Salah satu proporsi pencampuran yang menghasilkan kertas terbaik yakni 75 persen selulosa mikrobial dan 25 persen pulp atau bubur kertas kayu. Formulasi ini menghasilkan kertas dengan tarikan atau sobekan yang lebih kuat dan bagus.
“Selulosa mikrobial memiliki indeks kristalinitas yang lebih tinggi dibandingkan selulosa kayu. Inilah yang membuat kertas dari selulosa mikrobial memiliki kekuatan tarikan atau sobekan lebih bagus dibandingkan kayu. Semakin banyak proporsi selulosa mikrobial maka semakin kuat pula kekuatan tarik dan sobekannya,” ungkapnya.
Industrialisasi
Ke depan, Khaswar berharap inovasi kertas ramah lingkungan dari selulosa mikrobial ini dapat terus dikembangkan hingga tahap industrialisasi. Meski telah dikembangkan sejak 2010, sampai sekarang kertas selulosa mikrobial ini baru diproduksi secara terbatas untuk kebutuhan sampel dan belum diproduksi dalam skala besar.
“Kertas selulosa mikrobial ini belum masuk industrialisasi bisa jadi karena seratnya yang lebih halus sehingga butuh modifikasi mesin pada pabrik kertas. Kami memang baru melihatnya dari aspek laboratoitum. Mungkin juga ada kelemahan lain yang membuat pihak industri belum tertarik mengembangkan kertas selulosa mikrobial ini,” katanya.
Khaswar menekankan bahwa inovasi ini memang tidak bisa langsung sepenuhnya mensubstitusi kertas konvensional. Akan tetapi, pengembangan kertas selulosa mikrobial dalam skala besar diharapkan mampu mengurangi penggunaan kayu untuk produksi kertas konvensional sehingga dapat menyelamatkan hutan-hutan yang tersisa.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Hutan tanaman industri (HTI) yang menyuplai bahan baku kayu untuk pabrik Indah Kiat Pulp & Paper Perawang, di Siak, Riau, pada 2016.
“Kami melihat pengembangan kertas selulosa mikrobial ini juga sebagai peluang bagi industri kecil dan menengah untuk menyediakan bahan bakunya dari limbah air kelapa, tapioka, atau tahu. Pabrik kertas tinggal menampung dan membelinya,” tuturnya.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mengembangkan industri pulp dan kertas agar lebih produktif dan inovatif sehingga bisa berdaya saing di kancah domestik maupun global. Adanya ketersediaan bahan baku di dalam negeri, industri pulp dan kertas memiliki potensi bisnis yang besar untuk berkontribusi signfikan bagi perekonomian nasional.
Direktur Jenderal Industri Agro KemenperinPutu Juli Ardika dalam siaran persnya menyebut bahwa saat ini,industri kertas di Indonesia memiliki kapasitas terpasang sebesar 18,26 juta ton per tahun. Kapasitas ini menempatkan Indonesia di peringkat keenam dunia.
Putu juga menyebut bahwa bisnis di industri pulp dan kertas sampai sekarang masih prospektif karena permintaannya yang cukup tinggi. Namun, sektor ini juga perlu meningkatkan diversifikasi produk agar punya nilai tambah tinggi.