Kebisingan Membikin Pekak Telinga
Paparan bising dengan intensitas suara lebih dari 85 desibel dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Penggunaan penyuara telinga serta paparan bising saat konser bisa menjadi penyebab.
Hampir setiap hari kita terpapar kebisingan, mulai dari kebisingan akibat hiruk pikuk di jalan raya, kebisingan di tempat kerja, ataupun kebisingan dari musik yang kita dengar dengan penyuara telinga atau headset.
Berbagai profesi, baik pekerja pabrik, militer, pertambangan, pertanian, tenaga medis, konstruksi bangunan, maupun pekerja transportasi, secara sadar ataupun tidak, merasakan kebisingan. Ketika di tengah konser musik pun kita sesungguhnya sedang terpapar kebisingan.
Paparan bising tidak bisa disepelekan. Umumnya, bising merupakan suara yang tidak diinginkan. Namun, ada juga bising yang memang disengaja seperti saat mendengarkan musik di konser atau ketika menggunakan penyuara telinga.
Paparan kebisingan terus-menerus dengan tingkat suara yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran (noise-induced hearing loss). Gangguan tersebut terjadi akibat penurunan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh pajanan suara yang sangat keras ataupun suara bising yang terus-menerus.
Baca juga : Peduli Telinga dan Pendengaran
Staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Tri Juda Airlangga, dalam seminar daring peringatan Hari Pendengaran Sedunia di Jakarta, Jumat (3/3/2023), menuturkan, kasus gangguan pendengaran akibat bising lebih tinggi ditemukan di negara berkembang dibandingkan negara maju.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2020 memperkirakan, ada 466 juta orang di seluruh dunia yang mengalami penurunan pendengaran. Sebanyak 34 juta populasi di antaranya merupakan anak-anak. Jumlah itu diprediksi meningkat dua kali lipat pada 2050. Sebanyak 60 persen kasus seharusnya bisa dicegah.
”Dengan kondisi saat ini, WHO pun telah memperkirakan sebanyak 1,1 miliar remaja dan dewasa muda (12-35 tahun) berisiko mengalami gangguan pendengaran akibat bising. Penyebabnya adalah penggunaan headphone dan bising rekreasional lain,” kata Tri.
WHO menyebutkan, gangguan pendengaran akibat bising pada anak dan dewasa muda terjadi karena mendengar suara yang tidak aman dari alat musik, seperti pemutar MP3 ataupun musik pada handphone. Penyebab lainnya karena terekspos suara yang berpotensi merusak fungsi pendengaran, seperti ketika berada di tempat hiburan malam, konser, dan perhelatan olahraga.
WHO pun telah memperkirakan sebanyak 1,1 miliar remaja dan dewasa muda (12-35 tahun) berisiko mengalami gangguan pendengaran akibat bising. Penyebabnya adalah penggunaan headphone dan bising rekreasional lain.
Seseorang yang mengalami gangguan pendengaran akibat bising biasanya akan kesulitan mendengarkan suara dengan jelas. Pada orang dengan gangguan tersebut, suara yang terdengar akan serupa dengan suara radio rusak. Telinga sering berdengung ataupun berdenging serta kesulitan untuk mendengar orang lain yang berbicara saat mengobrol. Secara umum, gangguan ini tidak menimbulkan gejala nyeri.
Meski demikian, gejala yang muncul sifatnya progresif sepanjang waktu dan bisa permanen atau tidak dapat kembali normal. Itu sebabnya, upaya pencegahan harus diutamakan. Gangguan pendengaran akibat bising tidak hanya bisa berdampak pada kesehatan fisik, melainkan juga psikologis seperti stres dan gangguan tidur.
Tri menyebutkan, manifestasi fisik yang perlu diwaspadai akibat kebisingan, yakni hambatan perkembangan kognitif pada anak, peningkatan denyut nadi, perubahan sistem imun, dan kecemasan. Manifestasi lain, antara lain, peningkatan tekanan darah, sumbatan pada pembuluh darah, serta peningkatan irama jantung.
”Dari penelitian yang kami lakukan, pasien yang berada di rumah sakit yang ramai atau bising akan menambah lama perawatan pada pasien satu sampai dua hari. Kebisingan itu bisa memicu gangguan kesehatan lain,” kata Tri.
Baca juga: Penggunaan Penyuara Telinga yang Tidak Tepat Sebabkan Gangguan Pendengaran
Ia menambahkan, kebisingan yang terjadi di sekolah, misalnya pada sekolah yang berada di dekat jalan raya atau pasar, bisa memicu terjadinya penurunan fungsi pendengaran murid. Penelitian pada murid SMA kelas 1-3 menunjukkan, pajanan bising di sekolah dapat meningkatkan risiko penurunan fungsi pendengaran hingga 3,8 kali lipat pada lima tahun berikutnya.
Ketua Perhimpunan Audiologis Indonesia (Peraudi) Christina A Sitanggang menyampaikan, bising memiliki satuan waktu atau lama pajanan yang bisa dinyatakan dalam batas jam per hari atau jam per minggu. Bising pun punya satuan frekuensi atau jumlah getar per detik dalam Hertz dan satuan intensitas yang dinyatakan dalam desibel (dB).
Pajanan bising yang aman adalah kurang dari 80 desibel. Semakin besar intensitas bising, waktu pajanan pun akan semakin singkat. Pada bising sebesar 85 desibel disarankan hanya terpapar maksimal 8 jam per hari. Sementara paparan bising sampai 97 desibel harus dibatasi hanya 30 menit per hari.
Jalanan yang padat memiliki tingkat paparan bising sekitar 80 desibel. Sementara pada ruang disko yang berisik bisa memiliki tingkat kebisingan sampai 110 desibel. Suara senjata api diperkirakan memiliki tingkat kebisingan hingga 140 desibel.
”Kita harus mencegah agar kualitas hidup kita tidak terganggu oleh bising yang sehari-hari kita rasakan atau kita biasakan dan kita normalkan di kehidupan sehari-hari,” tutur Christina.
Pemeriksaan
Ia menuturkan, pemeriksaan pendengaran rutin perlu dilakukan untuk menjaga telinga dan pendengaran dari bising. Pemeriksaan pendengaran bisa dilakukan sejak bayi setelah usia satu bulan. Pemeriksaan pun perlu dilakukan pada anak yang mengalami penurunan prestasi. Gangguan pendengaran dapat mengganggu konsentrasi sehingga pelajaran tidak bisa ditangkap dengan baik.
Baca juga: Hindari Sumber Kebisingan untuk Cegah Gangguan
Pemeriksaan pendengaran juga perlu dilakukan jika seseorang merasa kesulitan dalam berkomunikasi. Ketika telinga berdenging atau berdengung, disarankan pula segera melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan secara rutin setiap enam bulan sekali pada pekerja yang setiap hari terpapar bising.
”Segera konsultasikan masalah telinga dan pendengaran pada tenaga profesional agar diagnosis dan penanganan bisa dilakukan sesegera mungkin. Tujuannya agar penanganan bisa optimal,” kata Christina.
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, prevalensi penduduk Indonesia usia lima tahun ke atas mengalami gangguan pendengaran sebesar 2,6 persen, ketulian 0,09 persen, sumbatan serumen 18,8 persen, dan sekret di liang telinga sebesar 2,4 persen. Dalam penanganan gangguan pendengaran, pemerintah akan berfokus pada penyakit yang dapat dicegah, yaitu Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK), tuli kongenital, gangguan pendengaran akibat bising (GPAB), presbikusis, dan sumbatan serumen.
Baca juga : Covid-19 Memicu Masalah Pendengaran
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan, pemerintah telah berkomitmen untuk menurunkan angka gangguan pendengaran dan ketulian di Indonesia. Upaya yang dilakukan melalui edukasi dan deteksi dini gangguan pendengaran di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Kapasitas layanan rujukan pun akan ditingkatkan untuk mendukung pelayanan pasien yang memerlukan intervensi spesialistik. ”Kami juga memastikan pelayanan kesehatan yang inklusif, yakni penyandang disabilitas rungu dan atau bicara dapat memperoleh haknya di fasilitas pelayanan kesehatan,” ujarnya.