Hati-hati, Pemanis Buatan Eritritol Bisa Meningkatkan Risiko Serangan Jantung dan Stroke
Pemanis buatan banyak dipilih sebagai pengganti gula oleh mereka yang menderita diabetes melitus dan penunjang diet. Namun, konsumsi pemanis buatan berbahan eritritol ternyata bisa meningkatkan risiko jantung dan stroke.

Abdi dalem menuangkan teh yang akan disajikan kepada kerabat Keraton Kasunanan Surakarta, di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (17/8/2022).
Pemanis buatan banyak menjadi pilihan masyarakat untuk tetap bisa menikmati rasa manis sembari mengurangi asupan kalori demi mencegah peningkatan risiko sejumlah penyakit degeneratif, terutama diabates melitus. Namun, nyatanya, penggunaan pemanis buatan tetap memiliki risiko kesehatan. Pemanis buatan dari jenis eritritol kemungkinan meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke.
Eritritol adalah pemanis buatan yang banyak digunakan di Amerika dan Eropa. Senyawa ini masuk golongan gula alkohol, yaitu gula yang diperoleh melalui proses fermentasi karbohidrat. Pengganti gula alami eritritol ini umumnya berasal dari anggur, jamur, atau buah-buahan lain.
Pemanis ini juga diproduksi industri dalam konsentrasi lebih tinggi dan digunakan sebagai bahan tambahan pangan untuk pemanis makanan dan minuman atau dijual langsung dalam bentuk serbuk dan cair. Eritritol dipilih sebagai pemanis karena rendah kalori, rendah karbohidrat, hingga mendukung diet yang membatasi kalori atau diet keto yang tinggi lemak dan rendah karbohidrat.
Orang-orang mencoba melakukan sesuatu yang sehat untuk tubuh mereka, tetapi secara tidak sengaja, cara itu justru membahayakan diri mereka.
Namun, evaluasi jantung terhadap lebih dari 4.000 orang di Amerika dan Eropa yang dilakukan Stanley L Hazen dan rekan dari sejumlah negara yang dipublikasikan di Nature Medicine, 27 Februari 2023, menemukan responden yang dalam darahnya mengandung pemanis buatan eritritol dalam konsentrasi tinggi memiliki risiko mengalami serangan jantung dan stroke lebih tinggi pada tiga tahun setelah diukur pertama kali.
Sebagian besar responden berumur lebih dari 60 tahun dan sudah memiliki penyakit jantung. Mereka juga memiliki kondisi yang membuatnya bisa mengembangkan penyakit jantung dan stroke di kemudian hari, seperti diabates atau tekanan darah tinggi. Karena itu, mereka menggunakan pemanis buatan demi menahan laju pengembangan penyakit meski dampaknya justru tidak sesuai harapan.
”Orang-orang mencoba melakukan sesuatu yang sehat untuk tubuh mereka, tetapi secara tidak sengaja, cara itu justru membahayakan diri mereka,” kata Hazen, ahli jantung dari Klinik Cleveland kepada The New York Times, Selasa (28/2/2023).

Eritritol bisa meningkatkan aktivitas trombosit untuk saling menempel dan menggumpal sehingga proses pembekuan darah terjadi lebih cepat. Dalam proses uji menunjukkan tikus cedera yang disuntik eritritol akan mengalami pembekuan darah lebih cepat dibanding tikus yang disuntik cairan salin atau natrium klorida.
Sementara sampel darah manusia yang mengonsumsi eritritol menunjukkan kadar gula dalam darah mereka meningkat hingga mencapai puncaknya pada beberapa jam setelah konsumsi pemanis tersebut. Kadar gula itu tetap tinggi hingga dua hari kemudian. Akibatnya, pembekuan atau penggumpalan darah terjadi lebih cepat hingga mempersempit aliran darah dan meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke.
”Penyakit kardiovaskular berkembang dari waktu ke waktu dan penyakit jantung adalah penyebab utama kematian global. Karena itu, kita perlu memastikan makanan yang kita makan tidak menjadi kontributor tersembunyi dari penyakit tersebut,” tambahnya, seperti dikutip The Washington Post, Selasa (28/2/2023).
Hasil studi ini perlu disikapi hati-hati karena responden memang memiliki faktor risiko untuk mengembangkan penyakit jantung dan stroke.
Temuan ini perlu menjadi perhatian mengingat survei NielsenIQ yang dipublikasikan 28 Februari 2022 menunjukkan, penjualan eritritol di Amerika Utara tumbuh 43 persen selama dua tahun terakhir, lebih rendah dibanding kenaikan penjualan pemanis buatan berbahan buah luo han guo (lo han-kuo) yang naik 71 persen, tetapi lebih tinggi dari pertumbuhan penjualan stevia sebesar 31 persen.
Produk yang mengandung eritritol dan diklaim sebagai ”bebas gula” itu, lanjut studi NielsenIQ, banyak direkomendasikan untuk penderita diabetes, obesitas, atau mereka yang mengalami gangguan metabolik lain yang sudah memiliki risiko gangguan kesehatan kardiovaskular.
Meski demikian, hasil studi ini perlu disikapi hati-hati karena responden memang memiliki faktor risiko untuk mengembangkan penyakit jantung dan stroke. Selain itu, meski konsumsi eritritol meningkatkan risiko pembekuan darah, hal itu tidak menunjukkan langsung bahwa eritritol bisa menyebabkan serangan jantung dan stroke pada manusia.
Studi lebih lanjut diperlukan untuk memastikan dampak pemakaian eritritol dan pemanis buatan lainnya. Namun, sembari menunggu adanya hasil riset lainnya, Hanzen menyarankan untuk menghindari konsumsi eritrol dan pemanis buatan lainnya. Dia tidak bisa memastikan apakah jenis pemanis buatan lainnya juga berisiko karena mereka tidak menelitinya.

Profesor genomik fungsional di Universitas Sydney, Australia, Greg Neely, yang tidak terlibat dalam studi Hanzen, mengatakan, penggunaan label ”alami” untuk pemasaran produk industri sering kali menyesatkan. Masyarakat sering berasumsi kata-kata ”alami” itu menunjukkan produk tersebut ada atau terjadi di alam dan meyakini dampaknya tidak buruk bagi kesehatan.
”Kita tidak sepenuhnya memahami apa konsekuensi kesehatan dari pangan industri. Hanya karena sebuah produk pangan dijual dengan label ’alami’, tidak berarti itu aman atau baik untuk dikonsumsi dalam skala industri,” katanya.
Stevia
Penjualan eritritol di Indonesia untuk pemanis buatan mudah ditemukan di lokapasar atau toko daring. Namun, pemanis buatan yang populer dijual di Indonesia dan mudah ditemukan di pasar tradisional maupun pasar modern umumnya berbahan ekstrak stevia alias Stevia rebaudiana, yaitu sejenis tumbuhan dari keluarga bunga krisan atau chrysanthemum.
Pemanis berbahan stevia banyak direkomendasikan untuk penderita atau orang yang memiliki risiko diabetes untuk menjaga agar kadar gula darah mereka tetap terkendali. Namun, Healthline, 2 Maret 2020, menulis studi tentang dampak stevia sebagai pemanis yang hampir tidak mengandung kalori kurang meyakinkan hingga kini.
Studi Stephen D Anton dan rekan di jurnal Appetite, Agustus 2010, menemukan, penggunaan stevia menurunkan kadar insulin dan gula darah. Mereka yang mengonsumsi stevia juga melaporkan puas dan kenyang lebih lama meski asupan kalorinya rendah. Namun, studi terhadap 19 orang sehat-kurus dan 12 orang obesitas itu berlangsung di laboratorium, bukan dalam kehidupan nyata.
Selanjutnya, studi N Sharma dan rekan di jurnal Studies on Ethno-Medicine, 2009 menemukan penggunaan stevia dapat membantu mengelola kolesterol. Konsumsi stevia mampu menurunkan kolesterol total, kolesterol jahat ( low density lipoprotein/LDL), dan trigliserida tanpa efek samping. Selain itu, stevia juga meningkatkan kolesterol baik ( high density lipoprotein/HDL).
Penggunaan pemanis buatan berbahan stevia tetap perlu berhati-hati dan memperhatikan batasan konsumsi karena studi yang ada masih terbatas.
Selain itu, Mariana Raini dan Ani Isnawati dalam Media Litbang Kesehatan Volume 21 Nomor 4 Tahun 2011 menulis, stevia tidak memengaruhi kadar gula darah, aman bagi penderita diabetes, mencegah kerusakan gigi dengan menghambat pertumbuhan bakteri di mulut, membantu memperbaiki pencernaan, meredakan sakit perut, dan cocok digunakan untuk mengatur berat badan.
Bahkan, studi S Paul dan rekan di jurnal Nutrition and Cancer menyebutkan, steviosida, senyawa yang terkandung dalam stevia, bisa membunuh sel kanker pada kanker payudara serta mengurangi beberapa jalur mitokondria yang membantu pertumbuhan kanker. Studi ini dikonfirmasi oleh studi Motohiko Ukiya dan rekan di jurnal Chemistry & Biodiversity, Februari 2013, yang menemukan senyawa turunan stevia bersifat racun bagi sel kanker leukimia, paru-paru, perut, dan payudara.
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) menyebutkan, penggunaan stevia secara umum aman. Stevia memiliki rasa manis 200-400 kali lebih tinggi dari gula meja. Namun, mereka belum menyetujui penggunaan daun stevia utuh atau ekstrak stevia mentah untuk digunakan dalam makanan dan minuman olahan karena kurangnya informasi keselamatan yang ada.

Sajian kopi menyambut tamu di Kampung Cecer, Desa Liang Ndara, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Jumat (26/8/2016).
Sementara di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengizinkan penggunaan ekstrak stevia untuk pemanis alami sejak 2004. Pemanis jenis ini bisa digunakan untuk penderita diabetes dan menunjang diet. Ekstrak stevia hanya bisa dikonsumsi dalam sediaan table top alias berbentuk granul, serbuk, tablet, atau cair serta tidak dapat digunakan sebagai pemanis dalam produk pangan olahan.
Namun, studi Jodi E Nettleton dan rekan di jurnal Nutrients, 31 Mei 2019, menemukan, konsumsi pemanis buatan, termasuk stevia, bisa mengganggu perkembangan flora baik pada usus, memicu intoleransi glukosa, dan bisa menyebabkan gangguan metabolisme.
Pada beberapa orang, produk stevia yang dicampur dengan pemanis dari gula alkohol bisa menyebabkan sejumlah masalah pencernaan, seperti kembung dan diare. Untuk ibu hamil, ekstrak stevia yang sangat halus atau disebut rebaudioside A (Reb-A) aman digunakan. Namun, stevia dalam bentuk daun utuh, yang ditanam di rumah, atau ekstrak stevia mentah sebaiknya dihindari karena tidak ada bukti yang menyebut penggunaannya bisa membahayakan kehamilan.
Walau ekstrak stevia aman dikonsumsi dan bukti-bukti yang ada sekarang tidak menemukan adanya efek samping serius seperti pada eritritol, penggunaan pemanis buatan berbahan stevia tetap perlu berhati-hati dan memperhatikan batasan konsumsi karena studi yang ada masih terbatas.

Sejumlah warga Ibu Kota menjadikan acara minum teh sebagai sarana bersosialisasi.
Raini dan Isnawati mengatakan, penderita diabetes melitus bisa menggunakan stevia sebagai pengganti gula dengan dosis maksimum 3 miligram (mg) per kilogram berat badan per hari. Sementara FDA menyarankan dosis maksimal penggunaan stevia adalah 4 mg per kg berat badan per hari. Artinya, jika berat badan Anda sekitar 60 kg, konsumsi maksimal pemanis buatan berbahan stevia adalah 180-240 mg atau 0,18-0,24 gram.
Jadi, meski pemanis buatan berbahan stevia boleh dikonsumsi, tetap jaga asupan agar jangan sampai berlebihan. Dengan demikian, dampak negatif yang belum diketahui dari penggunaan bahan tambahan pangan yang diproses oleh industri bisa diminimalkan. Jangan lupa untuk tetap menjaga pola makan yang baik, gaya hidup aktif, serta menjaga pikiran tetap positif dan mengendalikan stres.