Varian H5N1 yang Memicu Kematian di Kamboja Sudah Lama Beredar di Indonesia
Virus H5N1 yang dilaporkan di Kamboja merupakan varian lama yang juga telah ditemukan di Indonesia. Oleh karena itu, semua pihak harus lebih waspada.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Virus H5N1 clade 2.3.2.1c yang menelan korban jiwa di Kamboja merupakan varian lama yang juga telah ditemukan di Indonesia sehingga kita harus meningkatkan kewaspadaan. Clade baru flu burung juga telah ditemukan di Indonesia karena virus ini terus bersirkulasi dan bermutasi.
”Di Indonesia, clade 2.3.2.1c yang menyebabkan kasus dan kematian di Kamboja ini sudah ditemukan sejak lama. Dalam paper terbaru, kami sudah menemukan clade baru karena virus terus bermutasi,” kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar yang juga Expert Committee Biological Standardization Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), David Handojo Muljono, Jumat (3/3/2023).
David menjadi penulis senior kajian filodinamika virus H5N1 di Indonesia yang diterbitkan di jurnal Viruses pada Oktober 2022. ”Laporan ini adalah hasil riset dan disertasi Desniwaty Karo-Karo di Faculty of Veterinary Medicine, Utrecht University, di mana saya menjadi salah satu promotornya,” ujarnya. Desniwaty menjadi penulis pertama publikasi ilmiah ini. Turut menulis adalah ahli flu burung dari Utrecht University, Jan Arend Stegeman.
”Studi ini mempelajari dinamika molekuler virus dari aspek waktu dan aspek geografi antarbenua,” kata David.
Penelitian berupaya menyingkap evolusi dan dinamika temporal virus H5N1 yang beredar pada unggas di Indonesia antara tahun 2003 dan 2016. Kajian dilakukan dengan mengurutkan hemagglutinin virus H5N1 ini dan dianalisis menggunakan pohon pengambilan sampel analisis evolusi Bayesian.
Hasil kajian menunjukkan, nenek moyang virus flu burung di Indonesia muncul sekitar lima tahun setelah nenek moyang virus ini yang sangat patogenik muncul di seluruh dunia. Penelitian juga mengungkap kemunculan ini berasal dari dua introduksi dan setelah itu virus ini terus berevolusi karena penyebaran yang luas di antara unggas di Indonesia.
Hasil penanggalan molekuler menunjukkan, nenek moyang yang sama dari virus H5N1 telah ada di Indonesia sejak Mei 2001, 5 sampai 7 tahun setelah nenek moyang yang sama dari virus ini beredar di seluruh dunia. Leluhur bersama H5N1 clade 2.1.3.2 dan 2.1.3.2a muncul pada bulan pertama tahun 2002, sedangkan leluhur bersama clade 2.3.2.1c muncul pada Februari 2011.
Analisis filogenetik memperkirakan bahwa clade 2.3.2.1a dan 2.3.2.1c berbagi nenek moyang yang sama dan berakar pada clade 2.3.2.1b. Sementara itu, clade 2.3.2.1c dan 2.3.2.1a menyimpang dari clade 2.3.2.1b yang berasal dari China dan negara Asia lainnya.
David mengatakan, dengan data filodinamika ini, bisa diketahui bahwa clade flu burung yang telah menulari manusia dan menyebabkan satu orang meninggal di Kamboja telah beredar di Indonesia sejak lama. ”Sampai sekarang memang belum ada bukti penularan orang ke orang, tapi risiko paparan virus ini ke manusia, khususnya di Indonesia, ada sehingga kita harus meningkatkan kesiapsiagaan agar virus ini tidak menjadi wabah pada manusia,” ujarnya.
David juga mengingatkan, Indonesia memiliki pengalaman pahit dengan banyaknya kasus penularan dan kematian flu burung pada manusia. Data WHO menunjukkan, Indonesia merupakan negara dengan korban jiwa akibat H5N1 tertinggi di dunia. Sejak korban pertama pada manusia tercatat di Indonesia pada 2005 hingga Oktober 2017, sebanyak 200 orang terinfeksi dan korban jiwa 168 orang.
Bisa diketahui bahwa clade flu burung yang telah menulari manusia dan menyebabkan satu orang meninggal di Kamboja telah beredar di Indonesia sejak lama.
Menurut David, untuk mencegah terjadinya pandemi flu burung, para ahli di WHO sedang membahas perlunya vaksinasi. ”Ini kembali ke perdebatan 10 tahun yang lalu mengenai urgensi vaksinasi pada ternak dan manusia. Sebagian ahli dari Eropa dan Australia, juga di WHO, berpendapat bahwa vaksinasi ini justru menginduksi mutasi,” ujarnya.
David menambahkan, sejauh ini yang telah disepakati adalah memperketat dan meningkatkan hal-hal yang berkaitan dengan biosekuriti, termasuk pergetatan ayam potong dan strategi pengaturan pemotongan ayam.
Clade 2.3.2.1c
Sebagaimana dilaporkan WHO, pada tanggal 23 Februari 2023, Cambodia International Health Regulations (IHR) National Focal Point (NFP) menyampaikan satu kasus infeksi virus H5N1 pada manusia. Kasus kedua, kontak keluarga dari kasus pertama, dilaporkan pada 24 Februari 2023.
Ini adalah dua kasus pertama flu burung A (H5N1) yang dilaporkan dari Kamboja sejak 2014. Pada Desember 2003, Kamboja melaporkan wabah Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) H5N1 untuk pertama kalinya yang menyerang unggas liar. Sejak saat itu, hingga 2014, kasus manusia akibat penularan dari unggas ke manusia telah dilaporkan secara sporadis di Kamboja.
Erik Karlsson, ahli virologi di Institut Pasteur Kamboja di Phnom Penh, yang mengurutkan genom virus H5N1 di Kamboja, kepada Nature mengatakan, virus yang menginfeksi pasien ini memiliki clade 2.3.2.1c, yang merupakan strain endemik di wilayah tersebut. ”Ini adalah strain sama yang mengakibatkan sejumlah infeksi pada manusia pada tahun 2013 dan 2014 di Kamboja dan telah terdeteksi secara berkala pada unggas sejak saat itu, termasuk pada ayam di pasar unggas hidup,” ujar Erik.
Menurut Erik, saat ini banyak orang sangat khawatir bahwa pasien di Kamboja terinfeksi strain baru 2.3.4.4b yang saat ini beredar di seluruh dunia dan menyebabkan masalah besar di Eropa, Amerika Utara, dan Amerika Selatan. Namun, dia memastikan bahwa varian yang menginfeksi orang di Kamboja sudah lama beredar di sana.