Mempertanyakan Semangat Merdeka Belajar dari Kebijakan Sekolah Pagi di NTT
Kebijakan masuk sekolah lebih pagi di Nusa Tenggara Timur dipertanyakan relevansinya dengan kebijakan pemerintah pusat tentang Merdeka Belajar. Keselarasan kebijakan pemerintah pusat dan daerah sering bermasalah.
Transformasi pendidikan nasional lewat program Merdeka Belajar diterjemahkan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan mengujicobakan jam masuk sekolah siswa SMA/SMK sederajat mulai pukul 05.30 WITA. Harapannya, lulusan SMA/SMK dari daerah ini bisa tembus ke perguruan tinggi ternama dan sekolah-sekolah di NTT bisa masuk dalam jajaran 200 sekolah terbaik di Indonesia. Pembentukan karakter dengan mewajibkan siswa masuk sekolah lebih pagi diyakini akan memicu keberhasilan pencapaian target tersebut.
Seperti diberitakan sebelumnya, kebijakan belajar lebih pagi mulai pukul 05.30 diterapkan di NTT sejak Senin (27/2/2023). Namun, belum semua sekolah menerapkan kebijakan itu.
Sebanyak lima SMA negeri dan lima SMK negeri di Kota Kupang, NTT, mulai menjalankan program tersebut. Peserta didik yang masuk sekolah pukul 05.30 pun khusus kelas XII,
Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat berargumen, dengan sekolah lebih pagi, etos belajar anak akan meningkat. Prestasi anak juga diharapkan semakin baik sehingga mereka bisa diterima di perguruan tinggi ternama. Selain itu, dua SMAN atau SMKN di NTT bisa masuk jajaran 200 besar sekolah terbaik di Indonesia.
Praktisi Pendidikan Doni Koesoema di Jakarta, Jumat (3/3) mengatakan, dengan adanya otonomi daerah, wewenang gubernur dalam mengurus pendidikan jenjang SMA/SMK cukup besar. “Sebenarnya wajar saja jika Gubernur hendak membuat terobosan. Tapi apakah terbosan itu sejalan dengan prinsip-prinsip dan filosofi pendidikan? apalagi katanya sekarang era Merdeka Belajar. Ketidaksinkronan antara kebiajakan Kemendikbudristek dengan pemda yang dibaluti dengan otonomi daerah ini harus dicari jalan keluarnya,”ujar Doni.
Kebijakan Merdeka Belajar yang menjadi unggulan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim pun dipertanyakan relevansinya dalam kebijakan Pemprov NTT dengan mewajibkan sekolah harus mau melaksanakan masuk sekolah lebih pagi, yang awalnya ditetapkan pukul 05.00 menjadi 05.30. Meskipun dengan uji coba, kebijakan ini sejak awal sudah menimbulkan protes dan lebih banyak siswa terlambat karena tidak memahami relevansi kebijakan ini dengan kepentingan mereka.
Doni mengatakan, program Merdeka Belajar selama ini diklaim sebagai semangat dari pemikiran bapak pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan sejatinya berpusat pada anak dan memperhatikan tumbuh kembang anak.
“Pemikiran Ki Hadjar kan bahwa pendidikan itu dijalankan sesuai kodrat anak supaya anak selamat dan bahagia. Apakah filosofi ini benar-benar dipahami dalam terobosan pendidikan yang dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah? Di sinilah harus diuji apakah program ideal dari Kemendikbudristek dipahami di daerah lewat kebijakan-kebijakan yang memang sejalan dengan (program) Merdeka Belajar,” kata Doni.
Apalagi, sebelumnya Pelaksana Tugas Kepala Biro Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Kemendikbudristek, Anang Ristanto menegaskan, terkait berbagai kebijakan Merdeka Belajar, Kemendikbudristek berkomitmen untuk selalu melindungi hak siswa agar dapat belajar dengan aman dan menyenangkan di sekolah. “Kemendikbudristek saat ini tengah berkoordinasi intensif dengan pemda dan dinas pendidikan di Provinsi NTT terkait penerapan kebijakan yang dimaksud,” ujarnya.
Menurut Doni, dari segi kebijakan publik, seharusnya ada tiga hal yang dilakukan. Terobosan kebijakan pendidikan seharusnya berdasarkan kajian akademik, melibatkan banyak pihak, dan ada uji coba terbatas.
“Ketika uji coba pun ada hal-hal yang juga harus dilakukan, mulai dari proses, sosialisasi, hingga evaluasi. Selain itu, harus jelas batas waktunya dan apa yang akan didapat dari kebijakan ini,” kata Doni.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Indraza Marzuki Rais mengatakan, sudah ada keluhan dari guru dan orangtua soal kebijakan masuk pagi pukul 05.30 di NTT. “Kami menilai kebijakan ini tidak tepat tanpa ada kajian akademis. Lalu, masalah ini juga terkait dengan sektor lain yakni keamanan, kesehatan, dan transportasi. Selain itu, minim pelibatan atau partisipasi publik," kata Indraza.
Indraza mengatakan, untuk membahas ini, digelar diskusi daring yang dilakukan bersama perwakilan Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek yang melibatkan ORI, Komisi Nasional Perlindungan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Kementerian Dalam Negeri.
Menurut dia, dalam diskusi tersebut dirinya mempertanyakan tujuan yang disebutkan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sebab, peningkatan mutu pendidikan tidak hanya dengan membuat masuk sekolah lebih pagi.
"Apakah ada efek ungkit dari kebijakan masuk pagi 05.30 ini pada mutu? Padahal ada masalah guru, sarana prasarana, kurikulum, dan lingkungan yang juga harus diperhatikan," ujar Indraza.
Turun tangan berdialog
Doni menegaskan, Kemdikbudristek harus turun tangan dan berdialog dengan Pemrov NTT agar menyelerasakan paradigma pendidikan yang memang berpusat pada anak. Dalam pembuatan kebijakan publik terkait pendidikan, harus dikaitkan dengan kebutuhan penerima manfaat, utamanya siswa dan orangtua/masyarakat, lalu pendidik, satuan pendidikan, dan daerah.
“Yang terjadi dengan kebijakan Gubernur NTT lebih untuk tujuan pendidikan versi elitis sebagai penguasa. Terobosan yang dilakukan pemprov dibutuhkan, namun yang diambil justru yang tidak menyelesaikan pokok persoalan NTT,” kata Doni.
Baca juga : Kebahagiaan Siswa SMA di NTT Sirna Ditelan Kebijakan Masuk Sekolah Pukul 5.30
Doni pun mempertanyakan pemeringkatan SMA/SMK sederajat berdasarkan hasil uji tulis berbasis komputer (UTBK) untuk masuk perguruan tinggi negeri yang membuat daerah seolah-olah berlomba juga untuk diklaim berhasil memiliki sekolah top nasional. Dengan paradigma pendidikan “kompetisi”, akhirnya kebijakan sekolah lebih pagi yang sebenarnya lebih berpihak pada ambisi penguasa jadi mengorbankan kodrat pendidikan untuk anak yang seharusnya membuat mereka selamat dan sejahtera.
“Kenapa tidak ambisinya untuk lebih memperkuat perguruan tinggi di daerah? Kenapa mendorong anak-anak NTT lebih banyak meninggalkan daerahnya untuk berkuliah di tempat terbaik dengan cara jam sekolah lebih pagi? Malah bisa membuat di NTT nanti brain drain atau anak-anak terbaiknya berpindah ke luar daerah daripada membangun NTT,” kata Doni.
Diskriminatif
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru (YGC) Muhammad Mukhlisin menyatakan, kebijakan Gubernur NTT yang mewajibkan anak masuk sekolah pukul 5.30 pagi harus dikaji ulang. Kebijakan tersebut dinilai diskriminatif.
“Kebijakan tersebut hanya mempersiapkan siswa-siswi dari sekolah unggulan tertentu di Kupang, NTT, untuk masuk perguruan tinggi ternama atau sekolah kedinasan di Indonesia. Bagaimana dengan siswa-siswi di luar sekolah tersebut? Padahal, prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan yang diatur dalam Pasal 4 ayat 1 UU Sisdiknas harus berlandaskan pada prinsip demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif,” ujar Mukhlisin.
Dengan paradigma pendidikan “kompetisi”, akhirnya kebijakan sekolah lebih pagi yang sebenarnya lebih berpihak pada ambisi penguasa jadi mengorbankan kodrat pendidikan untuk anak yang seharusnya membuat mereka selamat dan sejahtera.
Mukhlisin menegaskan kebijakan-kebijakan pendidikan harus memperhatikan prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan. Keberagaman peserta didik dan keluarganya juga harus diperhatikan. Sebab, tidak semua peserta didik dan orangtua siap untuk menjalankan kebijakan masuk pukul 5.30 pagi tersebut.
“Kondisi guru dan anak-anak di NTT beragam. Sebagian tidak memiliki kendaraan pribadi, sementara infrastruktur seperti kondisi jalan dan kendaraan umum belum sepenuhnya mendukung.
Dengan Alokasi APBD yang besar, pemda bisa fokus pada infrastruktur dan dukungan sosial-emosional pelajar. Pengembangan karakter dengan pendekatan disiplin positif sangat luas bentuknya dan terbukti lebih efektif. Tidak dengan masuk sekolah pagi buta,” kata Mukhlisin.
Baca juga : Memulai Sekolah Lebih Pagi di NTT Rawan Berdampak Buruk Bagi Murid
Oleh karena itu, Yayasan Cahaya Guru menyerukan kepada Pemprov NTT untuk melakukan kajian ulang terhadap kebijakan masuk sekolah pukul 5.30 pagi. Semua pihak harus terlibat dalam kajian tersebut, termasuk masyarakat, guru, tenaga pendidik, dan ahli pendidikan.
"Kami berharap agar kebijakan pendidikan di NTT dapat berlandaskan pada prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan yang demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif. Kita harus memperhatikan keragaman peserta didik dan keluarganya dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di NTT," ujar Mukhlisin.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan, publik harus menolak kebijakan-kebijakan pendidikan yang tidak ada pijakan akademisnya, tidak ramah terhadap siswa, orangtua, dan guru.“Kami meminta Menteri Dalam Negeri mengevaluasi dan menegur Pemprov NTT serta meminta Mendikbudristek berkoordinasi, berkomunikasi dengan pemprov untuk mengkaji ulang kebijakan pendidikan tersebut. Selain itu, meningkatkan intensitas pendampingan sesuai kewenangan Kemendikbudristek dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan guru di NTT,” tambah Satriwan.