Melihat Dimensi Spiritualitas di Pameran Artina di Sarinah
Sebanyak 50 buah karya seniman dipamerkan di Sarinah, Jakarta. Pameran bertajuk ”Artina” ini berupaya memetakan dimensi spiritualitas kesenian dan budaya Nusantara.
Oleh
Stephanus Aranditio
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 24 seniman menggelar pameran seni kontemporer bertajuk ”Artina” edisi kedua dengan tema Matrajiva di Sarinah, Jakarta, pada 4 Maret-31 Mei 2023. Melalui Matrajiva mereka berupaya memetakan berbagai dimensi spiritualitas dan religiusitas dalam kesenian dan budaya Nusantara.
Pameran tersebut meyakini bahwa kesenian di Indonesia adalah perwujudan dari spiritualitas yang unik dan lahir karena proses pertukaran dan percampuran nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat yang majemuk.
Masyarakat yang majemuk itu tampil dalam bentuk 50 buah karya seniman yang beragam lalu bertemu di Sarinah. Mulai dari fotografi, fesyen, seni rupa, hingga arsitektur. Pameran ini dibuka dari pukul 10.00 hingga 22.00. Selama periode pameran, publik juga dapat mengikuti sejumlah program, seperti kuratorial tur, gelar wicara seniman, dan lokakarya.
Ke-24 seniman yang turut ambil bagian adalah Abdul Djalil Pirous, Monica Hapsari, Agnes Christina, Nadiah Bamadhaj, Agung Kurniawan, Natasha Tontey, Agus Suwage, Ahmad Sadali, Arahmaiani, Asmara Wreksono, Edward Hutabarat. Kemudian Gregorius Sidharta Soegijo, Ni Nyoman Sani, Nyoman Nuarta, Riar Rizaldi, Riri Riza dan Mira Lesmana, Rubi Roesli, Samuel Indratma, Yori Antar dan Rumah Asuh, serta Widayat.
Kurator Agung Hujatnika dan Bob Edrian menempatkan karya perancang busana terkemuka, Edward Hutabarat, di etalase paling depan dari ruang pameran. Menurut Agung, tenun desain fesyen dan mutiara dari Kelurahan Ntobo, Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, karya Edward sangat merepresentasikan kekayaan Nusantara.
”Bang Edward ini kami undang karena ingin mengangkat apa yang ada di Nusantara ini. Beliau sudah sangat kenyang dengan perjalanan dan risetnya dengan kebudayaan di daerah yang mungkin kita tidak tahu. Ini akan menjadi inspirasi bagi kita soal kekayaan tradisi di Nusantara,” kata Agung seusai pembukaan pameran Artina di Sarinah, Jakarta, Jumat (3/3/2023) sore.
Edward menampilkan sejumlah pakaian wanita dan pria berbahan tenun ikat dan pahikung khas Sumbawa dengan beragam motif dan warna. Tak hanya itu, ia juga menampilkan berbagai tas yang terbuat dari cangkang kerang mutiara yang bernilai tinggi.
Semua karya itu dipajang Edward dengan latar belakang seorang perempuan Sumbawa yang tengah menenun benang nggoli secara langsung di lokasi pameran. Kain tenun Sumbawa sungguh bernilai. Sebab, proses pembuatannya yang tidak mudah, helai demi helai benang itu diberi roh dan menjadi kain tenun indah.
”Tema Sumbawa yang saya ingin tampilkan ini hanya satu dari ribuan keragaman yang ada. Karena saya mempunyai 120 keindahan busana Nusantara itu, saya harus maraton menampilkan keindahan itu satu per satu dari perjalanan saya,” kata perancang busana berusia 64 tahun itu.
Melangkah lebih dalam, kurator memilih karya arsitektur milik Yori Antar yang menampilkan jembatan bambu khas suku Baduy. Arsitek lulusan Universitas Indonesia itu mendirikan Yayasan Rumah Asuh yang bertujuan melestarikan desa-desa tradisional yang terancam punah dengan cara membangun ulang dengan tetap mempertahankan arsitektur lokal di desa.
”Seperti jembatan tradisional bambu ini, ternyata tradisi itu masih hidup di Baduy dan di beberapa daerah di Indonesia,” ujar Agung.
Kesenian di Indonesia adalah perwujudan dari spiritualitas yang unik dan lahir karena proses pertukaran dan percampuran nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat yang majemuk.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid mengapresiasi penyelenggaraan pameran Artina di Sarinah. Dia berharap pameran ini bisa berlangsung secara rutin, terlebih pemerintah sudah menganggarkan dana abadi kebudayaan Rp 5 triliun.
”Saya berharap Artina dapat diselenggarakan secara rutin sehingga dapat memperkenalkan budaya Nusantara dengan pendekatan yang berbeda,” kata Hilmar.
Sebagai sebuah pameran seni kontemporer, Artina memberikan ruang bagi berbagai seni kontemporer lintas disiplin, termasuk seni pertunjukan. Tak hanya itu, dalam penyelenggaraannya, Artina juga menghadirkan sejumlah program seperti tur edukasi untuk pelajar, mahasiswa, korporasi, dan wisatawan domestik serta mancanegara, gelar wicara bersama seniman, serta lokakarya seni yang terbuka untuk umum.
Lokasi pameran di Sarinah juga memberikan warna baru bagi mal pertama di Indonesia yang baru direvitalisasi tersebut. Kehadiran Artina di Sarinah mendapatkan respons yang sangat positif dari para seniman, pelaku industri kreatif, dan masyarakat.