Koreksi Kebijakan Restorasi Gambut di Kawasan yang Masih Rentan Terbakar
Hasil analisis Pantau Gambut menunjukkan, kawasan prioritas restorasi gambut di sejumlah daerah masih rentan terbakar. Bahkan, seluas 3,8 juta hektar memiliki risiko kerentanan terbakar tinggi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kawasan prioritas restorasi gambut di sejumlah daerah masih rentan terbakar meski telah dilakukan berbagai intervensi sejak beberapa tahun lalu. Kondisi ini diharapkan menjadi upaya untuk mengoreksi kebijakan dan mengevaluasi konsesi, khususnya yang beroperasi di atas lahan gambut.
Kerentanan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2023 pada wilayah kesatuan hidrologis gambut (KHG) di kawasan prioritas restorasi ini terangkum dalam hasil kajian yang dilakukan Pantau Gambut. Dalam kajian ini, Pantau Gambut menggunakan pengumpulan data (dataset) periode 2015-2019 untuk menentukan model bobot dan skor selama lima tahun.
Data yang digunakan dalam analisis ini di antaranya ialah citra satelit, hotspot VIIRS, kawasan area terbakar dari satelit Modis (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer), peta tutupan lahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), data lahan gambut, data area konsesi, serta data kehilangan tutupan pohon 2016-2020.
Kajian ini fokus dilakukan di area KHG karena upaya restorasi dan perlindungan gambut serta pecegahan karhutla mencakup satu lanskap kawasan.
Hasil analisis menunjukkan, dari total 24,2 juta hektar luas KHG di Indonesia, seluas 3,8 juta ha di antaranya memiliki risiko kerentanan terbakar tinggi. Kemudian 12,6 juta ha masuk risiko kerentanan sedang dan 7,7 juta ha lainnya kerentanan rendah.
Papua Selatan menjadi provinsi dengan KHG rentan terbakar terbanyak mencapai 97 persen dari total 1.421 hektar area KHG.Sementara wilayah dengan kerentanan terluas berada di Kalimantan Tengah (Kalteng) dengan total lebih dari 1,13 juta hektaryang tersebar pada 13 KHG.
Peneliti dan analis data Pantau Gambut Almi Ramadhi mengemukakan, kajian ini fokus dilakukan di area KHG karena upaya restorasi dan perlindungan gambut serta pecegahan karhutla mencakup satu lanskap kawasan. Dalam satu area KHG tidak jarang terdapat beragam ekosistem, mulai dari tanah gambut, sungai, rawa, hingga kawasan hutan.
Menurut Almi, secara umum banyak kawasan prioritas restorasi gambut di sejumlah daerah masih rentan terbakar. Namun, untuk area Sumatera, kerentanan tertinggi berada di Sumatera Selatan, area Kalimantan di Kalteng, dan area Papua di Papua Selatan.
”Area eks-PLG (Proyek Pengembangan Lahan Gambut) satu juta hektar juga masuk ke dalam area kerentanan tinggi. Ini jadi perhatian utama karena selama lima tahun terakhir, yakni 2015 sampai 2019 di area eks-PLG ini cukup sering terjadi kebakaran,” ujarnya saat peluncuran kajian tersebut di Kantor Sekretariat Pantau Gambut, Jakarta, Kamis (2/3/2023).
Pantau Gambut juga melakukan analisis titik panas (hotspot) menggunakan tiga citra satelit dengan semua tingkat kepercayaan. Hasilnya, terdapat kemunculan 1.275 titik panas dengan indikasi karhutla pada total empat minggu sejak Januari-Februari 2023. Terdeteksi pula 381 titik panas berada di wilayah kerentanan tinggi dan 520 titik panas pada wilayah kerentanan sedang.
Hasil kajian dari Pantau Gambut ini juga sejalan dengan temuan dari Greenpeace Indonesia pada 2021. Hasil analisis Greenpeace, tercatat hampir 2 jutahektar dari total 4,4 juta hektar areal terbakar di tujuh provinsi pada 2015-2019 terdapat di 200 KHG. Adapun dari 2 juta hektar lahan yang terbakar tersebut, 1 juta hektar di antaranya terbakar pada periode 2016-2019 dan di 186 KHG.
Metodologi yang dilakukan Greenpeace Indonesia menggunakan analisis spasial dan fokus pada tujuh provinsi prioritas pemulihan gambut, yakni Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Papua. Analisis spasial dilakukan dengan tumpang tindih (overlay) peta-peta dan mengklasifikasikan KHG berdasarkan kriteria ke dalam lima tingkatan degradasi (Kompas, 3/4/2021).
Mengoreksi kebijakan
Almi menegaskan, temuan dari Pantau Gambut ini mengindikasikan adanya korelasi antara ekosistem gambut, kerentanan karhutla, dan kebakaran yang berulang.Kondisi ini juga seharusnya menjadi upaya untuk mengoreksi kebijakan dan mengevaluasi konsesi, khususnya yang beroperasi di atas lahan gambut.
Selain itu, upaya mitigasi karhutla jugaharus dilakukan secara sistematis dan menyentuh ke akar persoalan. Melalui upaya mitigasi yang terukur, diharapkan tidak ada lagi kebijakan yang sporadis dan memastikan semua pihak telah siap saat ancaman karhutla terjadi.
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR beberapa waktu lalu, Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono memastikan bahwa BRGM akan terus fokus dalam upaya pemulihan gambut yang terdegradasi. Sebab, restorasi gambut merupakan upaya pencegahan karhutla, terutama di lahan gambut yang mengalami penurunan air tanah secara berlebihan.
BRGM juga bekerja sama dengan lembaga terkait lainnya untuk menginformasikan kepada tujuh kepala daerah yang wilayahnya rawan terjadi kebakaran gambut tentang kondisi terakhir kelembaban dan kekeringan di wilayahnya. Pada lokasi yang sangat rawan, BRGM bekerja sama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melakukan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk menambah cadangan air melalui hujan buatan.