Kemendikbudristek Masih Berkoordinasi Soal Masuk Sekolah Pukul 05.30 di NTT
Kebijakan masuk pagi bagi pelajar SMA/SMK di NTT pukul 05.30 terus disorot. Kebijakan ini dinilai tidak relevan dengan tujuannya, yaitu memperbanyak lulusan yang tembus perguruan tinggi terbaik.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang memajukan jam masuk sekolah pukul 05.30, utamanya di jenjang SMA/SMK, terus menuai kritik dari sejumlah pihak. Sampai saat ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyatakan masih berkoordinasi terkait penerapan kebijakan masuk sekolah tersebut.
Kemendikbudristek menyatakan respons atas kebijakan jam masuk sekolah yang dinilai terlalu pagi akan dilakukan melalui satu pintu. ”Kemendikbudristek saat ini tengah berkoordinasi intensif dengan pemerintah daerah dan dinas pendidikan di Provinsi NTT terkait penerapan kebijakan yang dimaksud,” kata Pelaksana Tugas Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat (BKHM) Anang Ristanto di Jakarta, Kamis (2/3/2023).
Anang memaparkan, dalam setiap perumusan kebijakan di bidang pendidikan yang berdampak luas, sangat penting bagi pemerintah daerah untuk mempersiapkan secara matang dan memperhitungkan berbagai potensi dampak yang mungkin terjadi. Penting juga dalam prosesnya untuk menjaring dan mempertimbangkan masukan dari sejumlah pemangku kepentingan dan masyarakat, termasuk orangtua.
”Dalam melaksanakan berbagai kebijakan Merdeka Belajar, Kemendikbudristek berkomitmen untuk selalu melindungi hak siswa untuk dapat belajar dengan aman dan menyenangkan di sekolah,” kata Anang.
Minta dikaji
Secara terpisah, Ketua Pengurus Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) NTT Simon Petrus Manu mengatakan, strategi dalam meningkatkan mutu pendidikan dengan cara kegiatan pembelajaran yang berlangsung pukul 05.30 pagi dinilai lebih cocok untuk sekolah dengan sistem asrama. Kenyataannya, pada rentang waktu pukul 05.00-05.30, banyak siswa yang masih kesulitan dalam mendapatkan transportasi umum ke sekolah.
”Perlu dilakukan kajian mendalam dan sosialisasi terkait pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pukul 05.30 pagi dengan melibatkan para pemangku kepentingan di bidang pendidikan,” ujar Simon.
Simon mengingatkan, usia rata–rata peserta didik pada jenjang SMA/SMK adalah 15-17 tahun dan masih berkategori anak–anak yang membutuhkan cukup waktu istirahat. Khususnya untuk siswa perempuan sangat rawan terhadap ”begal” dan ancaman tindakan asusila (ancaman pemerkosaan, kekerasan seksual, dll).
Masalah kedisiplinan atau daya juang siswa hanyalah salah satu hal yang penting untuk keberhasilan siswa. Namun, hal itu tidak harus dilakukan dengan masuk sekolah terlalu pagi.
Kemungkinan untuk sarapan bagi siswa amat kecil karena siswa membutuhkan persiapan ke sekolah antara pukul 04.30-05.30 untuk tiba di sekolah dan dapat berefek pada kesehatan. Orangtua atau keluarga siswa juga membutuhkan waktu mempersiapkan sarapan. Materi yang akan disampaikan oleh guru tidak maksimal diterima oleh peserta didik karena siswa masih dalam keadaan mengantuk.
Adapun terkait pencapaian target prestasi pendidikan 200 sekolah terbaik di Indonesia yang dimulai dengan masuk sekolah pukul 05.30, lanjut Simon, bukanlah indikator keberhasilan, baik dari aspek biologis maupun psikologis. Demikian pula alasan untuk penguatan pendidikan karakter peserta didik, hal itu tidak akan efektif.
”Penguatan pendidikan karakter saat ini, kan, sudah dilakukan lewat kegiatan ekstra kurikuler dan kegiatan Merdeka Belajar Penguatan Profil Pelajar Pancasila,” kata Simon.
Pelaksana Sekretaris Umum Pengurus PGRI NTT Marsi Bani mengatakan, terkait target pemerintah untuk masuk ke 200 sekolah terbaik secara nasional, seharusnya Pemprov NTT dan dinas pendidikan mengajak semua pihak terkait pendidikan untuk mengkaji indikator keberhasilan belajar terkait tujuan itu. Selain itu, perlu dilakukan peningkatan sarana dan prasarana guna menunjang proses pembelajaran, termasuk jaringan internet.
Adapun untuk mengejar persentase diterimanya lulusan SMA/SMK dari NTT ke sejumlah perguruan tinggi ternama di Indonesia dan sekolah kedinasan, pemprov perlu memberikan pendampingan kepada siswa kelas XII guna mempersiapkan diri untuk mengikuti seleksi masuk PT dan sekolah kedinasan dalam bentuk bimbingan belajar tambahan di setiap satuan pendidikan. Perlu dilakukan penguatan kapasitas guru melalui workshop terkait pembelajaran berbasis belajar kecakapan berpikir tingkat tinggi (HOTS).
Selain itu, perlu dilakukan pengelompokan kelas unggul bagi siswa dari kelas X agar persiapan masuk PT dan sekolah kedinasan dapat dilakukan sejak dini oleh satuan pendidikan di bawah pengawasan Dinas Pendidikan NTT. Pemprov perlu memberikan penghargaan (reward) bagi seluruh siswa berprestasi, baik dari sekolah negeri maupun swasta. Pemprov NTT juga diminta untuk meningkatkan jumlah penerima beasiswa berupa biaya kuliah, biaya riset/tugas akhir, dan biaya hidup bagi putra-putri NTT agar berprestasi dan termotivasi bersaing masuk ke universitas ternama di Indonesia.
Sementara itu, praktisi pendidikan yang juga International Growth Mindset Master Coach Djohan Yoga mengatakan, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan pendidikan perlu memiliki pola berpikir bertumbuh atau growth mindset dalam membenahi mutu pendidikan yang stagnan. ”Perlu ada keyakinan bahwa ketertinggalan bisa diubah menuju arah yang lebih baik. Setelah ada keyakinan itu, harus juga diikuti dengan aksi atau strategi yang tepat. Barulah aksi perubahan menuju perbaikan itu bisa dirasakan,” katanya.
Djohan menilai keinginan baik dari Gubernur NTT untuk meningkatkan capaian lulusan SMA/SMK agar memiliki daya saing juga harus disertai dengan aksi yang nyata dengan landasan proses pendidikan yang tepat. Ia mengutarakan masalah kedisiplinan atau daya juang siswa hanyalah salah satu hal yang penting untuk keberhasilan siswa. Namun, hal itu tidak harus dilakukan dengan masuk sekolah terlalu pagi.
”Apakah juga ada perhatian bagaimana menghadirkan ekosistem pendidikan yang bermutu untuk siswa? Harus dilihat juga bagaimana proses pembelajaran dan para guru selama ini supaya relevan dengan makna Merdeka Belajar yang dikehendaki pemerintah,” kata Djohan.
Ia mengingatkan kebijakan yang dilakukan dengan mengharapkan hasil instan tidak akan berhasil membentuk sumber daya manusia unggul dan berkarakter yang ditargetkan pemerintah untuk mendukung Indonesia maju.
”Sayangnya dalam kebijakan pendidikan di Indonesia, terutama di daerah, baik pemda maupun dinas pendidikan, sering diisi oleh orang-orang yang tidak paham pendidikan. Banyak pula yang fixed mindset atau merasa tidak yakin dapat melakukan perubahan dengan proses yang benar dan berkualitas. Padahal keberhasilan pendidikan perlu dilakukan secara bersama-sama dan melalui proses yang baik dan berkualiats secara berkesinambungan,” ujar Djohan.