Aturan Penguatan Pengawasan Obat dan Makanan Segera Dibahas
Berbagai kasus terkait keamanan obat dan makanan semakin mendesak adanya penguatan pada sistem pengawasan di masyarakat. Aturan terkait pun dibutuhkan untuk lebih menjamin keamanan obat dan makanan di masyarakat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aturan yang memperkuat upaya pengawasan obat dan makanan akan segera dibahas. Penguatan pada pengawasan tersebut kian mendesak setelah berbagai kasus terkait keamanan obat dan makanan banyak dilaporkan.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Fraksi Partai Golongan Karya Emanuel Melkiades Laka Lena dihubungi di Jakarta, Kamis (2/3/2023), mengatakan, upaya pengawasan obat dan makanan akan diperkuat melalui Rancangan Undang-Undang tentang Pengawasan Obat dan Makanan. Rancangan Undang-Undang tersebut kini telah masuk dalam program legislasi nasional prioritas.
”RUU Waspom (pengawasan obat dan makanan) akan masuk dalam pembahasan ke Komisi IX. Kami rencanakan (pembahasan) mulai masa sidang depan,” katanya.
Menurut dia, RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan akan semakin melindungi masyarakat dari pangan dan obat yang tidak aman. Itu dilakukan dengan membuat legitimasi hukum Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menjadi lebih kuat dalam bekerja. Dengan begitu, fungsi-fungsi kerja BPOM menjadi lebih optimal, mulai dari premarket hingga postmarket.
Ditemui terpisah, Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Junaidi Khotib menuturkan, RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan diharapkan bisa segera disahkan. Urgensi dari aturan tersebut semakin besar mengingat berbagai persoalan yang kian sering dilaporkan di masyarakat terkait keamanan obat dan makanan.
Persoalan yang ditemukan tersebut misalnya kasus gangguan ginjal akut pada anak yang terjadi akhir 2022. Per November 2022 setidaknya dilaporkan ada 324 kasus gangguan ginjal akut pada anak yang terkait dengan konsumsi obat yang tercemar bahan berbahaya etilen glikol dan dietilen glikol. Sebanyak 200 anak di antaranya meninggal.
Selain itu, ada pula laporan kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan akibat konsumsi jajanan pangan siap saji yang menggunakan nitrogen cair. Kasus tersebut dilaporkan terjadi di Bekasi dan Tasikmalaya, Jawa Barat.
Junaidi menyampaikan, RUU Pengawasan Obat dan Makanan dapat menjawab kekosongan sistem pengawasan yang selama ini ditemukan di masyarakat. Aturan tersebut juga akan memperkuat keamanan obat dan pangan pada aspek preventif dan edukasi.
”Obat dan makanan merupakan kebutuhan primer bagi setiap masyarakat. Karena itu, harus ada upaya yang cukup untuk bisa melindungi masyarakat dan menjamin keamanan pada obat dan makanan yang dikonsumsi,” katanya.
Junaidi mengatakan, setidaknya ada tiga pembahasan penting dalam RUU Pengawasan Obat dan Makanan, yakni terkait otorisasi pada pengawasan obat dan makanan, cakupan pengawasan, serta penguatan koordinasi. Pembahasan tersebut juga akan lebih mendetailkan upaya mitigasi risiko ketika terjadi kasus terkait keamanan obat dan makanan di masyarakat.
Junaidi menilai, aturan pengawasan obat dan makanan yang ada saat ini masih lemah. Hal itu membuat koordinasi antarlembaga menjadi kurang optimal. ”Saat ini seperti ada gapdalam pengawasan obat dan makanan. Itu membuat respons pun menjadi lambat karena proses yang panjang. Padahal, masalah obat dan makanan ini bisa berdampak fatal bagi masyarakat,” tuturnya.
Pengawasan obat dan makanan harus menjadi prioritas kita bersama sebab kuantitas dari pangan dan obat yang beredar di masyarakat amat besar. Penduduk Indonesia pun jumlahnya sangat besar.
Ia menuturkan, penguatan pengawasan obat dan makanan tidak hanya ditujukan kepada BPOM, tetapi juga berbagai pihak terkait. Pengawasan obat dan perbekalan farmasi lainnya, seperti kosmetik dan suplemen, memang menjadi wewenang BPOM, tetapi pengawasan pada pangan melibatkan banyak pihak. Pangan segar, misalnya, menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kemudian, pangan siap saji menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan. Sementara pengawasan, dinas kesehatan di daerah juga berperan besar.
”Pengawasan obat dan makanan harus menjadi prioritas kita bersama sebab kuantitas dari pangan dan obat yang beredar di masyarakat amat besar. Penduduk Indonesia pun jumlahnya sangat besar,” kata Junaidi.
Beberapa waktu lalu, Kepala BPOM Penny K Lukito menyampaikan, ada dua program prioritas BPOM. Keduanya ialah penguatan pengawasan serta penegakan hukum pengawasan obat dan makanan. Kedua prioritas tersebut dapat terealisasi apabila BPOM didukung regulasi yang mengatur pengawasan obat dan makanan. Regulasi dimaksud adalah RUU Pengawasan Obat dan Makanan.