Adiksi pornografi memang tidak berpengaruh terhadap inteligensi. Namun, hal itu bisa merusak ”braking system” sehingga menurunkan fungsi otak depan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masifnya penggunaan internet memperluas penyebaran informasi, tidak terkecuali konten pornografi. Hal ini patut diwaspadai, terutama pada anak usia sekolah, karena adiksi pornografi berpotensi menurunkan fungsi otak depan akibat kerusakan braking system yang berguna mencegah perbuatan yang salah.
Peneliti tamu di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rizki Edmi Edison, mengatakan, saat seseorang mengalami adiksi pornografi, terjadi stimulasi yang mengirimkan hormon dopamin ke otak depan. Banjir dopamin menyebabkan hypofrontal syndrome yang bisa mengganggu kontrol diri.
”Pada saat orang mengalaminya, terjadi penurunan fungsi otak depan,” ujarnya dalam diskusi daring ”Kebijakan Pendidikan dalam Mencegah Adiksi Pornografi pada Anak” yang digelar BRIN, Rabu (1/3/2023).
Kondisi itu tidak berpengaruh terhadap inteligensi. Namun, kerusakan braking system berdampak buruk dalam menilai perbuatan yang benar dan salah.
”Jadi, tidak membuat orang menjadi bodoh. Tetapi, sekalipun inteligensinya bagus, orang yang teridentifikasi adiksi pornografi berpeluang besar untuk jatuh pada perilaku seksual yang belum pada waktunya,” jelasnya.
Selain itu, kemampuan menentukan prioritas juga terganggu. Alhasil, meskipun mengetahui menonton konten pornografi salah, seseorang yang mengalami adiksi akan tetap melakukannya.
Rizki mengatakan, kemampuan kognisi manusia mengalami kematangan pada usia di atas 20 tahun. Dengan kemampuan itu, seseorang dapat berpikir secara dewasa dengan berbagai pertimbangan. ”Hal inilah yang harus diperhatikan. Diperlukan penguatan karakter pada pelajar agar mereka terhindar dari adiksi pornografi tersebut,” katanya.
Menurut Rizki, pencegahan itu tidak bisa dilakukan hanya dengan melarang anak mengakses konten pornografi. Sebab, konten tersebut dapat diakses dengan mudah tanpa pengawasan pihak sekolah dan keluarga.
Oleh sebab itu, kerja sama antara guru, orangtua, dan lingkungan pertemanan sangat penting dengan melibatkannya dalam berbagai aktivitas. ”Jika telanjur kecanduan menonton konten pornografi, berikan kegiatan yang bisa menstimulasi perhatiannya. Apakah dengan membaca buku atau aktivitas lain. Libatkan juga teman-teman terdekatnya,” jelas Rizki yang juga Direktur Pusat Neurosains Universitas Prima Indonesia (Unpri).
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Aris Adi Leksono, mengatakan, Indonesia memiliki sejumlah regulasi untuk melindungi anak, termasuk dalam pengaruh penyebaran pornografi. Namun, regulasi-regulasi itu belum diimplementasikan dengan baik.
Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi turut mengatur kewajiban setiap orang melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap konten pornografi. ”Kita mempunyai kepedulian, tetapi berbuatnya belum maksimal. Dari regulasi perlu didorong ke level hilir untuk menindaklanjutinya sehingga terimplementasi dan menimbulkan efek jera,” katanya.
Indonesia memiliki sejumlah regulasi untuk melindungi anak, termasuk dalam pengaruh penyebaran pornografi. Namun, regulasi-regulasi itu belum diimplementasikan dengan baik.
Menurut Aris, dibutuhkan upaya sistemik mencegah kekerasan seksual dan penyebarluasan konten pornografi pada anak. Tidak hanya melibatkan pemerintah, tetapi juga menuntut peran aktif masyarakat, lembaga sosial, sekolah, dan pihak lainnya. ”Anak yang jadi korban penyebarluasan pornografi akan terdorong menjadi pelaku kejahatan seksual, baik berupa pencabulan maupun pemerkosaan. Hal ini tentu berpotensi merampas masa depan mereka,” ucapnya.
Aris menambahkan, pihaknya telah menerima sejumlah pengaduan kasus kejahatan seksual yang dipicu penyebaran konten pornografi. Hal ini patut menjadi perhatian serius, termasuk dalam penanganan korban.
Asisten Deputi Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Imron Rosadi menuturkan, perlindungan pada anak dilakukan dengan berbagai upaya seperti penanganan yang cepat dan pendampingan psikososial. Selain itu, pemberian bantuan sosial bagi anak dari keluarga tidak mampu dan pendampingan pada setiap proses peradilan.
”Untuk anak yang menjadi korban pornografi, dilakukan melalui pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik, dan mental,” katanya. Akan tetapi, upaya konseling masih sangat terbatas. Sebab, ketersediaan tenaga profesional pendampingan psikososial minim.
Darurat pornografi
Imron menganggap penggunaan internet ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi membantu mengakses informasi yang diperlukan, tetapi di sisi lain juga memudahkan penyebaran konten-konten negatif.
Berdasarkan statistik konten internet negatif pada 2021, terdapat 204.807 konten perjudian, 43.442 konten pornografi, 3.344 konten hak kekayaan intelektual, 2.872 konten penipuan, dan 187 konten pelanggaran keamanan informasi. ”Ini semakin meyakinkan bahwa kita sedang darurat pornografi. Ini tidak berlebihan, tetapi berdasarkan fakta,” jelasnya.
Oleh sebab itu, langkah pencegahan perlu diintensifkan. Orangtua didorong mengawasi anak saat bermain gawai dan membatasi durasi penggunaannya.
”Batasi hanya dua jam, apa pun kontennya. Kalau lebih dari itu, bisa kecanduan dan berpengaruh terhadap psikis serta mental anak,” ucapnya.
Analis Pendampingan Sumber Belajar Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Dyah Mahesti Wijayani mengatakan, pencegahan adiksi pornografi pada siswa dapat dilakukan melalui program Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Program ini dirancang untuk memperkuat karakter pelajar sesuai nilai-nilai Pancasila.
”Pornografi menjadi salah satu fokus yang menjadi masalah di dunia pendidikan. Sebab, hal ini bisa berimbas pada kekerasan seksual,” ujarnya.