Kekerasan Anak di Panti Palembang, Indikasi Lemahnya Pengawasan Lembaga Pengasuhan
Kekerasan terhadap anak di panti asuhan Palembang sebelumnya pernah diselesaikan secara damai dengan orangtua korban. Namun, hal ini dinilai melanggar kode etik pengasuhan dan UU Perlindungan Anak.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus kekerasan terhadap anak-anak di Panti Asuhan Fi Sabilillah Al Amin, Palembang, Sumatera Selatan, menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap lembaga pengasuhan alternatif. Selain izin operasional, kapasitas dan kelayakan pengasuh seharusnya dievaluasi berkala.
Kekerasan dilakukan oleh pimpinan panti asuhan, Hidayatullah atau H (51), terhadap sedikitnya 20 anak berusia 5,5-18. Anak-anak mengalami kekerasan verbal hingga fisik. Kasus ini viral setelah salah satu anak merekam video kekerasan yang terjadi dan mengunggahnya ke internet.
Sebanyak 18 anak telah dievakuasi Kementerian Sosial melalui Sentra Budi Perkasa, Palembang. Dua anak lain tercatat tidak menetap di panti asuhan, tetapi tinggal dengan orangtuanya. Adapun H telah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra, Selasa (28/2/2023), mengatakan, kasus kekerasan pernah diketahui orangtua para korban. Perkara itu diselesaikan secara damai oleh kedua pihak. Namun, kekerasan masih dialami anak-anak setelahnya.
”Dalam Standar Nasional Pengasuhan Anak, lembaga betul-betul harus dipastikan jauh dari unsur kekerasan. Ada kode etik yang harus ditegakkan bahwa siapa pun yang berinteraksi dengan anak tidak pernah melakukan kekerasan. Kalau (diselesaikan dengan) damai, itu melanggar kode etik dan Undang-Undang Perlindungan Anak,” kata Jasra saat dihubungi dari Jakarta.
Ia menekankan pentingnya memeriksa riwayat pengasuh di lembaga pengasuhan. Pemeriksaan kesehatan fisik dan jiwa pengasuh juga penting.
Selain kekerasan fisik dan verbal, anak-anak di lembaga pengasuhan juga rentan mengalami kekerasan seksual. Ini pernah dialami anak-anak di panti atau lembaga pengasuhan di Cihampelas, Jawa Barat, pada 2021. Tiga anak menjadi korban pelecehan seksual oleh pengurus panti. Salah satu anak diketahui mencoba bunuh diri sebanyak tiga kali karena putus asa (Kompas, 31/10/2022).
Anak sangat mengharapkan perlindungan dari lembaga dan orang di dalamnya. Jadi ada (ketimpangan) relasi kuasa antara pelaku dan anak-anak yang tidak bisa membela dirinya.
”Anak sangat mengharapkan perlindungan dari lembaga dan orang di dalamnya. Jadi ada (ketimpangan) relasi kuasa antara pelaku dan anak-anak yang tidak bisa membela dirinya,” ujar Jasra.
Evaluasi rutin
Di sisi lain, pemerintah daerah diminta untuk rutin mengevaluasi akreditasi dan izin operasional lembaga pengasuhan anak. Keduanya merupakan instrumen pengawasan terhadap kualitas layanan lembaga pengasuhan, baik dari segi fasilitas maupun sumber daya manusia.
Namun, pengawasan lembaga pengasuhan alternatif ini masih tergolong lemah. Salah satu alasannya karena sebagian besar lembaga pengasuhan tidak dikelola pemerintah. Jasra mengatakan, dari sekitar 8.500 panti asuhan, 95 persen di antaranya milik masyarakat.
”Selama ini kamikesulitan (mengawasi) karena itu adalah ranah privat. Kalau tidak ada yang melaporkan situasi pengasuhan, sulit melakukan pengawasan,” katanya. ”Kami harus lakukan mitigasi lebih awal. Jadi, tidak pas muncul kekerasan, kami baru teriak,” tambahnya.
Selain pemda, masyarakat juga diharapkan aktif mengawasi lembaga pengasuhan di lingkungannya. Kekerasan atau hal lain yang tidak sesuai dengan prinsip pengasuhan mesti segera dilaporkan ke dinas sosial setempat.
Sekretaris Jenderal Forum Nasional Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak-Panti Sosial Asuhan Anak (LKSA-PSAA) Suryadi menyampaikan keprihatinan atas kasus kekerasan di Palembang. Kejadian ini dinilai mencoreng nama lembaga pengasuhan dan pengasuh di seluruh Indonesia.
”Saya setuju bahwa pengawasan jadi faktor penting pengelolaan LKSA serta yang berwenang melakukannya adalah pemerintah melalui dinas sosial dan dinas terkait,” katanya.
Ia mendorong agar pemda setempat meninjau kembali legalitas formal lembaga tersebut. Selain itu, pemda juga agar meninjau struktur pengurus, sarana dan prasarana, aset, hingga SDM lembaga pengasuhan itu.
Sudah ditangani
Anak-anak korban kekerasan kini ditangani Sentra Budi Perkasa, Palembang berdasarkan arahan Kementerian Sosial. Kepala Sentra Budi Perkasa Wahyu Dewanto mengatakan, sentranya sudah melakukan asesmen. Hasilnya, kekerasan fisik paling sering dialami anak-anak perempuan. Kekerasan fisik juga dilakukan ke anak penyandang disabilitas.
”Bentuk kekerasan macam-macam. Dari kekerasan verbal berupa hinaan dan cacian, anak-anak juga mengalami pemukulan dan benturan ke dinding,” ujarnya melalui keterangan tertulis.
Anak-anak lantas diberi layanan pemulihan psikis dan trauma, antara lain dengan metode hipnoterapi. Anak-anak juga dipastikan tetap pergi sekolah dengan mobil yang disediakan Sentra Budi Perkasa.
Wahyu menambahkan, pihaknya terus berkoordinasi dengan polisi dan Dinas Sosial Kota Palembang terkait perkembangan status dan operasional lembaga pengasuhan tersebut. Adapun Kementerian Sosial melakukan asesmen kondisi sosial dan ekonomi keluarga korban. Asesmen akan jadi acuan untuk merencanakan pengasuhan anak ke depan.