Kebijakan Orangtua Tentukan Perilaku Anak terhadap Gawai
Peran orangtua penting agar anak mengakses gawai dan internet secara proporsional. Kepercayaan dan komunikasi antara orangtua dengan anak jadi landasan untuk itu.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Tidak sedikit orangtua memberi gawai kepada anaknya agar tidak rewel atau agar anak tenang saat orangtua mengerjakan hal lain. Walau efektif, cara ini bisa jadi bumerang di kemudian hari bila anak dibiasakan mengakses gawai secara bebas. Orangtua dianjurkan membuat kebijakan penggunaan gawai yang proporsional. Kebijakan ini pun sebaiknya disepakati anak.
Ghifari Arkanata (8), anak di Desa Keseneng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah sedikitnya menghabiskan waktu empat jam sehari menggunakan ponsel pintar pribadinya. Selama memegang ponsel, ibu Ghifari, Ida Hardiyanti (34), kerap gemas dengan kelakuan anaknya. Ghifari jadi sibuk dengan dirinya sendiri. Ada masa Ghifari minta disuapi atau diambilkan minuman saat sedang asyik dengan ponselnya.
Siswa kelas 2 SD ini pertama kali mengenal ponsel saat masih kecil. Saat itu, ayahnya sibuk bekerja dan Ida sibuk mengurus pekerjaan rumah tangga. Agar Ghifari tenang, orangtuanya membolehkannya mengakses YouTube. Setelahnya, Ghifari dapat mengakses konten lain dan menggunakan ponsel.
“Dia pernah stop pakai HP (handphone) karena lihat pocong. Berbulan-bulan dia enggak mau pegang HP. Semakin besar, dia jadi semakin berani dan kembali pegang HP,” kata Ida di Desa Keseneng, Sabtu (25/2/2023).
Ida dan suaminya, Dwi (34), akhirnya memberi Ghifari ponsel pribadi dengan beberapa ketentuan. Salah satunya, Ghifari mesti memberi tahu kata sandi ponsel ke orangtuanya. Selain itu, ponsel hanya boleh dimainkan di jam tertentu, seperti setelah pulang sekolah, belajar, dan mengaji.
Dwi juga rutin memeriksa riwayat pencarian anaknya di mesin pencari (search engine, seperti Google) serta riwayat percakapan. Sejauh ini, Dwi tidak menemukan riwayat konten negatif.
Menurut mereka, sulit untuk membuat anak lepas dari gawai. Dari segi lingkungan, tidak banyak anak-anak yang bermain di luar rumah bersama. Di sisi lain, internet kini makin mudah diakses. Dwi yang juga carik desa itu mengatakan, sedikitnya 30 persen dari 400-an kepala keluarga di desa memiliki koneksi Wi-Fi di rumah.
Bagi Dwi maupun Ida, hal terbaik yang bisa dilakukan saat ini adalah mengawasi dan mendampingi anak saat bermain gawai. Ghifari juga diberi pengertian untuk menghindari konten yang belum layak dikonsumsi anak.
“Adiknya yang berusia 19 bulan belum kenal HP. Saya mau jaga agar adiknya tidak perlu HP-an,” kata Ida.
Anak lain di Desa Keseneng, Husnia Izzati (11), mengenal ponsel sejak sekolahnya menerapkan pembelajaran jarak jauh saat pandemi Covid-19. Ia mengaku tidak terlalu suka menggunakan ponsel. Ia merasa belum butuh dan tidak punya waktu main ponsel. Waktunya habis untuk belajar, mengaji, dan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.
Di sisi lain, adiknya yang berusia 3 tahun sudah bisa menggunakan ponsel. Orangtuanya membolehkan karena ponsel biasanya diakses untuk menonton kesenian kuda lumping. Penggunaan ponsel pun diawasi orangtua.
Menurut pengamat komunikasi digital Universitas Indonesia Firman Kurniawan, penggunaan gawai dan internet tidak bisa ditolak di zaman sekarang. Internet diibaratkan sebagai pintu masuk pengetahuan. Di sisi lain, pengguna internet, khususnya anak, rentan terhadap berbagai bentuk kejahatan hingga kekerasan.
Berdasarkan data Child Online Safety Index 2022 DQ Institute, Indonesia ada di peringkat ke-42 negara dengan keamanan daring terbaik untuk anak. Skor keamanan Indonesia 46,9. Peringkat satu negara teraman adalah Inggris (skor 81,3), diikuti Jepang (80,4), India (79,9), Australia (73,5), dan China (72,1).
Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 mencatat, sebanyak 21 dari 100 anak laki-laki dan 27 dari 100 anak perempuan berusia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apa pun selama setahun terakhir.
Survei juga menemukan dua bentuk kekerasan seksual, yaitu kekerasan seksual kontak dan nonkontak. Kekerasan seksual kontak antara lain sentuhan yang tak diinginkan, dipaksa berhubungan seks, diajak berhubungan seks, serta hubungan seks dengan tekanan dan ancaman. Perempuan lebih berisiko (6,42 persen) daripada lelaki (2,66 persen).
Sementara itu, kekerasan nonkontak antara lain dipaksa menyaksikan kegiatan seksual, dipaksa terlibat dalam gambar/foto atau video seksual, serta diminta mengirim teks, gambar/foto atau video kegiatan seksual. Ada 2 dari 100 anak lelaki maupun perempuan yang pernah mengalami ini dalam setahun terakhir (Kompas, 21/12/2022).
“Sekarang internet dan perangkat digital adalah realitas yang tidak bisa ditolak. Lebih baik diterima, tapi dengan pendampingan proporsional,” kata Firman, Selasa (28/2/2023).
Sekarang internet dan perangkat digital adalah realitas yang tidak bisa ditolak. Lebih baik diterima, tapi dengan pendampingan proporsional.
Pendampingan proporsional yang dimaksud adalah memberi anak akses pada gawai sesuai usia. Anak usia kurang dari tiga tahun, misalnya, tidak disarankan mengakses gawai. Saat anak berusia 3 tahun, orangtua mesti hadir untuk mengatur durasi paparan layar (screen time) dan mengkurasi konten.
Durasi screen time bertambah seiring pertambahan usia anak. Semakin dewasa, semakin besar pula kepercayaan dan tanggung jawab yang diemban anak saat mengakses gawai.
Menurut Spesialis Perlindungan Anak UNICEF Kantor Wilayah Jawa Naning Pudjijulianingsih, anak mesti dikenalkan pada berbagai risiko kejahatan di dunia maya. Edukasi pencegahan dan respons kejahatan daring juga penting.
Modul perlindungan anak di dunia maya pun dibuat. Selain UNICEF, modul disusun oleh Yayasan Setara, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Klaten, dan pemerintah daerah. Modul ini diajarkan ke puluhan anak dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka bertugas mengajarkan modul itu ke anak-anak di daerah masing-masing.