Dalam empat dasawarsa terakhir, masyarakat hutan telah melalui berbagai krisis. Resiliensi dalam sistem ekologi sosial menjadi basis terbangunnya konservasi di masyarakat sekitar kawasan hutan.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·5 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Resiliensi menjadi salah satu kunci agar masyarakat hutan dapat menghadapi berbagai ancaman, seperti perambahan hutan, perkembangan teknologi, dan fluktuasi harga komoditas. Hal itu ditunjukkan oleh masyarakat Desa Durian Rambun, Desa Tamiai, Desa Sungai Keradak, Provinsi Jambi; dan masyarakat Desa Aruswar, Desa Sawesuma, Desa Soaib, Provinsi Papua.
Terdapat dua aspek penting yang menunjukkan ada resiliensi pada masyarakat di enam desa itu, yakni keluwesan masyarakat membangun strategi penghidupan beragam dan cara pandang mereka terhadap masa depan. Selama empat dasawarsa terakhir, masyarakat hutan tersebut melewati berbagai krisis, seperti jatuhnya harga komoditas, krisis ekonomi, tekanan terhadap hutan oleh pihak luar, hama, penyakit, dan cuaca ekstrem.
Peneliti Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, Angga Dwiartama, menyampaikan, masyarakat hutan memiliki cara beradaptasi dengan lingkungannya. Ada empat faktor penentu yang membuat mereka mampu beradaptasi, yakni diversifikasi penghidupan, kepemimpinan sosial, cara pandang terhadap hutan dan masa depan, serta cara pandang terhadap relasi antarmanusia dan manusia dengan hutan.
”Ketika ditanya apa yang paling penting dalam hidup, jawaban mereka adalah anak, masa depan, dan hutan. Itulah yang menjadi dorongan mereka untuk selalu bisa bertahan. Bagi mereka, hutan adalah rumah, tempat mereka kembali saat terkena masalah,” ujar Angga dalam Pameran Ethnografi Visual di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (27/2/2023).
Menyerap krisis
Angga yang juga sebagai koordinator peneliti menjelaskan, penelitian terhadap masyarakat hutan berfokus pada cerita warga di balik konservasi. Sementara resiliensi dipilih untuk melihat bagaimana relasi masyarakat dan lingkungan hidup mampu menyerap krisis.
Penelitian tersebut berlangsung selama setahun sejak awal tahun 2022 dengan pendekatan rural appraisal, wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan etnografi visual. ”Kami mengidentifikasi berbagai tantangan yang mereka hadapi. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana cara masyarakat membangun hubungan yang kuat dengan hutan dan membangun resiliensi di tengah ancaman dan guncangan,” ujarnya.
Kenaikan harga bahan bakar minyak dan fluktuasi harga internasional komoditas karet, kopi, serta kayu manis mengakibatkan perubahan pola relasi masyarakat dengan lingkungannya. Hal itu membuat masyarakat hutan melakukan subsistensi atau perpindahan satu moda ekonomi ke moda lain yang terbukti mengurangi kerentanan saat menghadapi guncangan.
Kalau harga anjlok, kami tetap menanam kopi, minyak nilam, dan sayur-sayuran. Tumpang sari yang paling bagus di bawah kayu manis itu minyak nilam dan sayur-sayuran. Kalau kopi, kurang bagus sehingga kami tanam secara terpisah.
Subsistensi atau diversifikasi penghidupan itu terlihat pada masyarakat hutan di ketiga desa di Jambi. Mereka tidak bergantung pada hasil panen dari satu komoditas. Saat harga kayu manis merosot, misalnya, masyarakat di Desa Sungai Keradak akan memanfaatkan komoditas lain, seperti kopi, minyak nilam, dan sayur-sayuran.
”Kalau harga anjlok, kami tetap menanam kopi, minyak nilam, dan sayur-sayuran. Tumpang sari yang paling bagus di bawah kayu manis itu minyak nilam dan sayur-sayuran. Kalau kopi, kurang bagus sehingga kami tanam secara terpisah,” kata Niki Nikardo, tokoh masyarakat Desa Sungai Keradak.
Selain menghadapi fluktuasi harga, perambahan hutan turut menjadi ancaman bagi masyarakat yang menggantungkan sebagian besar hidupnya pada hutan. Niki menceritakan, beberapa waktu sebelumnya, para pendatang yang bekerja di ladang lambat laun mengambil alih sebagian area hutan untuk dijadikan tempat tinggal.
Menurut Niki, pengambilalihan area hutan tersebut perlahan membuat lahan hutan dirasa makin sempit. Padahal, selain berkebun, masyarakat Desa Sungai Keradak turut mengandalkan rotan, madu, manau, dan berbagai hasil hutan lainnya. ”Kami dari pihak masyarakat, pemerintah desa, dan lembaga adat tidak mengizinkan lagi mereka untuk berkebun serta merampas hutan kami. Hukum adat juga kami terapkan untuk mereka,” kata Niki.
Peran tokoh masyarakat, pemerintah desa, dan lembaga adat tersebut merupakan salah satu bentuk resiliensi masyarakat. Adapun bentuk lainnya tampak dari kegiatan keagamaan yang acap kali menjadi jembatan komunikasi antara pemimpin dan warganya.
Perkembangan teknologi ibarat pedang bermata dua di Papua. Di satu sisi dapat menjadi kesempatan untuk membuka akses informasi, sementara di sisi lain justru menjadi ancaman bagi generasi muda.
Denys Alberto, pendamping Desa Aruswar, Desa Sawesuma, Desa Soaib dari World Wide Fund for Nature (WWF), mengutarakan, wilayah tersebut baru mulai terjangkau jaringan listrik dan komunikasi baru terpasang pada tahun 2021. Hal itu justru menimbulkan permasalahan baru, yakni anak-anak menjadi kecanduan gawai.
”Tidak ada pengawasan dari orangtua pada anak-anak. Mereka pun jadi lebih suka main gim daring ketimbang mendengar cerita-cerita adat. Bahkan, mereka memilih main gim daripada harus masuk ke hutan. Yang kami takutkan adalah ketika suatu saat orangtua tiada, mereka tidak tahu wilayah adatnya,” tutur Denys.
Selain itu, Denys khawatir jika kecanduan gawai berdampak pada keterampilan berburu ataupun wawasan kearifan lokal pada generasi penerus. Terlebih, para orangtua cenderung membiarkan saat anak-anaknya bermain gawai. ”Mereka jadi tidak mau ke sekolah. Ditambah lagi, guru tidak pernah datang untuk mengajar sehingga anak-anak lebih suka main gawai di rumah daripada ke sekolah. Di Desa Sawesuma, misalnya, tarian adat mulai hilang,” ujar Denys.
Untuk menghadapi ancaman tersebut, WWF menjadikan Desa Sawesuma sebagai wahana ekowisata. Dari situ, potensi kearifan lokal seperti tarian, bahasa, dan berbagai kerajinan menjadi daya tarik tersendiri untuk menggaet para wisatawan. Secara tidak langsung, menurut Denys, generasi penerus di kampung tersebut perlahan akan tersadar pentingnya merawat kearifan lokal. Selain itu, wilayah tersebut kini dalam proses dijadikan sebagai wilayah adat.
”Anak-anak sudah mulai mengerti dan paham tujuan mempelajari adat. Ada juga sekolah lapang untuk ibu-ibu dan masyarakat setempat belajar kerajinan tangan serta mempelajari bahasa daerah,” kata Denys, menambahkan.