Pangan Tercemar Akibatkan Kerugian Ekonomi Rp 250,5 Triliun Setahun
Sebanyak 22 juta orang di Indonesia mengalami diare karena pangan dan air yang terkontaminasi. Kerugian ekonomi yang mencapai Rp 250,5 triliun dalam setahun akibat kejadian ini bisa jauh lebih besar lagi.
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 10 juta hingga 22 juta orang di Indonesia mengalami diare karena pangan dan air yang terkontaminasi dengan kerugian ekonomi Rp 70,5 triliun hingga Rp 250,5 triliun dalam setahun. Kerugian bisa jauh lebih besar karena efek jangka panjang pangan dan air yang terkontaminasi bisa menyebabkan lebih dari 200 penyakit, selain masalah gizi hingga tengkes (stunting) pada anak-anak.
Penyakit yang ditularkan melalui pangan (foodborne illness/FBI), baik akibat mikroorganisme maupun kimia, telah menjadi beban utama kesehatan masyarakat, tetapi kerap terabaikan. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2015, sekitar 600 juta orang, atau hampir 1 dari 10 orang di dunia, jatuh sakit setelah mengonsumsi makanan yang terkontaminasi dan 420.000 orang meninggal setiap tahun.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki beban kesehatan sangat tinggi karena penyakit yang ditularkan melalui pangan. ”Kasus dan kerugian ekonomi akibat pangan yang terkontaminasi di Indonesia juga sangat besar. Orang keracunan makanan di Indonesia seperti menunggu giliran lotre saja,” kata Winiati P Rahayu, ahli keamanan pangan dari IPB University, Jumat (24/2/2023).
Penyakit bawaan pangan di Indonesia yang lazim dijumpai adalah diare, muntaber, tifus, hingga hepatitis A. Hasil Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan tahun 2018 menunjukkan, prevalensi diare untuk semua kelompok umur di Indonesia sebesar 8 persen, anak balita 12,3 persen, dan bayi 10,6 persen.
Selain kasus diare yang menjadi masalah kesehatan sehari-hari di masyarakat, kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan juga berulang kali terjadi, yang mengindikasikan adanya masalah keamanan pangan di Indonesia. Menurut data Kementerian Kesehatan, KLB keracunan pangan di Indonesia pada 2021 mencapai 76 kali dengan jumlah orang terdampak 3.130 dan tingkat fatalitas 0,48 persen.
Ahli penyakit dalam yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam mengatakan, ketika seseorang sering mengalami diare, ususnya menjadi sensitif. ”Kasus ini sangat sering kami tangani. Infeksi usus ini memang tidak berbahaya, tetapi kualitas hidup pasti terganggu,” katanya.
Selain itu, kasus kanker lambung di Indonesia saat ini juga menunjukkan tren meningkat. Sekalipun belum ada kajian komprehensif tentang ini, faktor makanan yang tercemar bahan kimia, seperti formalin, boraks, dan logam berat yang kerap ditemukan pada makanan di Indonesia, juga patut dicurigai turut berkontribusi.
Baca juga : Kanker Lambung, Jarang Terdeteksi tetapi Mematikan
Ketua Asosiasi Profesi Keamanan Pangan Indonesia (Apkepi) Roy Sparringa menuturkan, selain ditandai dengan tingginya kasus diare, tingginya cemaran pangan di Indonesia juga ditandai banyaknya penolakan produk pangan ekspor Indonesia oleh negara lain.
Penelitian Anissa Aprilia Nurkhasanah dan tim dari Departemen Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (2022) menunjukkan, pada kurun 2010-2020, ekspor perikanan Indonesia ke Amerika Serikat yang ditolak mencapai 2.318 kasus dan 79 kasus di Eropa. Produk kotor dan cemaran salmonela menyumbang 80 persen penolakan produk perikanan di AS. Untuk Eropa, alasan penolakan terutama karena cemaran merkuri, pengendalian suhu yang tidak bagus, salmonela, histamin, dan kadmium.
”Kalau eksor ke luar negeri, produk ikan kita diperiksa dengan ketat, bagaimana dengan pasar domestik? Memang di sini ada uji petik, tapi ini masih belum memadai. Di pasar-pasar tradisional kita sangat jarang ada rantai dingin sehingga potensi cemarannya sangat tinggi. Belum lagi cemaran dari logam berat karena sebagian perairan kita sudah tercemar,” kata Roy, yang menjadi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) 2013-2016.
Sekalipun sering memicu kontaminasi, menurut Roy, hingga saat ini laboratorium untuk memeriksa berbagai bahan kontaminan ini juga terbatas. ”Laboratorium referensi untuk salmonelakita tidak punya. Negara sebesar ini tidak punya laboratorium referensi bakteri yang sering menyebabkan sakit ini,” katanya.
Menurut Roy, banyak negara mengeluarkan peringatan perjalanan terkait keamanan pangan untuk warganya yang ke Indonesia. Misalnya, CDC (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit) AS memperingatkan warga mereka untuk tidak mengonsumsi es yang dibuat dari air keran atau sumur di Indonesia.
Baca juga : Air Minum Tercemar Tinja Terindikasi Bersumber dari Air Tanah
Roy mengatakan, air merupakan sumber utama pencemaran pangan di Indonesia. Selain mikroorganisme, air dari perusahaan air minum atau sumur juga kerap tercemar logam berat. ”Es menjadi sangat rentan terkontaminasi karena biasanya menggunakan air mentah. Kami sudah berulang kali melakukan penelitian terkait es ini dan hasilnya memang banyak cemaran mikroorganisme dan logam berat,” ujarnya.
Menurut Roy, dirinya pernah meneliti tempe, yang menjadi sumber pangan populer di masyarakat, ternyata mengandung logam berat. ”Setelah saya telusuri, ternyata dari air yang digunakan dan perendaman menggunakan drum yang berkarat,” katanya.
Kerugian ekonomi
Winiati mengatakan, kurangnya perhatian terhadap masalah keamanan pangan, antara lain, karena dampak dan besarnya kerugian tidak disadari oleh pemangku kebijakan dan masyarakat.
Perhitungan Bank Dunia 2019, negara berpenghasilan rendah dan menengah mengalami kerugian sekitar 110 miliar dollar AS akibat makanan yang tidak aman setiap tahunnya. Kerugian ini disebabkan hilangnya produktivitas sebesar 95,2 miliar dollar AS dan biaya medis 15 miliar dollar AS setiap tahun. Anak-anak di bawah usia 5 tahun menanggung 40 persen beban penyakit akibat makanan ini, dengan 125.000 kematian setiap tahun.
Untuk mengetahui besaran kerugian dari penyakit bawaan pangan di Indonesia, Winiati melakukan studi mengenai ini. Pada 2017, dia dan tim melaporkan kerugian ekonomi akibat ketidakamanan pangan di Indonesia di jurnal Food Science and Microbiology.
Estimasi kerugian dikembangkan dari referensi pengalaman di beberapa negara, yaitu jumlah kasus kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan tahun 2013 dikalikan 100. Faktor pengali ini didasarkan dari pemodelan WHO, bahwa hanya 1 persen dari total kasus keracunan pangan di negara berkembang yang tercatat.
Kurangnya perhatian terhadap masalah keamanan pangan, antara lain, karena dampak dan besarnya kerugian tidak disadari oleh pemangku kebijakan dan masyarakat.
Kerugian ekonomi dihitung berdasarkan biaya perawatan kesehatan langsung, biaya langsung nonkesehatan, dan biaya tidak langsung nonkesehatan. Dengan parameter ini, Winiati menemukan, kerugian ekonomi dari KLB keracunan makanan di Indonesia pada 2013 mencapai 78 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,19 triliun dengan kurs saat ini.
Litbang Kompas menggunakan metode ini untuk menghitung biaya kerugian ekonomi berdasarkan KLB keracunan pangan yang dilaporkan BPOM tahun 2021. KLB keracunan pangan di Indonesia pada 2021 sebesar 50 kasus yang diproyeksikan menjadi 5.000 kasus dengan jumlah yang terpapar 256.900 orang. Sebanyak 178.300 orang mengalami sakit dan 1.000 orang meninggal.
Dengan metode ini, kerugian ekonomi dari KLB keracunan pangan di Indonesia tahun 2021 mencapai Rp 109,6 miliar. Lebih kecilnya nilai kerugian dibandingkan tahun 2013 karena pada 2021 tidak ada biaya akibat kehilangan citra konsumen yang biasanya disebabkan kasus keracunan akibat produk pangan olahan.
Puncak gunung es
Mengacu panduan WHO tentang investigasi penyakit akibat pangan, data wabah atau KLB penyakit hanya mewakili sebagian kecil dari keseluruhan beban penyakit. Oleh karena itu, penghitungan berdasarkan KLB cenderung meremehkan kerugian sesungguhnya yang dipicu oleh pangan tidak aman di Indonesia.
Bersama dengan Stephen LW On dari Faculty of Agriculture and Life Sciences, Lincoln University, Selandia Baru, Winiati kemudian menghitung beban dan biaya penyakit diare yang disebabkan makanan di Indonesia. Laporan penelitian yang diterbitkan di Asia-Pacific Journal of Food Safety and Security pada 2017 ini menemukan, estimasi kasus diare karena penyakit bawaan makanan di Indonesia berkisar 10.189.312-22.476.423 kasus dalam satu tahun.
Adapun kerugian ekonomi diperkirakan Rp 70,5 triliun hingga Rp 250,5 triliun. Ini menunjukkan besarnya kerugian ekonomi di Indonesia akibat ketidakamanan pangan.
Secara khusus, Jarir At Thobari dari Departemen Farmakologi dan Pengobatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada dan tim meneliti beban biaya kesehatan dari kasus diare akut pada balita. Hasil kajian dilaporkan di jurnal The Lancet pada Februari 2022.
Baca juga : Kasus Hepatitis Akut Bermunculan di Jawa, Sekolah di Kendari Belum Paham
Kajian ini didasarkan pada prevalensi diare di kalangan balita yang dilaporkan Kementerian Kesehatan pada 2018 sebesar 17 persen dari sekitar 4 juta anak yang diperiksa. Diare juga menjadi penyebab utama kematian balita di Indonesia, dengan tingkat fatalitas 10,7 persen pada 2019.
Berdasarkan total biaya per kasus rawat inap sebesar 113,6 dollar AS atau sekitar Rp 1,7 juta, maka estimasi total beban ekonomi di Indonesia akibat rawat inap anak balita akibat diare akut lebih dari 30 juta dollar AS atau Rp 457 miliar per tahun. Angka ini termasuk biaya medis langsung sebesar 26,34 juta dollar AS, biaya nonmedis langsung sebesar 1,29 juta dollar AS, dan biaya medis tidak langsung sebesar 2,16 juta dollar AS.
Baca juga : Waspadai Hepatitis Akut, 15 Anak Pasien Diare di Manado Dipantau Ketat
Sekalipun penghitungan beban ekonomi dari diare akibat pangan ini sudah lebih sangat besar, dampak dari ketidakamanan pangan bisa lebih besar lagi. Hal ini disebabkan efek buruk dari pangan yang terkontaminasi secara jangka panjang masih belum diperhitungkan.
Berbagai studi telah menunjukkan, selain menyebabkan gangguan pencernaan, hati, ginjal, pankreas, dan sistem saraf pusat, paparan bahan kimia dalam jangka waktu tertentu dan berulang juga bersifat karsinogen atau menyebabkan kanker.
WHO menyebutkan, makanan tidak aman yang mengandung bakteri, virus, parasit, atau zat kimia berbahaya menyebabkan lebih dari 200 penyakit, mulai dari diare hingga kanker. Hal ini juga menciptakan lingkaran setan penyakit dan kekurangan gizi, terutama yang menyerang bayi, anak kecil, lanjut usia, dan orang sakit. Pangan dan minuman yang tidak aman juga berkontribusi pada masalah tengkes. (LITBANG KOMPAS)