Harmonisasi Sistem Pengawasan Pangan Belum Terwujud
Sistem pengawasan pangan di Indonesia yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan menjadi tantangan yang dihadapi. Koordinasi dan kolaborasi yang minim bisa berdampak pada tidak terjaminnya keamanan pangan masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Permintaan pangan yang semakin besar di masyarakat membuat industri kuliner semakin tumbuh dan menjamur. Akibatnya, ancaman pada sistem keamanan pangan nasional kian meningkat. Oleh karena itu, sistem pengawasan pangan pun harus diperkuat dengan harmonisasi lintas pemangku kepentingan yang lebih baik.
Kebijakan terkait penanggung jawab regulasi dan pengawas pada keamanan pangan masyarakat telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan. Terkait pelaksanaan pengawasan pangan, produk pangan yang diawasi terbagi dalam empat jenis, yakni pangan segar, pangan olahan industri besar, pangan olahan industri rumah tangga, dan pangan siap saji.
Pengawasan pada produk pangan segar yang berasal dari hewan dan tumbuhan dilakukan oleh Kementerian Pertanian, sedangkan pangan segar berasal dari perikanan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pangan olahan industri besar berada di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sementara pangan olahan industri rumah tangga dan pangan siap saji berada di Kementerian Kesehatan. Dalam pengawasan di lapangan, pelaksanaannya akan dijalankan pemerintah daerah.
Direktur Penyehatan Lingkungan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anas Maruf, ditemui di Jakarta, Senin (20/2/2023), menyampaikan, khusus pangan siap saji, pengawasan yang dilakukan diterapkan berbasis risiko. Frekuensi pengawasan akan disesuaikan dengan status risiko dari tempat pengelolaan pangan (TPP).
”Jika TPP memiliki risiko tinggi, akan dilakukan pengawasan dua kali dalam setahun. TPP berisiko sedang diawasi setahun sekali. Sementara TPP berisiko rendah diawasi dua tahun sekali,” katanya.
Risiko ini ditentukan berdasarkan profil pangan yang diolah, mitigasi bahaya pada pangan yang dilakukan, ukuran bisnis, dan riwayat ketidaksesuaian inspeksi. Setiap TPP juga diwajibkan untuk memiliki sertifikat laik higiene sanitasi (SLHS) atau label pengawasan dan pembinaan.
Kewajiban SLHS diperuntukkan bagi TPP jenis jasa boga, restoran, depot air minum, dan TPP tertentu, seperti industri tahu kedelai dan tempe kedelai. Adapun label pengawasan dan pembinaan diwajibkan bagi rumah makan, gerai pangan jajanan, gerai pangan jajanan keliling, dan sentra pangan jajanan atau kantin.
”Dengan memiliki SLHS, artinya TPP tersebut sudah memenuhi syarat dari inspeksi kesehatan lingkungan yang dilakukan. Hasil laboratoriumnya juga memenuhi syarat keamanan pangan serta negatif dari boraks, formalin, rhodamine B, dan methanol yellow,” tutur Anas.
TPP yang memiliki label pengawasan higiene sanitasi pangan menunjukkan bahwa tempat pengelolaan tersebut sudah mendapat penyuluhan keamanan pangan siap saji. Petugas inspeksi dari pemerintah daerah bisa juga melakukan pemeriksaan laboratorium pada sampel pangan yang dijual untuk memperkuat jaminan keamanan pangan dari produk yang dijual.
TPP yang sudah memiliki SLHS pun sudah diwajibkan untuk memasang sertifikat tersebut di tempat yang mudah terlihat oleh pengunjung. Apabila TPP menggunakan bungkus atau wadah untuk kemasan pangan, nomor SLHS juga harus dicantumkan di kemasan tersebut untuk memudahkan masyarakat melihat tanda tersebut.
Baca juga : Keamanan Pangan Butuh Kesadaran Setiap Individu
Namun, Anas mengatakan, penerapan kewajiban SLHS masih belum optimal. Per Desember 2022, dari 222.804 TPP yang terdaftar, 59 persen atau 131.460 TPP sudah memenuhi syarat laik higiene sanitasi. Akan tetapi, hanya ada 2,47 persen atau 5.496 TPP yang memiliki SLHS.
”Kementerian Kesehatan memang mengeluarkan standar terkait syarat laik higiene sanitasi, tetapi SLHS diterbitkan oleh pemerintah daerah. Untuk itu, pemerintah daerah berperan besar mendorong TPP di daerahnya agar segera mendapatkan SLHS,” tutur Anas.
Menurut dia, SLHS sangat penting sebagai bukti jaminan mutu kesehatan dari suatu tempat pengelolaan pangan, seperti restoran, jasa boga, dan depot air minum. Dengan menjamin mutu kesehatan dan keamanan pangan tersebut, penyakit bawaan makanan dan kasus keracunan makanan di masyarakat pun bisa dicegah.
SLHS sangat penting sebagai bukti jaminan mutu kesehatan dari suatu tempat pengelolaan pangan, seperti restoran, jasa boga, dan depot air minum.
Kementerian Kesehatan mencatat, kasus kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan pada 2022 paling banyak ditemukan pada tempat pengelolaan pangan untuk masakan rumah tangga (28,13 persen), jasa boga atau katering (18,7 persen), dan pangan jajanan sekolah (9,3 persen). Sementara kasus KLB keracunan pangan paling banyak dilaporkan terjadi di Jawa Barat (970 kasus), Jawa Tengah (316 kasus). Jawa Timur (299 kasus), dan Sulawesi Selatan (198 kasus).
Di Kabupaten Bogor, misalnya, dalam satu minggu pada Februari 2023, terjadi dua kali kejadian kasus keracunan makanan massal. Kejadian pertama, 87 warga Desa Babakan, Tenjo, Kabupaten Bogor, keracunan saat menyantap makanan pada resepsi pernikahan. Kejadian kedua, keracunan makanan juga dialami 55 pelajar SMP dan SMA Marsudirini di Desa Tegal, Kemang.
Kepala Bidang Pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor Adang Mulyana mengatakan, terhadap dua kejadian itu, pihaknya sudah mengambil sampel makanan untuk diperiksa di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan Pengendalian Penyakit DKI Jakarta. Tim surveilans sudah mengambil tujuh sampel makanan dan sampel air yang dipakai untuk memasak makanan dan air minum pada acara pernikahan di Desa Babakan.
Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor memiliki program penyuluhan tentang kesehatan pangan. Penyuluhan itu lebih spesifik menyasar pengolah makanan, seperti jasa boga dan rumah makan. Mereka wajib menjaga kualitas dan kebersihan bahan pokok serta makanan yang sudah diolah, proses pengemasan, hingga kebersihan lingkungan sekitar agar jangan sampai terkontaminasi.
Pangan olahan industri
Secara terpisah, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Rita Endang menyampaikan, setidaknya ada tiga mekanisme utama yang dilakukan BPOM dalam pengawasan pangan olahan industri terkemas. Pertama, pengawasan pre-market dengan memastikan dokumen dan syarat keamanan pangan telah terpenuhi sebelum nomor izin edar diberikan.
Kedua, pengawasan post-market yang dilakukan dengan pemeriksaan di tempat produksi dan pasar. Secara periodik, BPOM juga melakukan sampling dan pengujian pada produk pangan yang sudah beredar. Ketiga, upaya komunikasi, informasi, dan edukasi terkait keamanan pangan secara masif di masyarakat. Hal itu dilakukan tidak hanya melalui media konvensional, tetapi juga media sosial.
Baca juga : Menjamin Keamanan Pangan yang Berkelanjutan
”Dalam melakukan pengawasan pada berbagai produk pangan, BPOM tetap melakukan koordinasi pada semua pihak. Pengawasan dilakukan secara terpadu sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing,” kata Rita.
Belum optimal
Ketua Asosiasi Profesi Keamanan Pangan Indonesia (Apkepi) Roy Sparringa di Jakarta, Kamis (23/2/2023), menyampaikan, sistem pengawasan pangan di Indonesia yang melibatkan berbagai lembaga menjadi tantangan tersendiri. Jika kolaborasi dan koordinasi antarlembaga tidak berjalan dengan baik disertai dengan ego sektor yang besar, pengawasan pun tidak akan optimal.
Menurut dia, komitmen dari setiap pemangku kepentingan terhadap keamanan pangan di Indonesia belum sama. Prioritas yang ditetapkan pun berbeda-beda sehingga pengawasan pada keamanan pangan di masyarakat menjadi tidak konsisten. Data yang dilaporkan juga tidak lengkap. Hal itu membuat evaluasi dan perbaikan sulit dilakukan secara optimal.
”Idealnya ada single agency dalam pengawasan pangan. Namun, karena di Indonesia sudah ditunjuk ada beberapa pihak, manajemen pengawasannya harus terintegrasi. Sebelumnya sudah dibentuk Jejaring Keamanan Pangan Nasional, tetapi tidak ada keberlanjutannya,” tutur Roy, yang juga pernah menjabat sebagai Ketua BPOM periode 2013-2016. Jejaring Keamanan Pangan Nasional ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 23 tahun 2011.
Jejaring Keamanan Pangan Nasional tersebut memiliki peran strategis karena mencakup jejaring pengawas pangan, jejaring food intelligent, serta jejaring komunikasi risiko dan promosi keamanan pangan. Sayangnya, pembentukan jejaring yang sudah dikonsepkan secara matang itu tidak konsisten dilaksanakan.
Meningkatnya tren penjualan makanan secara daring juga menjadi tantangan besar pada sistem pengawasan keamanan pangan di masyarakat. Aturan yang spesifik dan khusus untuk penjual pangan secara daring belum ada. Sementara akses masyarakat untuk menjajakan produk pangannya secara daring amat mudah.
Berbeda dengan di Indonesia, perizinan untuk membuka kedai di Malaysia lebih ketat. Meski berjualan secara daring, harus ada izin dan sertifikatnya. Sebelum buka kedai harus izin dulu dan diperiksa kebersihan tempat dan kesehatan orangnya. Setelah mendapat izin usaha, semua pekerja kedai harus datang ke fasilitas kesehatan untuk mendapat suntikan vaksin.
Petugas berwenang rutin memeriksa kedainya. ”Sewaktu-waktu mereka datang survei. Awalnya pura-pura membeli, lalu periksa surat izin, kartu suntik, dan kebersihan. Kalau ada pelanggaran, kedai bisa ditutup,” kata Susi Wardani (62) dari Klaten, Jawa Tengah, yang membuka kedai makanan di Kampung Pangkalan Madai 1, Daerah Kunak, Negeri Sabah.
Edukasi
Selain pengawasan, edukasi pada masyarakat juga perlu terus dilakukan untuk menjamin keamanan pangan. Masih banyak informasi dan pemahaman yang tidak diketahui oleh masyarakat mengenai keamanan pangan.
Sekretaris Departemen Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Titis Sari Kusuma mengatakan, edukasi amat penting karena pemahaman masyarakat tentang keamanan pangan masih kurang. ”Lama saji makanan berprotein tidak boleh lebih dari dua jam, misalnya. Bahan makanan tinggi protein memiliki masa penyajian yang lebih pendek karena berisiko tercemar berbagai bakteri, seperti bakteri E coli, Salmonella, dan Staphylococcus. Ini kadang orang tidak paham,” katanya.
Baca juga : Banyak Kasus Keracunan ”Chiki Ngebul”, Penggunaan Nitrogen Cair Diperketat
Menurut Titis, keamanan pangan tidak semata-mata hanya tergantung pada masakan. Keamanan makanan dimulai dari pemilihan bahan baku. Selanjutnya pada proses pengolahan, penyajian, dan penjamah makanan. Ketidaktahuan masyarakat mengenai unsur penting tersebut yang akhirnya bisa berdampak pada keracunan pangan. Hal itu juga yang terjadi dalam kasus keracunan pangan pada mahasiswa KKM Universitas Brawijaya setelah mengonsumsi makanan yang dibungkus kertas.
”Masing-masing makanan mempunyai masa simpan berbeda. Misalnya, ayam goreng dua jam harus habis. Nasi dan sayur bisa lebih lama. Nah, tapi kalau tercampur jadi satu, bakteri berkembang biak dengan cepat. Didukung kondisi panas dibungkus, ditaruh di kantong plastik, pengap, panas, bakteri cepat berkembang,” tuturnya.