Ditolak di Luar Negeri, Tak Dijamin Keamanannya di Dalam Negeri
Produk pangan dari Indonesia, terutama hasil laut, telah berulang kali ditolak di luar negeri dengan alasan kesehatan. Kontrol terhadap keamanan produk pangan ini seharusnya juga dilakukan di dalam negeri.
Oleh
AHMAD ARIF, DEONISIA ARLINTA, BM LUKITA GRAHADYARINI
·5 menit baca
Sejumlah produk pangan dari Indonesia, terutama hasil laut, berulang kali ditolak di luar negeri dengan alasan kesehatan. Penolakan ini menunjukkan ketatnya standar negara tujuan ekspor untuk melindungi warganya. Kontrol terhadap keamanan produk pangan ini seharusnya juga dilakukan di dalam negeri.
Produk pangan asal Indonesia yang ditarik peredarannya oleh negara tujuan ekspor antara lain terkait adanya residu pestisida etilen oksida (EtO) dan senyawa turunan 2-chloro etanol (2-CE). Pada 27 September 2022, otoritas keamanan pangan Hong Kong (CFS), misalnya, menarik produk mi instan goreng rasa ayam pedas ala Korea merek Mie Sedaap karena terdeteksi mengandung residu pestisida EtO. Residu itu ditemukan pada mi kering, bubuk cabe, dan bumbu mi instan.
Pada 7 Oktober 2022, Badan Pangan Singapura (SFA) dilaporkan menarik produk Mie Sedaap Korean Spicy Food dan Mie Sedaap Korean Spicy pada kode produksi tertentu. Kemudian, pada 9 Oktober 2022, Kementerian Kesehatan Thailand juga menarik dua produk yang sama dengan kode produksi tertentu. Pada 11 Oktober 2022, SFA menarik produk Mie Sedaap Kari Special Cup dan Mie Sedaap Korean Spicy Chicken Cup kode produksi tertentu.
Menurut Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Rita Endang, pada 2022 ini setidaknya ada 11 notifikasi produk pangan yang ditolak di luar negeri. ”Laporan yang diterima sudah ditindaklanjuti dan saat ini statusnya sudah close case,” katanya.
”BPOM telah memastikan produk Mie Sedaap yang beredar di Indonesia aman sesuai persyaratan. Produk yang beredar di luar negeri berbeda dengan produk yang beredar di Indonesia,” kata Rita.
Penerapan sistem keamanan pangan hasil perikanan mulai tahap hulu hingga ke hilir tidak mudah.
Rita menyampaikan, kandungan EtO dan senyawa turunannya belum diatur dengan jelas dalam Codex Alimentarius Commission. Akibatnya, setiap negara memiliki standar yang berbeda-beda. Itu juga yang membuat sejumlah produk impor ditolak karena tidak memenuhi syarat negara tujuan.
”BPOM telah meminta agar ambang batas dari kadar EtO dan senyawa turunannya bisa segera diatur,” ucap Rita.
Produk pangan lain dari Indonesia yang kerap ditolak di luar negeri adalah ikan. Penelitian Anissa Aprilia Nurkhasanah dan tim dari Departemen Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (2022) menunjukkan, pada kurun 2010-2020, ekspor perikanan Indonesia yang ditolak di Amerika Serikat mencapai 2.318 kasus dan 79 kasus di Eropa dalam kurun waktu sama.
Tidak mudah
Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan BKIPM-KKP Pamuji Lestari mengungkapkan, penerapan sistem keamanan pangan hasil perikanan mulai tahap hulu hingga ke hilir tidak mudah.
Sistem keamanan pangan harus menyeluruh dalam semua tahapan dan tidak boleh ada salah satu tahap yang bermasalah.
”Penanganan ikan di sektor hulu masih belum baik. Apabila salah satu lini bermasalah, maka akan menurunkan mutu produk perikanan secara keseluruhan,” ujar Lestari saat dihubungi, Jumat (24/2/2023).
Dari data BKIPM-KKP, sepanjang tahun 2022 total ada 29 kasus penolakan ekspor produk perikanan atau 0,028 persen dari total 102.570 konsinyasi. Penyebabnya, temuan kandungan logam berat, seperti merkuri, yang melebihi ambang batas, yakni 2 kasus di Jerman, 2 kasus di Perancis, dan 1 kasus di Belanda.
Selain itu, 1 kasus penolakan di Spanyol terkait minimnya kontrol temperatur, 1 kasus di Rusia terkait temuan bakteri E coli, dan 1 kasus di Korea terkait temuan kandungan karbon monoksida. Sementara itu, 21 kasus penolakan ekspor ke AS disebabkan, antara lain, temuan kandungan Salmonella, bau (filthy), dan histamin.
Menurut Kepala Pusat Pengendalian Mutu BKIPM-KKP Widodo Sumiyanto, temuan kandungan logam berat melebihi ambang batas didapat pada produk hasil perikanan tangkap. ”Ini terkait dengan rantai makanan. Ikan yang berupaya makan ikan yang lebih kecil dan ikan yang lebih kecil kemungkinan memakan fitoplankton dari perairan yang tercemar,” katanya.
Sementara itu, temuan kontaminan Salmonella terjadi pada produk perikanan tangkap, seperti tuna. Kontaminan itu diduga akibat faktor lingkungan, air dan es, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia yang berkontak dengan produk ikan.
Etty Riani, ahli ekotoksikologi dari Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan IPB University mengatakan, penolakan produk pangan dari Indonesia di luar negeri menunjukkan ketatnya perlindungan keamanan pangan negara lain. Hal serupa diharapkan juga dijalankan di Indonesia.
Menurut Etty, perlindungan konsumen di Indonesia, terutama terhadap bahan bahaya beracun, masih rendah. ”Misalnya, produk ikan laut atau ikan tawar yang dipasarkan, apakah melalui uji dulu? Kalau ada, apakah juga diperiksa kandungan residu pestisida dan metil merkuri?” ujarnya.
Etty telah berulang kali melakukan penelitian mengenai kualitas air ataupun organisme di sungai atau perairan Indonesia dan menemukan adanya cemaran logam berat yang melebihi ambang aman. Di antaranya kerang hijau dan ikan dari Teluk Jakarta, yang dari temuannya mengandung logam berat melebihi ambang batas aman. ”Namun, apakah produk dari daerah ini dilarang beredar? Apakah konsumen tahu dari mana asal produk laut yang dikonsumsinya dan apakah aman dari cemaran? Konsumen kita sebenarnya belum terlindungi,” katanya.
Peneliti pada Kelompok Riset Keamanan Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dwiyitno, menyampaikan, pemantauan produk perikanan dalam negeri sebenarnya dilakukan BKIPM-KKP dan unit pelaksana teknis di sejumlah daerah.
Meski begitu, hingga kini belum ada informasi mengenai keamanan pangan tiap produk perikanan yang dijual di pasar, termasuk jika ada temuan cemaran pada produk ikan di suatu daerah. Akibatnya, masyarakat harus mengandalkan deteksi dini sendiri untuk memastikan keamanan produk perikanan yang dibeli atau dikonsumsi.
”Efeknya berantai kalau diumumkan adanya pelanggaran, nanti terkait ekonomi. Apalagi, jika pelaku usahanya dianggap masih bisa dibina. Ini kembali lagi, apa yang jadi prioritas kita,” katanya. Dwi menambahkan, terkait kerang di Teluk Jakarta, kebijakannya adalah dengan mengevaluasi area budidaya dengan menggesernya ke utara, di area yang dianggap lebih bersih. ”Tetapi, ini memang mesti terus dimonitor, apakah benar produk kerangnya sudah tidak tercemar logam berat,” ujarnya.