Pendidikan Dibutuhkan untuk Menguatkan Identitas Bangsa
Pemikiran untuk terus menggali identitas bangsa Indonesia dan manusia Indonesia perlu terus dikembangkan. Sebab, identitas tidak tumbuh dengan sendiri, tetapi perlu diusahakan dan dibudayakan lewat pendidikan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Identitas sebagai Indonesia merupakan proses belajar sosial, bukan seolah-olah terbentuk begitu saja dengan sendirinya. Karena itu, negara secara sistematik atau terstruktur lewat sistem pendidikan dan bahasa perlu sengaja membuat kesadaran baru dalam diri tiap warga untuk mengenali dirinya sebagai bagian dari Indonesia.
Apalagi, identitas bangsa Indonesia yang dulu dan sekarang tentunya berbeda. Dulu, dengan dinamika kehidupan sosial masyarakat yang relatif stabil, identitas sebagai Indonesia bisa jadi lebih mudah ditangkap. Sebaliknya, di masa kini dengan dinamika sosial masyarakat yang berkembang dan dipengaruhi teknologi digital, identitas tersebut berubah karena semakin banyak hal yang memengaruhinya.
”Untuk dapat memahami budaya Indonesia, identitas Indonesia, tentunya tidak bisa sendiri. Jadi, perlu dilakukan lewat sistem pendidikan untuk melihat pola tetap, tetapi juga perubahan pada identitas budaya Indonesia. Namun, pendidikan yang dimaksud bukan berarti mendikte, tetapi bersama-sama diajak membentuk identitas,” kata Guru Besar Bidang Ilmu Filsafat Antonius Sudiarja SJ atau yang akrab disapa Romo Dipo di acara seminar pembukaan Dies Natalis Ke-54 Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara bertajuk ”Menggali Indonesia, Mengerti Kita”, Sabtu (25/2/2023). Hadir pula sebagai pembicara lainnya Risa Permana Deli, pendiri dan Direktur Pusat Representasi Sosial Jakarta serta pengajar di Universitas Indonesia.
Romo Dipo mengatakan, dari berbagai pandangan tentang kebudayaan nasional muncul pendapat yang mengatakan adanya warisan kebudayaan pada masa lalu yang harus dipertahankan atau dilanjutkan (dari zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit). Adapula pula yang menolak pengaitan kebudayaan Indonesia sekarang dengan kebudayaan masa lalu, dengan alasan Indonesia merupakan bangsa baru yang harus menciptakan budaya baru sama sekali.
Pandangan lainnya mengatakan, pluralitas kebudayaan daerah/lokal merupkan unsur-unsur pembentuk kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia merupakan kompromi antara budaya-budaya daerah/asli yang diwarisi dan budaya asing yang diterima dari luar. Hingga ada yang berpandangan, kebudayaan Indonesia merupakan bagian dari kebudayaan dunia.
Sementara itu, dalam pandangan Driyarkara, kepribadian nasional terkait dengan kebudayaan nasional tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi harus diusahakan atau dibudayakan melalui pendidikan. Hal ini bisa dimulai dengan pendidikan budaya lokal dengan menggali nilai-nilai yang memberikan gambaran manusia yang dicita-citakan atau kepribadian yang sempurna.
Driyarkara mencontohkan, pendidikan budaya lokal dari kajian serat Wedhatama yang menggambarkan kepribadian manusia yang dicita-citakan, yakni manusia yang selalu bermenung dan mengerti diri sendiri, menguasai diri sendiri dan serba teratur dalam segala-galanya, penuh cinta kasih dan kebaikan terhadap sesama manusia. Selain itu, suka melatih diri dengan bertirakat, berkeTuhananan dengan cita-cita memuncak sampai ke kesatuan yang seintim-intimnya dengan Sang Pencipta.
”Yang penting dalam pendidikan budaya lokal, seperti yang dicontohkan Driyarkara dengan mengkaji pandangan Wedhatama, ada usaha pencarian untuk membuahkan gambaran yang bisa dijadikan bahan pembicaraan bersama. Kepentingan utama dari identitas bangsa bukan lagi rumusannya apa, melainkan sumbangan pemikiran dalam pergaulan antarbangsa,” papar Romo Dipo.
Romo Dipo mempertanyakan apakah di sekolah-sekolah kini ada ruang untuk mempelajari tentang budaya lokal tanpa terjerumus pada fanatisme daerah, tetapi juga mempelajari budaya-budaya lain. Sebab, untuk bangsa Indonesia, pluralisme harus ditekankan dengan memberi ruang pertemuan yang semakin banyak dengan pihak yang berbeda.
Kebudayaan Indonesia merupakan kompromi antara budaya-budaya daerah/asli yang diwarisi dan budaya asing yang diterima dari luar.
”Sayangnya, kita mengalami krisis kebudayaan/kultural karena kurangnya perasaan yang sama. Hal ini terlihat dari Era Reformasi yang lebih fokus pada perubahan kekuasaan dan politik. Namun, belum mengarah pada persoalan apakah kita sudah punya identitas yang jelas, ada persamaan sebagai suatu bangsa sehingga perubahan politik yang terjadi tidak menimbulkan gejolak karena perubahan kekuasaan,” kata Romo Dipo.
Perlu kesadaran
Sementara itu, Risa mengatakan, bangsa Indonesia yang hidup dalam keberagaman ini hanya dengan mengatakan “saya Indonesia” seolah-olah menyelesaikan masalah. Padahal, Indonesia itu tidak dibentuk dengan sendirinya. Namun, ada upaya berpikir yang dilakukan. Untuk membentuk identitas bangsa, perlu dilakukan hingga menjadi kultur atau praktik sehari-hari yang kemudian menjadi pola yang dikenali sebagai identitas.
Pemerintah dapat dengan sadar menggunakan sistem pendidikan dan bahasa untuk membentuk identitas bangsa. ”Identitas itu dari proses belajar sosial, tidak dengan sendirinya. Namun, karena bangsa kita ini berpola pikir mantrawi, seolah-olah hanya dengan dikatakan semuanya bisa terjadi. Sebagai contoh Pemerintah Perancis untuk membentuk identitas warga yang begitu kuat menggunakan bahasa Perancis, ada hukuman untuk warganya yang tidak menggunakan bahasa Perancis,” ujarnya.
Menurut Risa, kehidupan masyarakat Indonesia masih diliputi prasangka-prasangka satu sama lain, yang akhirnya mengganggap prasangka itu sebagai suatu kebenaran. Sayangnya, meskipun ada banyak perguruan tinggi, tetapi belum kuat dalam melakukan penelitian antropologi, misalnya, untuk menguraikan prasangka-prasangka tersebut atau untuk meletakkannya dalam suatu konteks yang dapat memberikan pencerahan sampai di batas atau titik mana warga yang berbeda itu bisa bersama-sama.
”Adanya prasangka-prasangka ini menjadi pekerjaan rumah nasional yang harus bisa dikaji untuk menggali Indonesia. Bangsa ini harus terus berpikir tentang dirinya untuk menemukan siapa kita sebagai bangsa Indonesia,” ujar Risa.
Risa mengatakan, bangsa ini memiliki mimpi besar sejak lama. Dari Sumpah Pemuda, kemerdekaan, hingga reformasi, tetapi kehidupan bangsa masih melenceng dari yang dicita-citakan. Bangsa ini masih hidup dengan ketidaksadaran karena adanya berbagai prasangka yang dianggap sebagai kebenaran.
Ada kebiasaan bangsa ini yang hanya dengan seolah-olah membuat jargon atau mengatakan sudah merasa melakukan. Semisal dengan jargon go green di mana-mana, seolah-olah akan terwujud dengan sendirinya.
”Cara berpikir masyarakat Indonesia bukan hanya tidak bisa berpikir analitis, tetapi juga berpikir mantrawi, kalau sudah ngomong seolah-olah akan terjadi. Akibatnya, warga negara tidak pernah menjadi sumber daya pengetahuan, ekonomi, budaya. Implikasinya, proses menjadi manusia Indonesia sepenuhnya kita hidup dari luar. Tingkat ketergantungan dari luar sungguh besar. Sebagai contoh, batik memang dari Indonesia, tetapi sebenarnya 95 persen material dari luar, hanya 5 persen dari dalam, yakni tenaga kerja pebatik,” ujar Risa.
Risa mengatakan, perlu dipikirkan apakah sistem pendidikan Indonesia selama ini sebagai toxic atau menjadi vitamin baru untuk membentuk identitas Indonesia. Kenyataannya, pengetahuan yang didapat belum mampu dioptimalkan menjadi mesin yang mereinkarnasi dalam seluruh sikap, tindakan, dan pikiran yang dilakukan masyarakat Indonesia.
Ketua STF Driyarkara Romo Thomas Hidya Tjaya SJ mengatakan, peringatan Dies Natalis STF Driyarkara tahun ini sebagai peringatan 110 tahun Prof Driyarkara sekaligus 25 tahun reformasi. Karena itu, STF Driyarkara merasa penting untuk membahas topik mengenali diri kita sebagai manusia Indonesia.