Perguruan Tinggi Indonesia Terus Menguatkan Kolaborasi Internasional
Peningkatan mutu pendidikan tinggi Indonesia yang diakui internasional dikuatkan dengan memperluas kolaborasi antar-perguruan tinggi di dalam negeri dan luar negeri.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kolaborasi dan jejaring untuk mendukung internasionalisasi perguruan tinggi Indonesia perlu terus dikembangkan. Tidak hanya mengacu pada perguruan tinggi di Amerika Serikat dan Eropa, kerja sama dengan perguruan tinggi di wilayah Asia Tenggara dan Asia juga perlu dikuatkan.
Kolaborasi dengan perguruan tinggi luar negeri di Asia, salah satunya China, dilakukan Universitas Yarsi Jakarta. Pada Jumat (24/2/2023) digelar sidang senat terbuka Universitas Yarsi dengan acara Prosesi Penganugerahan Profesor Kehormatan kepada Prof Fasli Jalal dari Fujian Normal University di Jakarta, Jumat (24/2/2023).
Hadir menyerahkan penganugerahan profesor kehormatan tersebut Ketua Perkumpulan Alumni Fujian Normal University (FNU) di Indonesia Yongky Sigmud. Adapun Rektor FNU Wang Changping memberikan sambutan secara daring dari Fuzhou, Fujian, China.
”Kami mengucapkan selamat dan terima kasih untuk kerja sama selama ini. Sejak Prof Fasli menjabat Wakil Menteri Pendidikan Nasional dan sebelumnya, (beliau) sudah berkontribusi yang tidak ternilai dalam membangun kerja sama pendidikan dan budaya kedua negara. Hal ini diwujudkan dengan pendirian enam pusat bahasa Mandarin di Indonesia. Setelah acara seremoni ini, kami berharap ada pertukaran forum komunikasi dan akademik yang semakin intensif untuk kedua universitas,” kata Wang.
Sementara itu, Yongki mengatakan, Fasli merupakan sosok guru dan dokter yang mengagumkan. ”Gelar profesor kehormatan diberikan untuk kontribusi yang luar biasa dalam pendidikan dan pertukaran budaya Indonesia-China yang tidak ternilai,” ujarnya.
Fasli yang merupakan Guru Besar Bidang Nutrisi Klinis dari Universitas Andalas pernah lama berkecimpung sebagai birokrat pendidikan di Kementerian Pendidikan Nasional, mulai dari Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Guru, dan Pendidikan Tinggi, sampai Wakil Menteri Pendidikan Nasional. Pendirian pusat-pusat bahasa Mandarin yang pernah dilakukan Fasli pantas dicatat karena masa Orde Baru pernah ada kebijakan untuk meniadakan pembelajaran bahasa Mandarin, baik untuk masyarakat Indonesia maupun warga keturunan Tionghoa di Indonesia.
Padahal, kata Fasli, tahun 1990-an hubungan perdagangan/ekonomi dengan China mulai tumbuh. Namun, ada masalah komunikasi karena orang-orang China tidak fasih berbahasa Inggris. Satu-satunya cara adalah mesti dibuka pembelajaran bahasa Mandarin untuk masyarakat Indonesia.
”Saya memberanikan diri untuk memberikan gagasan pada pimpinan supaya mulai membuka kembali kursus bahasa Mandarin. Ada kebutuhan besar bagi pengusaha dan tenaga kerja Indonesia untuk bisa berkomunikasi dengan bahasa Mandarin,” kata Fasli.
Pembelajaran bahasa Mandarin di Indonesia pun mendapat dukungan dari Pemerintah China. Awalnya ada dukungan untuk memfasilitasi penyetaraan ujian kemampuan bahasa Mandarin atau HSK (semacam TOEFL bahasa Inggris) untuk 400 orang hingga kemudian berkembang sekitar 18.000 orang per tahun.
Ketika pembelajaran bahasa Mandarin mulai digelar di sekolah-sekolah, khususnya SMA/SMK, Indonesia tidak memiliki guru bahasa Mandarin. Pemerintah China lalu mengirimkan sukarelawan pengajar ke Indonesia. Selanjutnya, ada pula beasiswa kuliah ke China yang juga disediakan Pemerintah China.
”Untuk penyiapan guru bahasa Mandarin di Indonesia, kan, tidak ada pendidikan S1-nya. Lalu kita buka enam pusat studi bahasa Mandarin yang didukung Pemerintah China. Kami saat itu yakin masyarakat Indonesia harus juga mempelajari bahasa Mandarin selain bahasa Inggris,” papar Fasli.
Fasli yang juga Wakil Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta ASEAN-China mengatakan, pemberian gelar profesi profesor kehormatan sebagai langkah awal untuk semakin menguatkan kolaborasi. Selain dengan China, pihaknya juga mengembangkan kerja sama dengan pertukaran dosen ke India, Thailand, dan Inggris.
Meningkatkan peringkat
Sementara itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek dan Dewan Pendidikan Tinggi kembali menggelar kegiatan Top Executive University Gathering Batch 2 di Surabaya, Rabu (22/2). Kegiatan ini dihadiri rektor, majelis wali amanat, dan senat akademik perguruan tinggi negeri dan swasta sebagai sebuah sarana untuk berbagi pengalaman dan berdiskusi tentang tata kelola perguruan tinggi menuju universitas berkelas dunia.
Top Executive University Gathering dilaksanakan guna menyamakan persepsi mengenai pentingnya menjadi perguruan tinggi berkelas dunia, memperkuat komitmen pimpinan perguruan tinggi yang berintegrasi dengan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), dan mewujudkan kolaborasi antar-perguruan tinggi dalam meningkatkan peringkat berkelas dunia.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim mengatakan, Top Executive University Gathering merupakan momentum yang tepat untuk mendukung dan memperkuat kolaborasi antar-perguruan tinggi dalam upaya mewujudkan universitas berkelas dunia. Nadiem optimistis dalam waktu dekat Indonesia akan memiliki universitas berkelas dunia.
”Kami mengajak perguruan tinggi agar semakin berkomitmen untuk menciptakan perguruan tinggi yang bereputasi tinggi dengan cara menghadirkan pengajaran yang berstandar internasional, lengkap dengan dosen yang memiliki kualifikasi tinggi sehingga mampu menarik mahasiswa asing dan mampu menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi yang memiliki reputasi baik di dunia,” ungkap Nadiem.
Pada kesempatan yang sama, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Nizam menyampaikan, disrupsi di dunia pendidikan kian pesat. Perguruan tinggi perlu keluar dari zona nyamannya untuk selalu berinovasi dan berkreasi, berfokus pada sarjana yang akan dihasilkan, serta berkolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan.
Kunci penting yang harus dilakukan untuk membangun perguruan tinggi adalah kepemimpinan di semua level. Pada perguruan tinggi negeri badan hukum dan perguruan tinggi swasta diberikan otonomi yang luas, kuat, dan penuh sehingga ekonomi dan akuntabilitas hadir dalam setiap tata kelola organisasi. Lalu, perlu dibangun pula rasa memiliki dari seluruh sivitas akademika karena mereka berhubungan langsung dengan hidup atau mati serta maju mundurnya perguruan tinggi.
Tidak kalah penting, lanjut Nizam, harus ada jiwa entrepreneurship di setiap level, yakni kemampuan untuk melihat peluang dan segera menangkap peluang yang ada. Selanjutnya, perguruan tinggi harus mengefisienkan sumber daya yang ada secara tepat untuk mempercepat akselerasi perubahan yang diharapkan. Terakhir, dibutuhkan pula kreativitas dan kolaborasi baik secara nasional maupun internasional.
”Selanjutnya kita perlu mentransformasi perguruan tinggi kita agar mampu ikut berubah bersama perubahan. Pengembangan kualitas dan inovasi perguruan tinggi itu merupakan proses yang tiada akhirnya,” ujar Nizam.