Siswa dan Mahasiswa Perlu Dibekali Kecakapan Sosial Emosional
Cara kekerasan yang dilakukan siswa dan mahasiswa untuk menyelesaikan masalah bisa jadi karena mencontoh arogansi di rumah dan lingkungan. Pendidikan harus membekali mereka kecakapan sosial dan emosi.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Konferensi pers kasus penganiayaan berat terhadap anak di Markas Polres Metro Jakarta Selatan, Rabu (22/2/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Kasus penganiayaan yang dilakukan tersangka Mario Dandy Satriyo (20), seorang mahasiswa anak salah seorang pejabat di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, kepada Cristalino David Ozora (17) karena masalah pribadi berdampak pula pada keberlanjutan kuliah Mario. Selain ayah Mario, Rafael Alun Trisambodo, yang diberhentikan dari jabatan, Mario juga dikeluarkan dari tempat kuliah.
Kasus kekerasan yang dilakukan siswa dan mahasiswa baik di lingkungan sekolah dan di luar sekolah perlu menjadi perhatian serius. Dunia pendidikan harus mulai membekali anak-anak dengan kecakapan sosial emosional agar dapat meregulasi diri dengan bijaksana dan memiliki kesadaran dalam perilakunya.
Kasus penganiayaan yang dilakukan Mario tidak hanya disoroti dari sisi tindak kekerasan yang menyebabkan David menderita luka parah. Kasus ini juga menjadi perhatian karena gaya hidup mewah yang ditampilkan Mario, bahkan merembet pada pekerjaan ayahnya sebagai pegawai negeri sipil di Dirjen Pajak dengan kekayaan fantastis.
Rektor Universitas Prasetiya Mulya Djisman Simandjuntak melalui siaran pers, Jumat (24/2/2023), menjelaskan, Mario merupakan salah satu mahasiswa Prasetiya Mulya. Pihaknya telah memantau semua informasi tentang tindak kekerasan yang diduga dilakukan oleh tersangka Mario.
”Kami mengecam keras tindak kekerasan yang dilakukan Mario yang kini jadi tersangka karena bertentangan dengan kemanusiaan dan melanggar kode etik dan peraturan yang tercantum dalam Buku Pedoman Mahasiswa Universitas Prasetiya Mulya. Rapat pimpinan Universitas Prasetiya Mulya memutuskan untuk mengeluarkan Mario dari Universitas Prasetiya Mulya sejak 23 Februari 2023,” jelas Djisman.
Selanjutnya, Djisman menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas kondisi luka berat yang diderita oleh korban.
Secara terpisah, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim menekankan pendidikan tidak hanya menyangkut penguasaan kompetensi dasar, tetapi juga memperkuat pendidikan karakter peserta didik. Karena itu, evaluasi pada satuan pendidikan lewat Asesmen Nasional juga memotret komitmen sekolah untuk menghadirkan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan inklusif.
Petugas membawa Shane Lukas Rotua Pangondian Lumbantoruan atau SLR, salah satu tersangka tindakan kekerasan kepada Cristalino David Ozora alias David, di Mapolres Metro Jakarta Selatan, Jumat (24/2/2023).
Pembelajaran sosial emosional
Psikolog Universitas Gadja Mada yang juga Co-Fouder Gerakan Sekolah Menyenangkan, Novi Poespita Chandra, mengatakan, anak-anak yang bermasalah, seperti anak-anak pejabat ”sumbu pendek” seperti ini, biasanya tumbuh di ekosistem yang membiasakan bahwa arogansi adalah hal yang diperbolehkan. Berdasarkan teori pembelajaran sosial atau social learning, anak-anak ini melihat dan mencontoh pemikiran, perkataan dan perilaku orangtuanya yang arogan.
Ditambah lagi, ujar Novi, menurut teori behavioristik, perilaku arogansi ini juga bisa didukung oleh lingkungannya, misalnya mendapat hak-hak istimewa atau privilese dari sekolah, atau tetangga, terutama ketika mengalami masalah atau kesulitan.
”Kondisi ini diperkuat dengan lemahnya pembelajaran emosi dan sosial yang didapat anak, baik dari rumah maupun sekolah. Jika pembelajaran emosi sosialnya baik, ketika anak melihat lingkungan yang negatif, anak-anak akan mampu membangun kesadaran diri, meregulasi emosi. Akhirnya membuat keputusan yang bijak ketika mengalami masalah,” kata Novi.
KOMPAS
Kasus Mario Dandy Satriyo, pemuda dengan mobil mewah yang terlibat penganiayaan terhadap remaja, di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, dinilai sebagai salah satu bentuk sisi negatif kaum metropolis.
Menurut Novi, pendekatan pendidikan di Indonesia saat ini masih bersifat materialistis bukan humanis. Akibatnya, lingkungan selalu memberi apresiasi kepada seseorang yang berprestasi dan berhasil dari parameter harta, kekayaan atau ketampanan/kecantikan.
Jika pembelajaran emosi sosialnya baik, ketika anak melihat lingkungan yang negatif, anak-anak akan mampu membangun kesadaran diri, meregulasi emosi.
”Karena pendekatannya bukan humanistik, maka pembelajaran emosi dan sosial secara umum absen di sekolah-sekolah Indonesia. Hal ini mengakibatkan anak-anak kita lemah dalam berpikir sehingga lemah dalam meregulasi emosi. Akibatnya menghasilkan keputusan perilaku yang instan dan cenderung tidak bijaksana saat ada konflik,” ujar Novi.
Mencegah kekerasan
Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek mencoba mengajak anak-anak sekolah untuk menjadi agen-agen perubahan yang menolak kekerasan dan perundungan di sekolah. Kemendikbudristek bekerja sama dengan Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) dan dinas pendidikan melaksanakan program pencegahan perundungan berbasis sekolah atau dikenal dengan Roots.
Kepala Puspeka Kemendikbudristek Rusprita Putri Utami menjelaskan, program Roots bertujuan untuk memberdayakan peran siswa di sekolah sebagai agen perubahan untuk menyebarluaskan pesan dan perilaku baik di lingkungan sekolah, khususnya kepada teman sebaya. ”Melalui program Roots, Kemendikbudristek terus mendorong lahirnya siswa agen perubahan. Harapannya setelah mendapatkan materi dari modul pembelajaran saat Roots, mereka akan mampu menjadi penggerak upaya-upaya pencegahan terjadinya perundungan atau kekerasan di sekolah,” kata Rusprita.
Tanggal 24 Februari merupakan peringatan International Stand Up to Bullying Day. Para siswa yang menjadi agen perubahan dan fasilitator guru diajak untuk mengirimkan konten-konten bertema pengalaman mengikuti program Roots atau pesan anti-perundungan, baik dalam bentuk foto, poster, ilustrasi, komik, dan lain-lain atau dalam bentuk video reels, seperti lagu, story telling, puisi, role play, dan animasi.
”Banyak antusiasme dari agen perubahan dan fasilitator guru yang ikut tantangan media sosial ini. Konten-konten yang dikirim bukan sekadar kreatif, tetapi yang paling penting kita semua dapat mengambil pesan-pesan yang tersirat dalam upaya untuk mencegah perundungan,” kata Rusprita.