Punahnya bahasa-bahasa daerah berakibat pada hilangnya kekayaan warisan bangsa. Pengetahuan dan nilai-nilai budaya pun akan lenyap jika bahasa pendukung budaya itu punah.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung menggelar aksi dengan membawa poster yang berarti ”Jangan Malu Berbicara Menggunakan Bahasa Sunda” saat Peringatan Hari Bahasa Ibu di tepi Jalan Diponegoro, Bandung, Jawa Barat, Selasa (21/2/2012).
JAKARTA, KOMPAS — Percepatan preservasi bahasa sangat diperlukan untuk merawat kekayaan bahasa daerah sebagai warisan budaya bangsa. Upaya ini dapat dilakukan dengan memprioritaskan revitalisasi dan dokumentasi terhadap bahasa dengan penutur yang sedikit.
Indonesia mempunyai 718 bahasa daerah dengan kondisi vitalitas (kemampuan bertahan hidup) berbeda-beda. Puluhan bahasa terancam punah karena jumlah penuturnya terus berkurang.
Guru Besar Linguistik Universitas Indonesia Multamia Lauder menuturkan, punahnya bahasa-bahasa daerah berakibat pada hilangnya kekayaan warisan bangsa. Pengetahuan dan nilai-nilai budaya pun akan lenyap jika bahasa pendukung budaya itu punah.
”Mengingat kondisi kebahasaan secara menyeluruh tidak menguntungkan, langkah percepatan preservasi dapat dilakukan tanpa menunggu hasil kajian vitalitas bahasa,” ujarnya dalam International Conference on Language and Literature Preservation di Gedung Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Jakarta, Rabu (22/2/2023).
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Guru Besar Linguistik Universitas Indonesia Multamia Lauder menjadi pembicara dalam International Conference on Language and Literature Preservation di Gedung Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Jakarta, Rabu (22/2/2023).
Mengutip pendapat David Crystal dalam buku Language Death, Multamia mengatakan, bahasa yang berpenutur sekurang-kurangnya 1.000 orang dapat dikategorikan masih memiliki daya hidup dan masih mungkin direvitalisasi. Masyarakat penutur menjadi penentu apakah bahasanya mau direvitalisasi atau cenderung pindah menggunakan bahasa dominan.
Menurut Multamia, kompleksitas situasi kebahasaan di Indonesia jika terus ditangani secara sporadis akan membuat bahasa yang terancam punah menuju sekarat atau moribund language. Selanjutnya berpotensi menuju kematian bahasa atau language death dalam berbagai gradasi.
Oleh karena itu, percepatan preservasi dapat dimulai pada bahasa daerah yang terancam punah atau sekarat. ”Dimulai dengan komunitas yang berpenutur di bawah 500 orang. Hal ini mempertimbangkan 50 persen dari syarat bahasa yang masih mungkin direvitalisasi, yaitu 1.000 orang,” ujarnya.
Upaya penelitian dan revitalisasi bahasa daerah terkendala oleh berbagai hal, salah satunya keterbatasan dukungan pendanaan. Padahal, penelitian bukan sebatas menganalisis sumber referensi, tetapi menjangkau komunitas penutur bahasa yang tersebar di berbagai tempat.
Langkah awal yang dibutuhkan adalah mencermati hasil pemetaan bahasa serta menggalakkan kajian vitalitas bahasa secara menyeluruh. Peneliti pun perlu memiliki berbagai wawasan, di antaranya ciri bahasa terancam punah, aspek daya hidup bahasa, pemakaian bahasa, dan peran bahasa.
Multamia mengingatkan pentingnya tiga keputusan Kongres Bahasa Indonesia XI terkait bahasa daerah. Tiga keputusan itu tertera dalam poin 11, 12, dan 13, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus menerbitkan ketentuan dan pedoman kegiatan mendongeng dan membacakan cerita pada anak usia dini, pemerintah harus meningkatkan dan memperluas revitalisasi tradisi lisan untuk mencegah kepunahan, serta pemerintah dan pemerintah daerah harus mengintensifkan pendokumentasian bahasa dan sastra daerah secara digital.
Kompas
Seorang murid mempelajari materi pelajaran tentang aksara Jawa di Salatiga, Jawa Tengah.
”Untuk menilai vitalitas bahasa, tidak dapat melihat dari satu faktor saja. Harus melihat keterkaitan berbagai faktor secara komprehensif mengingat komunitas bahasa itu rumit dan beragam,” ucapnya.
Pendanaan terbatas
Upaya penelitian dan revitalisasi bahasa daerah terkendala oleh berbagai hal, salah satunya keterbatasan dukungan pendanaan. Padahal, penelitian bukan sebatas menganalisis sumber referensi, tetapi menjangkau komunitas penutur bahasa yang tersebar di berbagai tempat.
”Dana dari kampus memang ada melalui kegiatan pengabdian masyarakat. Namun, hal itu tidak bisa meng-cover semua. Dari pemerintah juga punya dana hibah, tetapi tidak mudah mendapatkannya. Perlu dukungan pendanaan lainnya, seperti dari badan usaha,” ujar dosen Bahasa Indonesia Universitas Teknokrat Indonesia, Lampung, Jafar Fakhrurozi.
Siswa Pendidikan Anak Usia Dini Santa Clara, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, tengah belajar dengan alat bantu pembelajaran bahasa ibu, Kamis (9/2/2023).
Kepala Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra BRIN Katubi mengajak semua pemangku kepentingan memanfaatkan hasil penelitian tentang preservasi itu sebagai bagian dari inovasi dan solusi atas berbagai permasalahan yang berkaitan dengan bahasa dan sastra daerah, terutama di Indonesia. Hal ini akan berdaya guna di masa depan untuk menjaga keragaman budaya.
”Kami harap kegiatan ini dapat mengembangkan penelitian tentang preservasi bahasa dan sastra, terutama di Indonesia, sehingga meningkatkan jumlah publikasi ilmiah dan secara praktis menginspirasi masyarakat untuk turut serta dalam upaya pelindungan bahasa-bahasa di Indonesia dan di tingkat dunia,” ujarnya.