Perguruan tinggi bergulat dengan integritas para pendidiknya. Beban administrasi tridharma perguruan tinggi yang dinilai belum adil membuka jalan perilaku curang sejumlah dosen.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
Dunia pendidikan menjadi tempat yang dinilai ideal untuk mencontohkan integritas di kalangan pendidik dan tenaga kependidikan serta peserta didik. Namun, harapan agar dunia pendidikan tanpa cacat dalam hal integritas belum sepenuhnya terwujud. Kini, fenomena perjokian publikasi ilmiah di kalangan dosen tengah disorot.
Seorang staf kepegawaian di sebuah perguruan tinggi negeri berinisial S, Selasa (21/2/2023) siang, diliputi rasa panik. Sebab, dua dosen bergelar doktor dan berstatus aparatur sipil negara yang mengajar di perguruan tinggi swasta di DKI Jakarta memperkarakan dirinya ke tempat kerjanya dan mengadukan dirinya pada atasannya.
Dua dosen itu awalnya minta bantuan untuk mengetahui beban administrasi yang mesti dipenuhi untuk mengurus kenaikan jabatan fungsional dosen ke lektor kepala dan guru besar maupun lelang jabatan di DKI Jakarta. Sebab, di kampus mereka belum ada sistem administrasi yang baik seperti di kampus S.
Penilaian kinerja atau produktivitas dosen di Indonesia mengacu pada tridharma perguruan tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Untuk penelitian dengan luaran publikasi ilmiah masih jadi salah satu beban berat dosen.
Padahal, publikasi ilmiah menjadi penilaian penting untuk kenaikan jabatan fungsional, mendapat insentif, hingga pembayaran tunjangan sertifikasi dosen, dan tunjangan kehormatan guru besar.
S yang paham seluk-beluk urusan administrasi pengisian beban kerja dosen (BKD) dan penghitungan penilaian angka kredit (PAK) dikenal mahasiswa hingga dosen. Dia dikenal bisa menjadi perantara untuk berhubungan dengan joki pembuat karya ilmiah mulai dari skripsi, tesis, disertasi, hingga jurnal ilmiah.
Dari konsultasi tanpa tarif, S membuatkan strategi pemenuhan beban administrasi. Dosen berinisial E yang mengurus jabatan fungsional ke lektor kepala membutuhkan tujuh modul kuliah, empat makalah untuk jurnal Scopus Q3dan jurnal SINTA 1, serta satu monograf (risalah). Biaya yang disepakati Rp 23 juta karena E tidak mempunyai bahan sama sekali alias murni dibuatkan oleh tiga joki.
Adapun dosen H memiliki skripsi mahasiswa S-1 untuk dibuatkan menjadi dua tulisan yang bisa tembus jurnal SINTA 2 dan jurnal terindeks Copernicus. Meski ada bahan, daftar pustakanya masih harus ditambah. Harga yang disepakati berkisar Rp 5,6 juta.
”Saya tidak aktif menawarkan diri, tapi ada saja dosen datang untuk mengetahui strategi naik jabatan. Saya bisa menghitung nilai angka kredit kurang dan cara memenuhinya. Bayarannya tanpa tarif. Jika ada dosen minta dibantu pembuatan jurnal atau buku, saya hubungkan dengan kenalan yang biasa jadi joki publikasi ilmiah,” ujar S.
Selama ini, menurut penuturan S, urusannya selalu lancar. Terkait dua dosen terbaru yang ditanganinya, ternyata tak sesuai kesepakatan awal bisa selesai satu bulan sejak Agustus 2022.
Teman S molor menyelesaikan pesanan kedua dosen itu hingga enam bulan. Padahal, sudah ada publikasi dikirim ke jurnal sesuai permintaan kedua dosen tersebut, tetapi belum di-review dan belum ada letter of acceptance (LOA).
”Pekerjaan saya murni urusan pribadi, sampingan saya. Tidak ada kaitan dengan institusi. Tetapi dua dosen tersebut datang ke kantor dan mengadu ke atasan sehingga saya terancam dipecat. Mereka menuntut pengembalian uang, padahal teman sudah mengerjakan sesuai permintaan, memang waktunya molor,” ujarnya.
Menurut S, setelah keributan yang terjadi di kantornya, dirinya bersama temannya yang joki berencana bertemu dengan kedua dosen tersebut. Mereka akan mencari jalan aman agar jangan sampai membuat kasus perjokian publikasi ilmiah oleh dosen ini terungkap ke publik.
”Kedua dosen itu mendesak saya untuk mengembalikan uang. Padahal sudah dibayarkan ke jokinya. Namun, joki tetap tidak mau mengembalikan uang karena merasa sudah menyelesaikan tugasnya,” ujar S.
Mencatut nama
Di lain kasus, ada mahasiswa S-3 Indonesia yang berkuliah di Inggris berinisial R mengaku dihubungi seorang dosen perguruan tinggi swasta (PTS) di Indonesia sekitar dua bulan lalu. Dosen tersebut sedang mengajukan kenaikan jabatan fungsional sebagai guru besar/profesor.
”Dosen bersangkutan menghubungi karena mau meminta nama saya ikut dicantumkan di jurnal yang dia tulis. Dari keterangan dosen tersebut jika ada afiliasi dengan penulis dan kampus luar negeri, bobot angkanya beda,” ungkapnya.
”Saya cek draf jurnal yang dia kirim, tulisannya berantakan. Saya pun tidak yakin dia sendiri yang menulis. Dia minta izin mencantumkan nama dan alamat e-mail kampus saya. Tapi saya tidak mau karena merasa tidak ikut menulis atau tidak berkontribusi dalam proses penyusunan draf jurnal tersebut,” ujar R.
R terus dibujuk. Sang dosen meyakinkan jurnalnya empiris, isinya hasil riset di sekolah Bogor. R dipersilakan berkontribusi dengan membaca dan mengedit selama dua hari karena mengejar tenggat waktu pengiriman.
”Bagi saya cara ini tidak fair. Saya disodori drafyang sudah jadi. Dia hanya perlu nama saya dan kampus saya yang di luar negeri,” kata R.
Evaluasi penilaian
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nizam mengatakan, pemerintah akan mengevaluasi penilaian produktivitas dosen yang seragam.
Penilaian itu terutama pada riset mempertimbangkan diferensiasi tridharma dosen sesuai misi perguruan tinggi serta kapasitas dan minat dosen.
Untuk itu, pemerintah melakukan sejumlah langkah mitigasi perjokian publikasi dan usulan guru besar. Kode etik dosen dalam publikasi karya ilmiah diperbarui melalui Permendikbud Nomor 39 Tahun 2021, standardisasi dan penyegaran reviewer, penilaian secara daring.
”Dengan demikian, rekam jejak proses penilaian terpantau, cek tidak melakukan plagiasi, hingga cek berganda untuk memastikan karya sendiri kalau ada keraguan. Juga pemberian sanksi bagi yang melanggar integritas publikasi ilmiah,” kata Nizam.
Kasus kecurangan ilmiah di perguruan tinggi tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di sejumlah negara, termasuk Denmark. Ada kampanye #pleasedontstealmywork atau ”jangan curi pekerjaan saya”.
Rekam jejak proses penilaian terpantau, cek tidak melakukan plagiasi, hingga cek berganda untuk memastikan karya sendiri kalau ada keraguan. Juga pemberian sanksi bagi yang melanggar integritas publikasi ilmiah.
Kampanye tersebut dilakukan Maria Toft, kandidat doktor di Universitas Kopenhagen pada pertengahan 2022 seperti ditulis di laman timeshighereducation.com. Kampanye ini menimbulkan perdebatan pro dan kontra di tingkat nasional Denmark.
Ada temuan tentang plagiarisme oleh pengawas doktor dan permintaan kepenulisan yang tidak adil. Asosiasi Doktor Nasional di Denmark menyoroti kesepakatan mentah yang dihadapi para peneliti muda. Mencuatnya kasus ini juga mendapat tekanan dari peneliti senior karena adanya tekanan tentang penerbitan publikasi.
Sejumlah ilmuwan terkemuka Denmark mendukung kampaye itu dan menuntut pengaturan ulang yang radikal pada manajemen penelitian Denmark.
Lebih dari 2.000 akademisi menandatangani petisi yang menyerukan komisi nasional untuk ”membebaskan penelitian” dengan mereformasi tata kelola yang hiperhirarkis dan struktur pendanaan yang dianggap mendorong pencurian penelitian.
”Orang-orang takut menceritakan kisah mereka karena tahu ada konsekuensinya. Tidak ada orang lain yang berani berbicara di depan umum,” kata Maria yang memulai kampanyenya ketika menghadapi tekanan untuk menyerahkan kepengarangan pertama kepada peneliti lebih senior di sebuah makalah yang dia tulis.