Penanganan tengkes (”stunting”) yang dilakukan secara gotong royong menunjukkan hasil positif. Angka prevalensi tengkes di Indonesia turun menjadi 21,6 persen pada 2022.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi nilai Pancasila, yaitu gotong royong, dinilai mendorong penurunan angka tengkes dari 24,4 persen pada 2021 menjadi 21,6 persen pada 2022. Pelibatan pemangku kepentingan lintas sektor akan dilanjutkan agar target menurunkan angka tengkes menjadi 14 persen pada 2024 tercapai.
”Jika (penanganan tengkes) dikeroyok dengan gotong royong banyak pihak begini, saya optimistis (target penurunan tengkes tercapai). Kalau sendirian, ya, tidak (optimistis),” kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo di Jakarta, Kamis (16/2/2023), pada pertemuan bertajuk ”Pancasila dalam Tindakan: Gerakan Semesta Berencana Mencegah Stunting”.
Gerakan semesta tersebut fokus pada tiga hal. Selain penanganan tengkes (stunting), gerakan juga untuk mencegah kekerasan seksual ke anak dan perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, serta bencana.
Gerakan ini hasil kerja sama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dengan sejumlah kementerian/lembaga, antara lain BKKBN, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Kerja sama lintas sektor untuk tengkes diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Setiap kementerian/lembaga memiliki peran masing-masing untuk menangani tengkes. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, misalnya, menyediakan fasilitas sanitasi dan air bersih ke warga. Kementerian Sosial memberi bantuan pangan, sementara Kementerian Kesehatan menyediakan alat ultrasonografi (USG) dan antropometri di puskesmas.
Adapun tengkes adalah kondisi gagal tumbuh kembang pada anak karena kurang gizi. Tengkes dapat mengganggu perkembangan otak, fisik, dan metabolisme tubuh anak. Dalam jangka panjang, tengkes menurunkan kemampuan kognitif dan kekebalan tubuh. Saat dewasa, anak berisiko terhadap berbagai penyakit, seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular, hingga disabilitas.
Walau demikian, tengkes bukan sekadar isu kesehatan. Tengkes juga menyangkut masalah sosial, ekonomi, hingga pendidikan di masyarakat.
Latar belakang pendidikan, misalnya, berkaitan dengan pengetahuan akan gizi ibu saat hamil serta gizi anak. Latar ekonomi memengaruhi daya beli masyarakat untuk membeli makanan bergizi. Tingkat ekonomi rendah juga kerap berkaitan dengan akses terhadap fasilitas sanitasi dan air bersih. Minimnya akses kebersihan adalah salah satu faktor risiko tengkes.
Sementara itu, masalah sosial, antara lain, berkaitan dengan pernikahan dini. Hasto mengatakan, orang yang menikah dan memiliki anak di usia remaja berisiko melahirkan anak dengan tengkes. Di sisi lain, perempuan yang hamil di usia dini juga berisiko terhadap masalah kesehatan.
Menurut Ketua Dewan Pengarah BPIP Megawati Soekarnoputri, gotong royong dibutuhkan untuk menangani tengkes. Jika tidak diatasi, hal ini dapat membebani negara. Tengkes juga memengaruhi produktivitas anak saat dewasa.
Orang dewasa yang mengalami tengkes akan memiliki pendapatan 22 persen lebih rendah dibanding yang tidak mengalami tengkes. Tengkes juga berkontribusi ke kerugian produk domestik bruto (PDB) di Indonesia hingga 3 persen (Kompas, 21/6/2021).
Tengkes bukan sekadar isu kesehatan. Tengkes juga menyangkut masalah sosial, ekonomi, hingga pendidikan di masyarakat.
Untuk mencegah tengkes, Hasto mendorong agar calon pengantin melakukan pemeriksaan prekonsepsi sebelum menikah. Ini untuk mengetahui kondisi kesehatan calon pengantin jika kelak memiliki anak.
Edukasi kesehatan dan pangan bergizi juga digencarkan. Hasto mengatakan, konsumsi protein hewani dapat mencegah tengkes. Ia juga meminta orangtua mengalihkan uang belanja rokok untuk belanja makanan bergizi. ”Telur atau ikan yang murah saja. Tidak perlu beli yang mahal-mahal,” katanya.
Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu mengatakan, kotanya mengedukasi warga untuk membuat makanan yang murah, mudah, dan sehat dengan makanan lokal. Daun kelor, misalnya, dapat diolah menjadi bobor kelor.
”Minggu depan kami meluncurkan Rumah Pelita atau Rumah Penanganan Stunting Lintas Sektor bagi Baduta. Ini semacam rumah penitipan atau day care,” ucapnya.
Rumah Pelita menyasar anak-anak yang mengalami tengkes. Anak-anak akan diberi makanan tiga kali sehari, kudapan, susu, dan edukasi. Anak juga akan menerima kunjungan dokter dan ahli gizi secara rutin. Selain itu, psikologis dan kecerdasan anak juga akan dipantau oleh ahli kesehatan dan psikolog.