Bercinta di Luar Angkasa
Manusia tidak pernah berevolusi di luar angkasa. Karena itu, seks di luar angkasa bisa menjadi tindakan yang berisiko. Namun, seks masih tabu untuk dibicarakan lembaga dan komunitas antariksa.
Luar angkasa adalah masa depan manusia. Seiring mulai ditawarkannya wisata luar angkasa, rencana mengolonisasi Bulan, hingga rancangan perjalanan panjang menuju Mars, luar angkasa akan menjadi ”tanah harapan” baru bagi manusia. Namun, karena manusia tidak pernah berevolusi di luar angkasa, kehidupan baru itu akan sangat menantang, termasuk dalam urusan seksual.
Manusia akan kembali ke Bulan pada 2025. Bukan sekadar singgah, melainkan akan mulai mengolonisasi Bulan dengan membangun stasiun riset secara bertahap yang kelak akan menjadi tempat transit menuju Planet Mars. Menurut rencana, perjalanan ke ”planet merah” itu akan mulai dilakukan tahun 2030-an dan setidaknya butuh 36 bulan agar misi ke planet tetangga Bumi itu efektif.
Tak hanya itu, luar angkasa di sekitar Bumi pun yang selama ini sepi diperkirakan akan menjadi tempat yang ramai setidaknya dalam satu dekade mendatang. Sejumlah perusahaan rintisan liburan ke luar angkasa telah menjaring banyak calon turis antariksa, baik sekadar menikmati terbang di luar angkasa selama beberapa menit maupun tinggal beberapa hari di Stasiun Ruang Angkasa Internasional (ISS).
Seks di ruang gravitasi mendekati nol sulit dilakukan karena tidak ada gaya tarik menarik di antara mereka yang melakukannya.
Bahkan, jika ide pembangunan koloni luar angkasa yang digagas fisikawan Universitas Princetown, Amerika Serikat, Gerard K O’neill, tahun 1976 dan digaungkan kembali pendiri perusahaan antariksa Blue Origin dan CEO Amazon Jeff Bezos pada 2019 terwujud, akan lebih banyak manusia hidup di luar angkasa. Namun, koloni berbentuk silinder atau bola yang meniru kehidupan Bumi dan mengambang di luar angkasa itu kemungkinan baru terwujud pada abad-abad mendatang.
Memindahkan manusia, baik itu ke Bulan, Mars, maupun ke wahana yang melanglang di luar angkasa, memang bisa menghindarkan manusia dari berbagai bencana yang mengancam keberlangsungan Bumi. Namun, berada di luar angkasa saja sudah menempatkan manusia dalam risiko hidup yang mengancam nyawa mereka. Di luar angkasa, tubuh manusia bereaksi dan berproses secara berbeda dibandingkan saat manusia ada di Bumi.
Manusia memang sudah lebih 50 tahun menjelajah luar angkasa, termasuk mendarat di Bulan. Namun, salah satu persoalan dasar manusia yaitu seks, belum pernah dibicarakan secara terbuka oleh komunitas luar angkasa dunia. Secara resmi, seks di luar angkasa pun belum pernah diuji oleh antariksawan, baik astronot, kosmonot, atau taikonot. Akibatnya, cara, risiko, dan upaya mencegah kehamilan selama di luar angkasa belum diketahui pasti.
Desas-desus dan fantasi tentang hubungan seks di ruang dengan gravitasi mikro yang membuat tubuh melayang-layang muncul sejak Uni Soviet mengirimkan misi ke luar angkasa dengan awak campuran laki-laki dan perempuan pada 1982 dan AS mengirim pasangan suami-istri antariksawan pada 1992. Namun, hingga kini, semua otoritas penerbangan luar angkasa membantahnya.
Selama bertugas di luar angkasa, jadwal antariksawan telah diatur ketat. Banyak misi harus mereka jalankan dalam waktu singkat. Belum lagi mereka harus menjaga kebugaran fisik selama beberapa jam per hari karena kekuatan otot dan kepadatan tulang berkurang saat di luar angkasa. Mereka juga harus tidur cukup waktu demi menjaga kestabilan mentalnya ditengah ketidakjelasan waktu siang dan malam.
Baca juga: Jejak Cakrawala Stasiun Luar Angkasa Internasional
”Kami tidak memilikinya (hubungan seks di luar angkasa) dan tidak menginginkannya,” kata Alan Poindexter, antariksawan AS yang telah menghabiskan lebih 27 hari di luar angkasa seperti dikutip Space, 29 Juni 2010. Bagi Poindexter, yang meninggal pada 2012, antariksawan hanya ingin bekerja secara profesional dan memperlakukan semua awak penerbangan dengan hormat.
Hal serupa disampaikan antariksawan AS lainnya, Leroy Chiao, yang telah menghabiskan 229 hari di luar angkasa kepada Space, 23 April 2011. Menurut Chiao, jika ada antariksawan yang melakukan hubungan seks di luar angkasa, pasti antariksawan lainnya akan mengetahui. Terlebih, mereka bisa saja menjadi manusia pertama yang melakukan seks di luar angkasa.
”Laki-laki tetaplah laki-laki. Jika seorang antariksawan telah melakukan hubungan seksual di luar angkasa, tentu dia tidak akan tahan untuk tidak menyombongkannya,” katanya. Sejauh ini, sepertinya, antariksawan masih bisa menjaga ”kesuciannya” selama berada di luar angkasa.
Tidak aman
Meski tidak ada bukti yang menunjukkan sudah ada manusia yang berhubungan seks di luar angkasa, banyak ahli memandang seks di luar angkasa berisiko. Seks tetap mungkin dilakukan, tetapi perlu mewaspadai munculnya hal-hal yang tidak terduga seperti jika seks dilakukan di Bumi, termasuk mencegah terjadinya kehamilan.
Masalah mendasar seks di luar angkasa bertumpu pada persoalan gravitasi mikro. Ahli biologi di Sekolah Kedokteran Universitas Massachusetts, Athena Andreadis, seperti ditulis Space, 19 April 2013, menyebut seks di ruang gravitasi mendekati nol sulit dilakukan karena tidak ada gaya tarik menarik di antara mereka yang melakukannya. ”Seolah-olah Anda akan menabrak dinding terus-menerus. Tidak ada gesekan, tidak ada perlawanan,” katanya.
Kondisi itu merupakan konsekuensi dari hukum Newton ketiga di ruang gravitasi mikro, yaitu besaran aksi sama dengan reaksi yang ditimbulkan. Secara lebih sederhana, kondisi itu digambarkan oleh fisikawan di Universitas Anderson, Indiana, AS, John Milli,s seperti dikutip The New York Post, 7 Desember 2018, seperti orang yang sedang terjun payung. Saat dua orang yang sedang terjun bebas saling mendekat, mereka akan saling tertolak.
Baca juga: Kisah Besar Gagarin dan Memudarnya Kejayaan Eksplorasi Luar Angkasa Rusia
Konsekuensinya, sulit bagi dua orang yang ingin melakukan hubungan seksual di luar angkasa untuk bersentuhan, apalagi berpelukan. Setiap dorongan kecil yang dilakukan seseorang terhadap orang lain akan menggerakkan orang tersebut ke arah yang berlawanan. Kondisi itu dipastikan membuat penyatuan insani sulit dilakukan. Meski demikian, kantong tidur yang digunakan bersama mungkin bisa mengatasi masalah ini.
Di stasiun ruang angkasa, antariksawan pun tidur dengan kantung tidur sembari diikat, mirip ketika tidur di dalam pesawat terbang dengan selimut dan sabuk pengaman yang dikaitkan di luar selimut. Seperti ditulis Kompas, 16 Agustus 2015, antariksawan disarankan tidur telentang dengan posisi kepala lebih rendah 6-7 derajat agar cairan tubuh tetap terdistribusi merata.
Namun, masalah tak berhenti di situ. Studi Millis yang didanai NASA menunjukkan saat berada di ruang gravitasi mikro, darah akan naik atau terkumpul di bagian kepala, bukan di alat kelamin. Akibatnya, orang yang berada di ruang gravitasi mikro menjadi lebih sulit terangsang. Kabar baiknya, penurunan libido itu kemungkinan hanya terjadi pada tahap awal setelah peluncuran sebelum tubuh antariksawan beradaptasi dengan gravitasi mikro.
Menurunnya dorongan seksual itu juga dipengaruhi oleh berubahnya perilaku hormon. Gravitasi mikro membuat kadar hormon testosteron dan estrogen menurun. Penurunan kedua jenis hormon itu turut menurunkan dorongan seksual antariksawan saat berada di luar angkasa.
Lihat juga: Setelah 50 Tahun, NASA Akan Kirimkan Kembali Astronot ke Bulan
Berubahnya jam biologis tubuh antariksawan juga memengaruhi rendahnya dorongan seksual. Di stasiun ruang angkasa, antariksawan hanya butuh 90 menit untuk satu kali mengelilingi Bumi sehingga batas waktu siang dan malam menjadi rancu. ”Berubahnya irama sirkadian tubuh akan mengubah segalanya, termasuk hormon seks dan libido mereka,” kata mantan penasihat medis senior NASA, Saralyn Mark, kepada DW, 22 September 2021.
Rendahnya dorongan seksual itu diakui astronom Jerman, Ulrich Walter, dalam bukunya, Höllenritt durch Raum und Zeit, 2019, yang merasakan tinggal di luar angkasa selama sepuluh hari. Bahkan, dia mengaku tidak memiliki libido selama tinggal dalam waktu singkat di luar angkasa. Namun, libido umumnya akan muncul kembali setelah tinggal beberapa minggu di lingkungan gravitasi mikro.
Gravitasi mikro juga membuat tekanan darah di bagian pinggang ke bawah ikut turun. Akibatnya, jaringan pada alat kelamin pria mengerut hingga ukuran alat vital laki-laki pun mengecil. Kondisi itu berpengaruh besar terhadap kepercayaan diri antariksawan.
Namun, bukan hanya penis yang menyusut di luar angkasa. ”Semakin lama seseorang tinggal di luar angkasa, jantungnya pun ikut menyusut,” kata Millis. Akibatnya, jumlah darah di tubuh bagian bawah yang ditarik saat ereksi juga makin sedikit.
Meski demikian, penyusutan penis itu dianggap masih bersifat spekulasi. Menurut Mark, gaya gravitasi mikro tidak memengaruhi jalur peredaran darah yang memicu ereksi. Hal sama diungkapkan ahli bioetika senior di NASA, Paul Root Wolpe, yang menyatakan tidak ada alasan biologis yang membuat seseorang antariksawan tidak bisa ereksi di luar angkasa.
Baca juga: Antara Logika, Iman, dan Hasrat (Seksual) Terlarang
Selain itu, hubungan seksual di ruang gravitasi mikro juga akan membuat semua cairan, mulai dari keringat, cairan vagina, hingga air mani, akan terkumpul di sekitar tempat keluarnya cairan tersebut dan mengambang hingga mengurangi kenyamanan. ”Saat dua tubuh saling menekan dan berkeringat akan membuat tubuh terasa makin panas,” katanya.
Di ruang gravitasi mikro, keringat dan air mata tidak akan mengalir di tubuh seperti saat ada di Bumi, tetapi menggenang di tubuh didekat tempat dia dikeluarkan. Namun, dengan gerakan yang kuat, cairan itu bisa dilepaskan dari permukaan tubuh. Meski demikian, kondisi ini tentu mengganggu dan lagi-lagi mengurangi kenyamanan dalam berhubungan seksual. Keberadaan cairan yang mengambang di wahana itu tentu juga bisa memengaruhi keamanan dan keselamatan penerbangan.
Dengan banyaknya tantangan untuk bercinta di luar angkasa, ahli masih yakin bahwa manusia tetap bisa terangsang dan merasakan klimaks saat berhubungan seksual di luar angkasa.
Teknisi NASA, Harry Stine, dalam bukunya, Living in Space, 2014, mengklaim bahwa NASA telah menyimulasikan hubungan seks di luar angkasa dengan bantuan ”orang ketiga”. Fungsi orang ketiga ini adalah untuk menahan salah satu dari pasangan yang sedang berhubungan seksual itu agar dia tetap berada di tempatnya.
Kehadiran orang ketiga untuk menahan pasangan yang sedang bercinta itu, menurut Walter, meniru dari perilaku lumba-lumba saat kawin. Kehadiran lumba-lumba ketiga itu bukan hanya untuk menopang lumba-lumba yang sedang kawin agar tidak hanyut terbawa arus, melainkan juga menjaga lumba-lumba dari gangguan lumba-lumba lain.
Alternatif lain ditemukan adalah dengan pakaian khusus yang disebut ”2suit” ciptaan penulis fiksi ilmiah Vanna Bonta pada 2006. Pakaian yang dirancang untuk memfasilitasi hubungan seksual di ruang gravitasi mikro itu memiliki bukaan besar di sekitar selangkangan dan dilapisi dengan perekat yang memungkinkan dua penggunanya untuk saling menempel dan melakukan hubungan seksual.
Tabu
Belum adanya badan antariksa yang mengakui pernah melakukan eksperimen seks di luar angkasa membuat banyak kalangan mendesak agar lembaga-lembaga tersebut mau lebih terbuka membicarakan tentang seks di luar angkasa. Bukan hanya menjawab penasaran publik tentang apa yang sebenarnya terjadi, melainkan untuk meningkatkan kesejahteraan antariksawan saat perjalanan panjang di luar angkasa dilakukan.
Simon Dubé dan rekan dari Universitas Concordia, Kanada, di EarthSky, 17 September 2021, menulis seks bukan soal reproduksi semata. Seks menjadi urusan yang memengaruhi dinamika psikologi, emosional, dan relasi yang kompleks. Cinta dan seks dikejar demi mendapat kesenangan dan kebahagiaan. Karena itu, eksplorasi luar angkasa juga harus secara jujur menjawab kebutuhan intim manusia.
Berpantang seks, dianggap Dubé dan rekan, bukanlah pilihan yang layak. Karena itu, memfasilitasi antariksawan untuk melakukan seks atau sekadar bermasturbasi bisa membantu mereka lebih santai, tidur nyenyak, hingga mengurangi rasa sakit. Kesejahteraan jiwa antariksawan itu bisa membantu manusia beradaptasi dan membangun hubungan romantis selama penjelahan di luar angkasa nantinya.
Menembus ketabuan membicarakan seksualitas di lembaga antariksa itu juga untuk memberi kepastian seiring akan makin banyaknya turis luar angkasa dalam satu dekade mendatang. Mereka tentu tidak bisa diatur selayaknya antariksawan yang menjalankan misi dengan ketat. Belum lagi, sudah ada perusahaan turis luar angkasa yang menawarkan paket bulan madu ke luar angkasa.
”Penting bagi komunitas luar angkasa untuk membicarakan seks dan proses reproduksi di luar Bumi. Kita perlu tahu persis apa yang kita hadapi (seks di luar angkasa) karena konsekuensinya tidak hanya memengaruhi manusia saat ini, tetapi juga manusia yang akan datang,” kata penulis buku Sex in Space, 2006, Laura Woodmansee.