Lembaga Sensor Film mengupayakan agar masyarakat melakukan sensor mandiri, yakni memilih tontonan sesuai klasifikasi usia. Gerakan ini diperluas hingga ke desa.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
Antusias warga menyaksikan film yang diputar dalam festival layar tancap di Babakan, Kecamatan Setu, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (18/1/2023) malam.
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Sensor Film memperluas gerakan sensor mandiri ke lima desa di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Bali. Gerakan ini mendorong pemahaman penduduk desa untuk melakukan sensor mandiri sebelum mengonsumsi tayangan apa pun, salah satunya memilih tontonan sesuai klasifikasi usia.
Gerakan tersebut dilakukan dengan membentuk Desa Sensor Mandiri (DSM). Ada lima DSM yang menjadi proyek percontohan LSM. Tiga desa di antaranya Desa Tigaherang, Kabupaten Ciamis, Jabar; Desa Manguharjo, Kecamatan Madiun, Jatim; dan Desa Tigaherang, Ciamis, Jabar. Dua DSM lain, yakni Desa Klungkung di Bali dan Desa Gekangang di Jatim, baru diinisiasi pada 2022.
”Harapannya (pembentukan DSM) dilakukan juga tahun ini di desa di Karanganyar (Jateng) dan Kotagede, Yogyakarta,” ujar Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Rommy Fibri Hardiyanto pada pemaparan Laporan Tahunan LSF 2022 di Jakarta, Selasa (14/2/2023).
KOMPAS/PRIYOMBODO
Keramaian di tengah lapangan yang memutar 21 film layar tancap secara bersamaan dalam festival layar tancap di Babakan, Kecamatan Setu, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (18/1/2023) malam.
Lembaga Sensor Film bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk membentuk DSM. Sekretaris Ketua Komisi III LSF Mukayat Al Amin mengatakan, program ini mencakup literasi perfilman dan pelatihan untuk melakukan sensor mandiri.
Sensor mandiri dimaknai sebagai kesadaran publik untuk memilih tontonan sesuai klasifikasi usia. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film, ada empat klasifikasi usia penonton, yaitu semua umur (SU), 13+ (di atas 13 tahun), 17+ (dewasa di atas 17 tahun), dan 21+ (dewasa di atas 21 tahun).
”Ada pelatihan membuat konten positif untuk daerahnya. Setiap desa mempunyai potensi besar ketika (kearifan lokalnya) dieksplorasi dalam bentuk film,” kata Sekretaris Ketua Komisi III LSF Mukayat Al Amin.
Sosialisasi sensor mandiri dinilai penting karena kesadaran publik untuk menonton tayangan sesuai klasifikasi usia masih rendah. Hal ini sesuai dengan kajian LSF terhadap ratusan pelajar di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi pada 2022. Hasilnya, hanya 46 persen pelajar dan anak-anak yang memerhatikan klasifikasi usia saat mengonsumsi tayangan di bioskop, televisi, dan media lain, seperti platform streaming dan media sosial.
Ada pelatihan membuat konten positif untuk daerahnya. Setiap desa mempunyai potensi besar ketika (kearifan lokalnya) dieksplorasi dalam bentuk film.
”Sisanya menonton secara bebas. Tayangan yang bukan untuk mereka tetap diakses,” kata Ketua Komisi III LSF Naswardi.
Kajian tersebut juga menemukan bahwa 77 persen pelajar dan anak-anak mengakses tontonan dari ruang privat seperti kamar tidur. Sebanyak 76,1 persen dari mereka mengakses tontonan melalui media sosial dan jaringan berbasis internet lain.
SI
Anak-anak menonton film Cinema no Morro atau proyek bioskop di atas bukit di pusat budaya favela Vila Cruzeiro, Rio de Janeiro, Brasil, Senin (13/9/2021) waktu setempat. Mereka antusias menyaksikan film yang diputar di bioskop dadakan itu.
Maka dari itu, pengawasan orangtua menjadi penting untuk memastikan anak mengonsumsi tayangan yang tepat. Adapun LSF belum mempunyai wewenang untuk mengatur konten di media baru seperti platform over the top (OTT).
Untuk sementara, LSF memantau tayangan-tayangan yang beredar di berbagai media dan mengajak perusahaan media terkait untuk berdiskusi. Namun, tidak semua perusahaan berkantor di Indonesia, sementara kewenangan LSF terbatas pada pihak yang berada di Indonesia.
Menurut Direktur Perfilman, Musik, dan Media Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Ahmad Mahendra, literasi perfilman mencakup dorongan agar guru dan orangtua mendampingi anak saat menonton. Ia juga mendorong agar publik membuat resensi materi tontonan untuk membantu calon penonton memilih tontonan.