Penanganan tuberkulosis tidak cukup hanya berfokus pada layanan kesehatan. Penanggulangan juga perlu berbasis pada hak asasi manusia dan kesetaraan jender. Dengan begitu, stigma dan diskriminasi bisa diatasi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Hasil rontgen salah seorang warga dalam kegiatan Active Case Finding TBC di kantor Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, Banten, Kamis (5/1/2023). Kegiatan penapisan tersebut merupakan upaya percepatan penemuan kasus TBC di masyarakat secara dini mengingat penyakit TBC adalah penyakit menular.
JAKARTA, KOMPAS — Upaya penanggulangan tuberkulosis di Indonesia belum berbasis pada pemenuhan hak asasi manusia serta berperspektif jender. Hal tersebut memperburuk stigma dan diskriminasi pada pasien. Akibatnya, penemuan kasus serta pengobatan semakin sulit dilakukan.
Manajer Kemitraan dan Pengembangan Stop TB Partnership Indonesia Thea Hutanamon mengatakan, berbagai tantangan yang menghambat akses pada layanan kesehatan dan perawatan merupakan aspek penting yang harus diatasi untuk mengakhiri tuberkulosis (TBC) di masyarakat. Tantangan tersebut meliputi, antara lain, stigma, diskriminasi, ketimpangan, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
”Kondisi yang terjadi saat ini, pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang TBC dan hak dari pasien belum tersampaikan dengan baik. Itu membuat penanganan TBC tidak berperspektif pada HAM dan jender,” katanya dalam acara media roundtable bertajuk ”TBC: Tulus Berbagi Cinta” yang diadakan oleh Stop Tuberkulosis Partnership Indonesia di Jakarta, Selasa (14/2/2023).
Kondisi yang terjadi saat ini, pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang TBC dan hak dari pasien belum tersampaikan dengan baik. Itu membuat penanganan TBC pun tidak berperspektif pada HAM dan jender.
Pengidap TBC rentan mengalami stigma, baik dari diri sendiri, keluarga, lingkungan, maupun dari tenaga kesehatan. Akibatnya, pasien tidak bisa mendapat haknya, seperti diskriminasi dalam layanan kesehatan, keterbatasan pengobatan, dan keterbatasan dalam akses bantuan hukum. Bahkan, pasien rentan mengalami diskriminasi di tempat kerja dengan pemberhentian sepihak dari perusahaan pasien bekerja.
Padahal, Thea menuturkan, Deklarasi Politik PBB 2018 pada paragraf 14 menegaskan bahwa semua orang yang terkena dampak TBC memerlukan pencegahan, diagnosis, pengobatan, pengelolaan efek samping, dan perawatan yang berpusat pada masyarakat yang terintegrasi.
Orang yang terdampak TBC juga memerlukan dukungan psikososial, nutrisi, dan sosial ekonomi agar pengobatannya berhasil, termasuk untuk mengurangi stigma dan diskriminasi.
”Dalam mengatasi persoalan pada isu HAM dan jender ini membutuhkan peran pemerintah sebagai aktor utama. Karena itu, pedoman nasional tentang layanan TBC berbasis HAM dan berperspektif jender diperlukan. Sistem pelayanan perlu dibentuk tidak hanya untuk memitigasi penyakit, tetapi juga hak pasien,” ujarnya.
Stigma
Direktur Perhimpunan Organisasi Pasien TBC Indonesia Budi Hermawan menyampaikan, stigma dan diskriminasi merupakan permasalahan kedua yang dihadapi pasien setelah penyakit TBC itu sendiri. Permasalahan tersebut yang justru sulit diselesaikan dan memengaruhi keberhasilan pengobatan.
Dari pengaduan yang diterima melalui kanal laportbc.id selama tahun 2022 tercatat 45 persen pengaduan terkait dengan stigma dan diskriminasi. Stigma dan diskriminasi yang dihadapi paling banyak ditemukan di tempat kerja dan keluarga.
Banyak pasien TBC yang dianggap tak produktif di tempat kerja karena harus rutin menjalani pengobatan. Pasien pun kerap mendapat stigma di keluarga yang berujung pada permintaan cerai dari pasangan.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Petugas medis melakukan tes mantoux kepada warga dalam kegiatan Active Case Finding TBC di kantor Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, Banten, Kamis (5/1/2023). Tes mantoux adalah tes yang dilakukan guna memeriksa ada tidaknya bakteri penyakit TBC pada tubuh seseorang.
”Stigma dan diskriminasi bisa terjadi dari orang terdekat. Hal ini seharusnya tidak terjadi karena orang dengan TBC sedang berjuang tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga lingkungannya. Jika pengobatannya tuntas, ia bisa sembuh secara total. Jadi, orang dengan TBC harus didukung,” tutur Budi.
Menurut dia, stigma dan diskriminasi bisa terjadi karena pengetahuan yang minim di masyarakat. Selain itu, stigma juga bisa muncul akibat orang dengan TBC itu sendiri.
Perilaku yang tidak menjaga etika batuk dengan baik serta tidak menggunakan masker membuat orang lain menjauhi orang tersebut. Hal itu yang kemudian membuat timbulkan diskriminasi di masyarakat sekitar.
Budi menambahkan, stigma dan diskriminasi pada orang dengan TBC membuat pasien enggan melanjutkan terapi. Pengobatan pada pasien TBC panjang, yakni 6-8 bulan, bahkan pada pasien TBC resisten obat bisa sampai 24 bulan. Stigma itu juga bisa membuat orang tak mau memeriksakan diri sehingga penanganan jadi terlambat.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi menuturkan, sejumlah intervensi kunci telah ditetapkan dalam upaya pemenuhan hak asasi manusia dan kesetaraan jender pada penanggulangan TBC di Indonesia.
Intervensi itu meliputi, perbaikan mekanisme pemberian umpan balik masyarakat terhadap keluatan layanan tuberkulosis, penjaminan respons umpan balik dari masyarakat, serta pengurangan stigma dan diskriminasi pada populasi risiko tinggi tuberkulosis dan populasi rentan.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon bersiap mengambil sampel darah warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Cirebon untuk pemeriksaan tuberkulosis dan HIV di Auditorium Adang Hamara Lapas Narkotika Cirebon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Kamis (12/3/2020). Sebanyak 200 warga binaan menjalani pemeriksaan tersebut.
”Media, masyarakat, dan komunitas perlu terlibat aktif. Stigma dan diskriminasi ini harus dihapus agar pengobatan pada pasien bisa dipastikan selesai sampai tuntas. Dengan begitu, target untuk eliminasi TBC pada 2030 bisa terwujud,” katanya.
Saat ini Indonesia jadi negara dengan kasus TBC terbanyak kedua di dunia setelah India. Diperkirakan, kasus TBC di Indonesia pada 2022 sebesar 969.000 kasus. Dari estimasi itu, kasus TBC terkonfirmasi baru 45,7 persen. Itu artinya 54,3 persen kasus belum ditemukan sehingga berpotensi menularkan ke orang lain secara lebih luas.