Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, pers di beberapa daerah telah nyaring menggaungkan perlawanan terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Spirit ini diharapkan tidak hilang ditelan arus zaman.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Surat kabar mempunyai sejarah panjang di Tanah Air sejak ratusan tahun lalu. Pada masa lalu, koran bukan sebatas mewartakan, tetapi melahirkan gagasan kritis untuk melawan ketidakadilan. Pameran bertajuk Tiga Abad Perjalanan Pers di Indonesia dalam Hari Pers Nasional (HPN) 2023 di Sumatera Utara menebalkan jejak koran-koran perlawanan itu.
Presiden Joko Widodo baru saja meninggalkan Gedung Serbaguna Pemprov Sumut di Deli Serdang usai menghadiri puncak HPN 2023, Kamis (9/2/2023). Ratusan wartawan dari berbagai penjuru daerah berhamburan keluar gedung menyerbu deretan lapak pedagang yang menjual berbagai atribut, seperti baju, jaket, rompi, dan topi bertuliskan Pers.
Sekitar 200 meter dari sana, suasana pameran Tiga Abad Perjalanan Pers di Indonesia justru relatif lengang. Padahal, pameran yang memajang tak kurang dari 300 surat kabar itu membawa pengunjung menjelajah sejarah pers di Tanah Air. Sebanyak 98 koleksi pameran merupakan repro atau cetak ulang, sementara sisanya masih asli.
Ratusan surat kabar yang diterbitkan di sejumlah daerah itu diletakkan dalam etalase kaca. Beberapa di antaranya merupakan koran yang diterbitkan dan dikelola orang Indonesia, seperti Pertja Barat, Tapian Na Oeli, Binsar Sinondang Batak, Insulinde, Pewarta Deli, dan Benih Merdeka.
”Memori koran-koran ini tidak dipelihara oleh negara. Generasi muda sekarang memerlukan memori itu untuk mengetahui bagaimana perjuangan leluhur mereka dahulu. Semoga memori itu bisa direkam lewat pameran ini,” ujar sejarawan dari Universitas Negeri Medan Ichwan Azhari.
Ichwan mengatakan, dahulu, sejumlah surat kabar tumbuh dari kesadaran etnis. Setelah itu, berkembang menuju kesadaran nasional dan menyuarakan kemerdekaan.
”Pers masa lalu memunculkan perlawanan terhadap ketidakadilan. Jadi, bukan cuma laporan berita peristiwa,” katanya.
Munculnya koran-koran perlawanan itu juga tidak terlepas dari kiprah pelopor pers pra-kemerdekaan. Mereka tidak hanya berani menentang ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, tetapi juga berani menanggung risikonya.
Dja Endar Moeda, misalnya, banyak mengkritik kebijakan pemerintah dan ketimpangan hukum yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda melalui tulisan-tulisan di koran Pertja Barat yang diterbitkan di Padang, Sumatera Barat. Ia mengakuisisi koran itu pada 1900.
Dengan begitu, Dja Endar Moeda telah memiliki Pertja Barat sebelum Tirto Adhi Soerjo menerbitkan Medan Prijaji pada 1907. ”Jadi, lebih dulu Dja Endar Moeda, meski ia dilupakan sejarah,” ucapnya.
Dja Endar Moeda terkena delik pers pada 1905. Ia dihukum cambuk dan diusir dari Padang. Pria kelahiran Padang Sidimpuan pada 1861 itu juga menerbitkan Tapian Na Oeli pada 1900, Insulinde (1903), Pembrita Atjeh (1906), dan Pewarta Deli (1910).
Spirit perlawanan dari Tapanuli Utara digaungkan oleh Mangaradja Hezekiel Manullang atau Tuan Manullang melalui koran Binsar Sinondang Batak yang terbit pada 1905. Ia juga menerbitkan koran lain, antara lain Soeara Batak (1919), Persamaan (1924), Pertjatoeran (1924), dan Persatoean (1929).
Pers masa lalu memunculkan perlawanan terhadap ketidakadilan. Jadi, bukan cuma laporan berita peristiwa. (Ichwan Azhari)
Ichwan menuturkan, Tuan Manullang turut berperan dalam menyelamatkan tanah ulayat di Tapanuli yang akan diserobot untuk dijadikan perkebunan pada masa penjajahan Belanda. Ia juga terkena delik pers pada 1920 dan dipenjara selama 15 bulan.
”Dia banyak menyerang kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang dinilai tidak memihak kepada rakyat,” ujarnya.
Nama Parada Harahap juga tak banyak dikenal sebagai pelopor pers perjuangan. Pria kelahiran Padang Sidimpuan 1899 itu memulai karier sebagai jurnalis di koran Benih Merdeka pada 1918. Selanjutnya ia menjadi redaktur dan memimpin koran tersebut.
Menurut Ichwan, Parada termasuk konglomerat pers karena bisa membeli mesin cetak sendiri. Kemudian ia menerbitkan koran lain, seperti Bintang Hindia (1923), Bintang Timur (1926), Sinar Pasundan (1926), dan De Volks Courant (1928).
”Ia menekuni perlawanan menggunakan pers. Dia 12 kali menghadapi delik pers sehingga dianggap sebagai raja delik pers,” katanya.
Ichwan berharap pers Indonesia saat ini membangkitkan kembali spirit perlawanan terhadap ketidakadilan yang dijunjung surat kabar dahulu. Memuat tulisan-tulisan yang penuh gagasan kritis untuk menghidupkan diskursus intelektualitas.
”Kalau hanya sebagai pemberita, fungsi pers sudah diambil alih oleh teknologi yang semakin maju. Koran-koran dulu penuh dengan perenungan untuk membantu menyuarakan aspirasi masyarakat secara mendalam,” jelasnya.
Peneliti pers dari Universitas Andalas, Sumatera Barat, Wannofri Samry, mengatakan, di era kolonial, pers ikut menumbuhkan kesadaran masyarakat sebagai sebuah bangsa. Sumut menjadi kawah candradimuka penerbitan pers, khususnya di era 1930-an.
”Surat kabar yang menyatukan itu karena mengajarkan masyarakat untuk berpikir sebagai suatu bangsa,” ujarnya dalam seminar Seruan Pers dari Sumatera Utara: Pers Bebas, Demokrasi Bermartabat dalam peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Medan, Sumut, Selasa (7/2/2023).
Peran besar itu tidak terlepas dari dedikasi tokoh pers di masa lalu. Ia mencontohkan kiprah Adinegoro yang mempunyai visi memajukan peradaban bangsa melalui media massa. Oleh sebab itu, kualitas karya jurnalistik harus terus dijaga.
Menurut Wannofri, visi itu mulai tergerus di era sekarang. Banyak berita yang mengecoh masyarakat karena judul dan isi beritanya tidak sesuai.
”Ini mubazir. Kerja-kerja jurnalistik seperti ini menghabiskan energi orang-orang untuk membaca,” ucapnya.
Meningkatkan kualitas berita
Oleh karena itu, media didorong meningkatkan kualitas beritanya. Selain itu, menempatkan pers tetap berada di tengah sehingga tidak memihak kelompok kepentingan tertentu.
Hal ini sangat penting untuk menjaga independensi media. Dengan demikian, pers dapat mengukuhkan posisinya sebagai pilar keempat demokrasi.
”Pers semestinya tidak menjadi provokator. Kalau mengkritik, jangan menghina atau mencelah. Apalagi memasuki pesta demokrasi (Pemilu) 2024, harus hati-hati. Jangan sampai pers menjadi partisan,” ujarnya.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, insan pers perlu belajar dari komitmen tokoh-tokoh pers di masa lalu dalam menghasilkan karya-karya jurnalistik berkualitas. Hal itu tidak terlepas dari pengetahuan mendalam, integritas, dan profesionalisme sebagai jurnalis.
”Komitmen itu harus dilanjutkan. Caranya dengan berpijak pada rules, pakai kode etik jurnalistik. Kalau itu dipegang, karya jurnalistik bisa dipertanggungjawabkan dan publik mendapatkan edukasi yang baik,” katanya.
Di masa lalu, pers telah menorehkan tinta emas sebagai medium perlawanan dan salah satu alat perjuangan kemerdekaan bangsa. Namun, di era sekarang, tak sedikit media hanyut dalam pragmatisme yang bukan hanya redup menyalakan perlawanan terhadap ketidakadilan, tetapi juga abai pada etika jurnalistik.