Lahan basah di dunia secara sistematis telah berkurang hingga seperlima atau seluas India, selama 300 tahun terakhir.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lahan basah di dunia secara sistematis telah berkurang hingga seperlima atau seluas India, selama 300 tahun terakhir. Amerika Serikat, Eropa, Asia Tengah, India, China, Jepang, dan Asia Tenggara dilaporkan telah kehilangan 50 persen lahan basah asli, dengan kehilangan tertinggi terjadi di Irlandia sebesar 90 persen.
Tingginya lahan basah yang hilang di bumi sejak tahun 1700 ini dilaporkan dalam studi global yang diterbitkan di Nature edisi 8 Februari 2023. Etienne Fluet-Chouinard dari Institute for Atmospheric and Climate Science, ETH Zurich, Swis, menjadi penulis utama studi ini.
Sebelumnya, dikhawatirkan sebanyak 50 persen dari lahan basah kita akan musnah. Namun, penelitian terbaru ini menunjukkan bahwa angka tersebut sebenarnya mendekati 21 persen area seluas India.
”Terlepas dari kabar baik yang mungkin tersirat dari hasil kami, tetap mendesak untuk menghentikan dan membalikkan konversi dan degradasi lahan basah,” kata Fluet-Chouinard. ”Kesenjangan geografis dalam kerugian sangat penting untuk dipertimbangkan karena manfaat lokal yang hilang dari lahan basah yang dikeringkan tidak dapat digantikan oleh lahan basah di tempat lain.”
Beberapa negara dalam kajian ini disebutkan mengalami kerugian yang jauh lebih tinggi, dengan Irlandia kehilangan lebih dari 90 persen lahan basahnya. Secara umum, sekitar sebagian lahan basah di Eropa telah hilang, dengan Inggris kehilangan 75 persen dari luas aslinya.
Alasan utama kerugian global tersebut adalah drainase lahan basah untuk bercocok tanam.
Amerika Serikat, Asia Tengah, India, China, Jepang, dan Asia Tenggara juga dilaporkan telah kehilangan 50 persen lahan basah aslinya. Perbedaan regional inilah yang mendukung gagasan bahwa setengah dari semua lahan basah di dunia telah hilang.
Dalam kajian ini, para peneliti menggunakan catatan sejarah dan peta terbaru untuk memantau penggunaan lahan dalam skala global. Selain itu, mereka juga menyoroti beberapa hambatan ilmiah dan budaya untuk mempelajari pengelolan lahan basah. Lahan basah, termasuk rawa gambut, merupakan habitat terestrial tempat air tertahan di daratan.
Terlepas dari kabar baik yang mungkin tersirat dari hasil kami, tetap mendesak untuk menghentikan dan membalikkan konversi dan degradasi lahan basah.
Selama berabad-abad, lahan basah dipandang sebagai lahan telantar yang tidak produktif untuk diubah menjadi lahan pertanian. Laporan tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa penghilangan lahan basah tidak tersebar merata di seluruh dunia. Beberapa daerah telah kehilangan lebih dari rata-rata.
Meski demikian, dalam laporan ini para peneliti menyampaikan, lahan basah berperan sangat penting untuk menyaring air, mengisi air tanah, dan menyimpan karbon.
”Lahan basah memurnikan air kita, mencegah banjir, dan merupakan pahlawan keanekaragaman hayati,” kata anggota tim penulis Rob Jackson, Profesor Energi dan Lingkungan Provostial Michelle dan Kevin Douglas di Stanford Doerr School of Sustainability. ”Kita membutuhkan data terbaik untuk menyelamatkan apa yang kami miliki dan mengetahui apa yang telah hilang.”
Dalam kajian ini, peneliti juga melihat besarnya dampak dan biaya untuk memulihkan kerusakan lahan basah. Misalnya, lebih dari 10 miliar dollar AS telah dihabiskan untuk rencana 35 tahun memulihkan Florida Everglades, jaringan lahan basah di Amerika Serikat.
Peran penting lahan basah bagi ekologi telah ditunjukkan dalam sejumlah kajian lain. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini memperkirakan, 40 persen spesies bumi hidup dan berkembang biak di lahan basah dan satu miliar orang bergantung padanya untuk mata pencarian mereka. Melestarikan dan memulihkan habitat vital ini adalah kunci untuk mencapai masa depan yang berkelanjutan.
Gambut Indonesia
Laporan terpisah dari Pantau Gambut menunjukkan, sebagian lahan gambut di Indonesia yang seharusnya menjadi bagian dari ekosistem lahan basah masih terus dibuka untuk industri ekstraktif. Koordinator Nasional Pantau Gambut Lola Abas dalam keterangan tertulis baru-baru ini menyampaikan, jika penegakan hukum dan izin konsesi tidak segera dievaluasi, bukan tidak mungkin kebakaran dan banjir besar dapat kembali terjadi. Pemerintah tidak lagi bisa berlindung pada curah hujan yang tinggi pada 2023 karena BMKG memprediksi tahun ini akan menjadi tahun yang lebih kering dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Menurut dia, masih ada pekerjaan rumah besar yang belum diselesaikan Pemerintah Indonesia dalam melindungi lahan gambut. Dia mencontohkan, regulasi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2019 yang bertumpang tindih pada upaya pelestarian ekosistem gambut karena adanya pelonggaran izin konsesi yang beroperasi di atas kubah gambut. Padahal, kubah gambut sudah seharusnya tidak boleh diekstraksi sama sekali.
Kontradiksi regulasi juga terlihat pada Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), yakni konsesi yang beroperasi di kawasan hutan secara ilegal justru mendapatkan pemutihan. Lola mengatakan, upaya penegakan hukum dalam melindungi hutan dan ekosistem gambut justru direduksi melalui regulasi yang dibuat oleh pemerintah sendiri.
Hasil analisis Pantau Gambut terhadap luasan area gambut yang terbakar selama periode 2015-2019 menunjukkan, dari total 1,4 juta hektar gambut yang terbakar, sebanyak 70 persennya atau sekitar 1,02 juta hektarnya berada di dalam area konsesi. Rinciannya, sebanyak 580.764,5 hektar di atas kawasan hak guna usaha (HGU), 168.988,1 hektar di kawasan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI), 83.575,6 hektar di kawasan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-restorasi ekosistem (IUPHHK-RE), dan 187.047,9 hektar di atas kawasan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHHK-HA).