Penyusunan Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya perlu melibatkan masyarakat sipil. Pengakuan dan keterlibatan masyarakat dapat memperkuat upaya konservasi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
SUCIPTO
Pengendara melintasi Jalan Balikpapan-Samarinda yang diapit oleh kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto di Kecamatan Samboja, Kalimantan Timur, Selasa (6/8/2019). Sebagai kawasan konservasi, dampak lingkungan perlu diantisipasi jika lokasi ibu kota ditetapkan di wilayah ini karena berpotensi longsor dan erosi di kawasan sekitarnya.
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil berharap agar dilibatkan penuh dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya atau RUU KSDAHE. Pengakuan dan keterlibatan masyarakat ini sangat penting guna memperkuat sekaligus memastikan keberlanjutan upaya konservasi.
Hal tersebut disampaikan perwakilan koalisi masyarakat sipil dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (13/2/2023). Perwakilan masyarakat sipil ini terdiri dari sejumlah organisasi non-pemerintah di sektor lingkungan dan akademisi.
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yance Arizona, yang juga perwakilan koalisi mengemukakan, masuknya pembahasan RUU KSDAHE dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) menjadi momentum yang tepat bagi masyarakat sipil untuk terlibat dalam menyempurnakan sejumlah ketentuan dalam RUU ini.
”Pembahasan RUU ini memang ada sejumlah kemajuan dibandingkan undang-undang sebelumnya. Namun, meskipun ada upaya untuk mengakomodasi peran dan partisipasi masyarakat, kami melihat masih ada substansi yang belum cukup sempurna,” ujarnya.
Yance menyebut, terdapat tujuh catatan penyempurnaan RUU KSDAHE untuk memperkuat peran dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan konservasi. Catatan pertama yaitu RUU ini harus mengutamakan paradigma konservasi berbasis hak asasi manusia (HAM).
Meskipun ada upaya untuk mengakomodasi peran dan partisipasi masyarakat, kami melihat masih ada substansi yang belum cukup sempurna.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA (BAH)
Julang Emas ( Rhyticeros undulatus), satu dari sejumlah hewan yang dihadirkan dalam rilis Penanganan Tindak Pidana Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem oleh Ditreskrimsus Polda Jawa Timur di Markas Kepolisian Daerah Jawa Timur, Senin (4/2/2020).
Menurut Yance, catatan pertama ini sangat penting mengingat UU Konservasi sebelumnya sangat berpusat pada pemerintah pusat. Padahal, kapasitas pemerintah untuk menjaga dan mengelola wilayah konservasi sangat terbatas. Oleh karena itu, masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi merupakan ujung tombak dari kesuksesan penyelenggaraan konservasi.
Catatan kedua yakni RUU ini harus mampu menerjemahkan komitmen internasional Pemerintah Indonesia di bidang lingkungan hidup. Hal ini perlu dituangkan karena sejak beberapa tahun terakhir, Indonesia turut mengikuti berbagai konferensi internasional, seperti target perlindungan 30 persen daratan dan perairan pada 2030.
Catatan lainnya yang perlu dituangkan dalam RUU KSDAHE, di antaranya, terkait persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (Padiatapa) dalam penetapan kawasan konservasi. Kemudian perlu juga aturan yang lebih kuat mengenai kearifan lokal dalam kegiatan konservasi dan areal konservasi kelola masyarakat (AKKM).
Selain itu, RUU ini juga perlu menuangkan aturan untuk mencegah kriminalisasi terhadap masyarakat pada ekosistem penting di luar kawasan konservasi. Ketentuan dalam RUU ini harus mengganti prosedur pengakuan masyarakat adat yang politis menjadi administratif.
”Catatan terakhir yaitu dalam penyusunan RUU ini perlu ada partisipasi yang bermakna dari masyarakat. Artinya, setiap kelompok masyarakat yang bisa terkena dampak langsung dari suatu undang-undang perlu didengarkan dan dipertimbangkan aspirasinya,” kata Yance.
Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo menilai, dengan ketentuan dalam RUU KSDAHE saat ini, potensi kriminalisasi terhadap masyarakat adat masih tinggi. Sebab, ketentuan dalam RUU ini hanya fokus mengubah kewenangan pemerintah pusat terhadap konservasi dan penguatan pidana atau denda.
”Daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU KSDAHE terbaru, pemerintah juga mengusulkan untuk menghapus ketentuan AKKM. Artinya, konsep konservasi dengan 10 cara baru di mana masyarakat adat menjadi subyek tidak akan menjadi sebuah norma,” ucapnya.
Perkembangan pembahasan
Proses pembahasan RUU KSDAHE yang merupakan revisi atas UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDHAE telah mencuat sejak beberapa tahun terakhir. Pembahasan ini dilakukan menyusul adanya sejumlah ketentuan tentang konservasi dalam UU tersebut yang sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Namun, proses pembahasan RUU ini di DPR selalu terhenti meski sempat masuk dalam Prolegnas.
Pada pertengahan Januari lalu, Komisi IV DPR dan pemerintah telah menyepakati 718 DIM terkait RUU KSDAHE sekaligus membentuk panitia kerja. Beberapa DIM yang merupakan usulan pemerintah berisi tentang perubahan substansi, penambahan usulan baru, dan penghapusan serta perubahan redaksional.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Perambahan hutan di cagar alam Pegunungan Cycloop masih marak terjadi, seperti terlihat di sekitar mata air Kampwolker, Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua, Jumat (26/11/2021).
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong sebelumnya menyatakan, UU No 5/1990 telah selaras dengan filosofi dasar yang mengacu pada strategi konservasi dunia 1984 dan norma dalam konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia. Pada aspek nasional, implementasi UU ini juga telah mengakomodasi kepentingan strategis nasional.
”Pemerintah berpendapat bahwa substansi yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 masih sangat relevan untuk kondisi saat ini,” katanya dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR terkait pembahasan RUU KSDHAE beberapa waktu lalu.
Meski demikian, UU Konservasi ini juga masih memiliki tantangan dalam implementasinya, seperti terbatasnya kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan dalam proses penyidikan. Ketentuan dalam UU ini juga masih belum optimal untuk memberikan jenis tuntutan atau pemberatan sanksi perdata dan hukuman pidana serta belum ada sistem pendanaan berkelanjutan di bidang KSDHAE.