Perdamaian dunia hanya akan terwujud jika umat manusia mempunyai komitmen bersama untuk hidup dalam kerukunan. Semangat persaudaraan global semestinya digelorakan sejalan dengan tingginya kemajemukan.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
KOMPAS, YOGYAKARTA — Perdamaian dunia hanya akan terwujud jika umat manusia mempunyai komitmen bersama untuk hidup dalam kerukunan. Semangat persaudaraan global semestinya digelorakan sejalan dengan tingginya kemajemukan. Namun, itu semua tidak boleh berhenti pada tataran gagasan yang mengawang-awang. Dibutuhkan pula praktik nyata seperti pertemuan lintas budaya dan agama yang nantinya benar-benar melahirkan kesepahaman.
Wacana itu mengemuka dalam penganugerahan gelar doktor kehormatan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta kepada tiga tokoh agama, yaitu Prefek Dikasteri untuk Dialog Antar Agama Vatikan Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf, dan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Periode 2005–2010 Sudibyo Markus, di Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (13/2/2023).
Kardinal Ayuso merasa terhormat atas gelar yang diterimanya. Itu terasa lebih istimewa lagi mengingat statusnya sebagai imam Katolik yang memperoleh gelar kehormatan justru dari perguruan tinggi Islam. Menurut dia, peristiwa semacam itu baru pertama kali terjadi.
Di sisi lain, kata dia, gelaran itu sekaligus menjadi momen perayaan bagi persaudaraan lintas agama. Kedekatan yang telah terjalin selama ini antara Gereja Katolik, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah, juga diyakininya akan semakin kuat.
”Hendaknya pesan yang kita kirimkan hari ini sampai ke seluruh penjuru dunia. Saya ingin hubungan ini bertahan dalam waktu yang panjang. Kolaborasi-kolaborasi juga terus meningkat,” kata Ayuso seusai acara pemberian gelar kehormatan.
Dalam pidato ilmiahnya, Ayuso menyebutkan, umat manusia kini hidup dalam lingkungan sosial yang plural. Sayangnya, konflik antaragama, negara, hingga etnis juga tak terelakkan. Belum lagi ditambah tindakan-tindakan diskriminasi pada orang-orang lemah. Kondisi tersebut diperparah kelompok-kelompok yang secara politis berusaha membuat masyarakat terpolarisasi.
Lantas, jelas Ayuso, agama semestinya mampu menyembuhkan segala luka kemanusiaan tersebut. Para pengikut agama juga sejatinya terpanggil untuk menghormati perbedaan yang ada. Lewat cara itu, mereka sekaligus menjaga hak-hak beragamanya sendiri.
Oleh karena itu, menurut dia, penandatanganan dokumen persaudaraan manusia (human fraternity) antara Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Dr Ahmad Al Tayyib menjadi tonggak dari terjalinnya dialog antaragama guna menjaga perdamaian dunia.
“Kolaborasi antaragama ini akan mendukung hak-hak kemanusiaan di seluruh dunia. Kita semua sesama manusia, satu keluarga, dan punya hak yang sama sebagai warga dunia. Jangan dilupakan bahwa dasar dari kolaborasi ini adalah rasa kemanusiaan,” kata Ayuso, yang juga aktif pada proses penandatanganan dokumen persaudaraan manusia antara Kepausan dan Al Azhar.
Sementara itu, Yahya menyatakan, gelar kehormatan mesti ditindak lanjuti lewat aksi nyata. Lewat organisasinya, ia berencana terus mengembangkan wacana alternatif keagamaan yang moderat. Pihaknya ingin mendorong agar generasi baru memiliki wawasan dan mentalitas yang jauh dari dorongan berkonflik, khususnya yang didasari pada perbedaan latar belakang identitas.
Perjumpaan lintas agama ini memang harus proaktif. Tidak bisa saling tunggu.
Di sisi lain, lanjut Yahya, pihaknya akan terus menjalin komunikasi dan kolaborasi lintas agama di seluruh dunia. Ia ingin agar terbentuk persekutuan global lintas agama. Pasalnya, masih ada saja upaya-upaya dari segelintir kelompok yang seolah berusaha memosisikan agama sebagai pangkal perseteruan di tengah masyarakat.
“Agama itu justru semestinya menjadi bagian dari solusi masalah dan mendorong dikembangkannya perdamaian dan harmoni untuk masa depan peradaban yang lebih mulia,” kata Yahya.
Sehubungan dengan itu, Sudibyo menyatakan, wacana perdamaian antarumat manusia seharusnya tidak mengawang-awang. Diperlukan langkah nyata yang memungkinkan terjadinya perjumpaan lintas agama. Itulah yang nantinya memicu timbulnya kerukunan. Jangan sampai kebijakan sekadar menjadi suatu hal yang justru tidak bisa diresapi masyarakat.
“Perjumpaan lintas agama ini memang harus proaktif. Tidak bisa saling tunggu. Forum kerukunan antarumat juga hendaknya lebih ditingkatkan lagi fungsinya dalam pengambilan keputusan di komunitas. Coba diibaratkan seperti bermain bola di lapangan. Kita bersatu sudah tidak ada beda-bedanya,” kata Sudibyo.
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Al Makin mengatakan, ketiga tokoh tersebut menjadi teladan bagi praktik kerukunan umat beragama. Kiprah masing-masing dalam usahanya menjaga perdamaian dunia mendasari pemberian penghargaan. Pihak perguruan tinggi malah merasa banyak belajar dengan cara pandang tokoh-tokoh tersebut.
“Pemimpin ini bisa menjadi teladan dan kita ikuti semua. Kebetulan beliau bertiga mempraktikkan upaya mewujudkan perdamaian. Universitas merefleksikannya kembali, ada sesuatu yang bisa dipelajari dari para praktisi tersebut. Jadi berlangsung dialog tentang apa yang terjadi di kelas, universitas, dan lapangan, atau dunia nyata,” kata Makin.